catatan Upacara Seren Tahun Cigugur Tahun 2003
Oleh
DHIPA GALUH PURBA
Acara seren taun (pergantian tahun) Cigugur
sudah rutin digelar setiap tahun. Hal itu tentunya mengundang perhatian
masyarakat sampai pada tingkat nasional, bahkan internasional. Namun ironisnya,
sebagian masyarakat Kuningan nampaknya justru bersikap apatis dan apriori.
Mereka beranggapan bahwa acara seren taun
dan mapag taun tersebut, merupakan
sebuah upacara ritual bagi penganut paham kepercayaan. Dan alasan itu selalu dikaitkan
dengan historis awal mula pelaksanaannya.
Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Sebuah kota
kecamatan yang terletak di lereng gunung Ciremai. Keadaan tanahnya cukup subur,
sehingga sebagian besar masarakatnya pun memiliki mata pencaharian bercocok
tanam (agraris). Ada
juga yang beternak. Yang pasti, masyarakat Cigugur tergolong sejahtera dan
sudah berpikiran maju. Ada
upaya untuk mengembangkan bibit-bibit unggul pertanian, dengan dukungan
berdirinya sebuah koperasi yang dikelola secara baik.
Cigugur
menjadi saksi bisu, tatkala sekitar awal abad ke-20, Pangeran Madrais
menyebarkan agama Sunda. Tidak sedikit yang turut menjadi pengikutnya. Bahkan
penyebarana agama Sunda tersebut diteruskan oleh generasi berikutnya, Pangeran
Téja Buana.
Sampai pada
akhirnya, kurang lebih tahun 1964, Bung Karno mengeluarkan larangan memeluk agama Sunda, berdasarkan pada
beberapa pertimbangan. Pangeran Teja Buana tidak menentang keputusan itu.
Bahkan Pangeran Teja memberikan keleluasaan kepada pengikutnya, untuk memilih
agama yang sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Dan Pangeran
Teja Buana sendiri, memilih untuk masuk ke dalam agama Katolik. Sehingga tidak
heran, jika para pengikutnya pun banyak yang mengikutinya. Terbukti sampai sat
ini banyak Komunitas Katolik yang menyebar di beberapa daerah Cigugur, Ciamis,
Panawangan, Cilimus, dan sekitarnya. Dan upacara Sérén Taun sendiri, waktu
pelaksanaannya adalah setiap tanggal 22 Rayagung, hari kelahiran Pangeran Teja
Buana
Sampai saat
ini idiologi agama yang dianut masyarakat Cigugur, tergolong heterogen. Ada yang memeluk agama
Islam, agama Katolik, dan kepercayaan. Termasuk pada lingkungan intern keluarga
Jati Kusumah, ketua acara Seren Taun, agama yang dianutnya heterogen. Contohnya
terlihat di keluarga Siti Jenar, adik perempuan Jati Kusumah, yang memiliki
sembilan orang keturunan. Ternyata di antara sembilan orang anaknya itu, agama
yang dianutnya berbeda-beda. Kendati memang keluarga Jati Kusumah masih
memegang tradisi warisan leluhurnya, termasuk yang feodal hirarki.
Keterkaitan
antara Kota Cigugur dan Kota Kuningan tak mungkin terpisahkan. Sebab Kota
Cigugur merupakan bagian dari Kota Kabupaten Kuningan. Sedangkan kelahiran Kota
Kuningan begitu erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam di Tatar
Sunda.
Bahkan nama
kota yang luasnya kurang-lebih 1092 km2 ini, diangkat dari nama Pangeran
Kuningan, putra Syeh Syarif Hidayattullah (Sunan Gunung Djati), dari istrinya
yang bernama Ratu Ontin Nio atau Ratu Rara Sumanding. Sampai sekarang, tanggal
1 September diperingati sebagai hari jadi kota
Kuningan, sebab pada saat itulah (tepatnya tahun 1498) Pangeran Kuningan
dilantik menjadi pemimpin kerajaan, dengan mendapat gelar Pangeran Arya Adipati
Kuningan.
Ada
semacam dilema, dalam menyikapi Upacara seren dan mapag taun di
Cigugur tersebut. Tentu saja sangat beralasan. Seperti yang sudah diutarakan
sebelumnya, bahwa tradisi yang sudah berlangsung sejak tahun 1930-an tersebut
dianggap sebagai ‘perayaan’ kaum penganut kepercayaan.
Perjalanan
sejarah, memang tak mungkin terhapus begitu saja. Kendati Jati Kusumah sudah
menegaskan bahwa acara tersebut bukan perayaan suatu agama (Baca; Kepercayaan).
Ini adalah acara silaturahmi orang-orang Sunda, dan juga suatu momen untuk
memperkenalkan kekayaan seni budaya Sunda, dalam rangka memelihara,
melestarikan, serta mengembangkan warisan leluhur, di tengah maraknya arus
budaya barat, yang semakin mengakar di masyarakat.
*
ACARA Seren dan Mapag Taun pada tahun ini bertepatan
dengan tanggal 24 Pebruari 2003. Kendati demikian, acara perayaannya sudah
dilangsungkan sejak empat hari sebelumnya. Ada yang berbeda jika dibandingkeun dengan
acara Sérén taun sebelumnya. Biasanya hanya menggelar Tari Buyung dan
mengumpulkan hasil pertanian dari empat penjuru mata angin, kemudian ditutup
oleh acara makan bersama. Namun pada perayaan tahun ini, penuh dengan acara
pertunjukan kesenian tradisi dari luar Kota Cigugur. Seperti Ronggeng Gunung
(Padaherang, Ciamis), Tarawangsa (Sumedang), Angklung Baduy, Pesta Dadung, dsb.
Semua acara tersebut dikemas sedemikian rupa, dan dipusatkan di
sekitar Paseban Cagar Budaya Cigugur. Sehingga nampak sekali bahwa acara seren
taun kali ini terkesan lebih menonjolkan aspek ferpormance. Sepertinya hal ini
dimaksudkan untuk lebih meyakinkan masyarakat, bahwa acara sérén taun
bukan merupakan acara ritual satu agama. Bisa dilihat juga dari susunan panitia
acaranya, yang terdiri dari sebagian masyarakat muslim dan katolik. Tak heran
jika acara ini dihadiri pula oleh para pajabat pemerintahan, saperti H. Memet
Hamdan, Kepala Disbudpar (Dinas Kebudayaan dan pariwisata) Jabar, Bupati
Kabupaten Kuningan, Dirjen Pariwisata Pusat. Tak ketinggalan para sesepuh dari
masyarakat adat Kampung Dukuh, Kampung
Naga, Baduy, dsb.
Seperti yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1999, pada acara kali
ini pun, panitia mengadakan acara Dialog Kebudayaan yang bertema aksara Sunda
dan kala atau filsafat waktu di Sunda. Selain itu, panitia juga menyediakan
beberapa stand, yang dimanfaatkan untuk mengadakan pameran produk pertaian,
kerajinan tangan, dsb. Ada
juga stand khusus untuk masyarakat Kanekes (Baduy) dan Lembaga Pelestari Budaya
Sunda Bandung, yang saat itu memamerkan aksara sunda dari jaman ke jaman,
penelitian kampung adat, sampai penayangan VCD tentang kebudayaan Sunda.
Tentu saja acara tersebut menjadi perhatian para pemerhati budaya,
antropolog, seniman, mahasiswa, dsb. Beberapa stasiun TV swasta dan média massa , tak ketinggalan
meliput acara ini. Selama empat hari, wajah Cigugur menjadi lain dari biasanya.
Lebih hidup, lebih meriah, penuh dengan nuansa tradisional. Sangat cocok jika
lokasi Cigugur menjadi salah satu tujuan utama wisata Kota Kuningan, di samping
lokasi wisata lainnya seperti Taman Wisata Longgajati Indah, Bangunan
Sajarah Linggajati, Gedong Naskah Linggajati, Taman Wisata Linggajati Indah,
Museum Linggajati, Taman Purbakala Cipari, Cibulan, Balong Keramat Darmaloka,
Waduk Darma, Sangkanurip, dan sebagainya.
Gedung
Paseban Tripanca Tunggal bisa disebut pusat kebudayaan masyarakat Cigugur.
Beberapa kali mengalami pemugaran, dan kini gedung tersebut menjadi Cagar
Budaya Nasional berikut nilai seni budaya di dalamnya. Disana tersimpan
benda-benda bersejarah, seperti keris, tombak, dan lain-lain. Ada juga koleksi alat-alat kesenian daerah masa
lampau, sehingga Gedung Paseban menjadi tempat untuk latihan seni karawitan,
seni tari daerah, termasuk tari buyung
yang selalu ditampilkan pada upacara seren taun. Gedung Paseban menjadi pusat digelarnya upacara Seren Taun.
Para pengunjung yang memadati Lokasi
Cagar Budaya Cigugur sangat berjubel. Terdiri dari anak-anak, remaja, dewasa,
sampai kepada orang tua. Mereka begitu antusias menyaksikan setiap pertunjukan
yang digelar oleh panitia. Dari mulai pagelaran kesenian Pésta Dadung, yang
konon menurut mitosnya pertunjukan ini diadakan untuk mengusir segala jenis hama . Kemudian pada Malam
Sabtunya, para penonton diajak untuk
menyaksikan pagelaran kasenian tradisional dari Ciamis, Ronggeng Gunung.
Disusul malam Minggunya dengan pagelaran Tarawangsa. Kendati bersamaan dengan
turunnya hujan yang cukup lebat, namun Pagelaran Tarawangsa tetap bisa
dilaksanakan. Rencananya memang akan digelar di luar, namun karena hujan,
terpaksa dipindahkan ke Paseban.
Para penonton tetap berjubel. Sehingga gelar Tarawangsa yang dimulai
dari pukul sembilan malam, bisa rampung sampai menguinjak pukul tiga dini hari.
Sebagai puncak acara (malam Senin), digelar gending karesmen yang berjudul
'Layang Salaka Domas'. Kemudian esok harinya, sebelum acara ditutup, digelar
juga acara 'Ngarérémokeun'. Sebuah acara yang bertujuan untuk mendoakan agar
benih yang akan ditanam bisa tumbuh dengan subur.
Ngarérémokeun dan ngararamékeun
Upacara Sérén dan Mapag taun di Cigugur. Pada dasarnya acara ini
merupakan sebuah usaha merevitalisasi spirit tradisi. Tak nampak adanya sisi
ritualitas, jika dilihat dari kajian antropologi agama. Bentuknya memang masih mitis, tapi
fungsinya sudah cenderung ontologis. Hal ini sangat lumrah. Terlebih jika
menyimak setiap untaian kalimat Jakob Sumardjo tentang ‘Persoalan Seni di
Indonesia’ (Filsafat Seni, ITB, 2000). ***
Komentar