Film Dakwah dan Masyarakat Penonton

 Oleh M Sudama Dipawikarta

 

PERNAH ada suatu seminar  di Fakultas Dakwah dan Komunikasi  UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yang bertajuk “Sinematografi Dakwah: Peluang dan Tantangan”, yang menghadirkan dua pembicara,  Prof. Dr. Asep Saeful Muhtadi, MA (Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung) dan H. Deddy Mizwar (Aktor, Sutradara, dan Produser Film).

 

Pembicara pertama yang menyampaikan pemaparan adalah Prof. Dr. Asep Saeful Muhtadi, MA. Bermula dari menceritakan pengalaman pribadinya dalam mengapresiasi karya seni dan pengaruh yang dirasakannya. Misalnya ketika Kang Samuh—sapaan akrab Prof. Dr. Asep Saeful Muhtadi—membaca komik berjudul Si Karma dan Si Saleh. Pengaruhnya dalam menuntun kesadaran menjadi manusia beragama terasa sangat besar. Dalam komik tersebut digambarkan secara detail kisah-kisah yang terjadi di sorga dan neraka.

 

Terlebih lagi dalam tayangaan film atau sinetron bernuansa Islam, pengaruh yang dirasakan lebih kuat lagi. Kekuatan aktor dan cerita yang disuguhkan kepada penonton dapat membawa pengaruh yang tidak bisa diremehkan.


 

Kang Samuh mengakui bahwa selain berguru kepada para ulama dan membaca buku-buku Islam, karya-karya seni seperti buku komik dan film telah turut pula mendidiknya. Karya seni mampu mendesain suatu keadaan yang sulit disampaikan melalui ceramah konvensional. Dengan karya seni film, misalnya, bisa lebih memperluas sasaran dalam masyarakat.

 

Tidak bisa dipungkiri bahwa di era kemajuan teknologi  informasi dan traksaksi elektronik, masyarakat lebih banyak yang tertarik menyaksikan film atau sinetron, ketimbang mengikuti pengajian. Dengan begitu, perlu lebih kreatif lagi dalam berdakwah agar lebih banyak masyarakat yang mengafresiasi.

 

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa film merupakan media yang efektif dalam berdakwah. Masyarakat begitu mudah terpengaruh oleh prilaku yang dilihat di tayangan televisi atau film. Ucapannya, perbuatannya, banyak ditiru dan kemudian menjadi trend di tengah masyarakat.  Maka dengan munculnya film-film atau sinetron bermuatan dakwah menjadi suatu angin segar dalam dakwah Islam.

 

Menurut Kang Samuh, kalangan akademisi perlu merespon gejala positif tersebut. Lembaga pendidikan perlu menekuni dan meneliti kehadiran karya-karya film bermuatan dakwah secara lebih sistematis.  Berdakwah bisa melalui cerita-cerita yang dilakonkan dalam film,  dimainkan oleh para aktor, seraya menampilkan visualisasi yang indah dan mengandung pesan moral dan agama sebagai tuntutan bagi para penonton.

         

          Pembicara kedua, H. Deddy Mizwar, yang menceritakan pengalamannya dalam berkarya di dunia film. Dedy banyak terinspirasi oleh  kandungan al-Quran dan kisah-kisah tokoh Islam, sehingga film yang digarapnya banyak yang bermuatan dakwah.  Misalnya ketika pada tahun 1990-an, Dedy menggarap serial Abu Mawas, yang jelas terinspirasi oleh lakon Abu Nawas.

 

          Dedy Mizwar mengatakan bahwa keluarga muslim akan selalu membutuhkan tayangan yang mendidik, untuk dapat ditonton bersama keluarga. Maka film-film yang mendidik akan senantiasa dinantikan oleh masyarakat. Di tengah peluang tersebut, para sineas harus tetap berhati-hati dalam berkarya, terutama bagi yang menggarap film bermuatan dakwah. Perlu ada kerjasama dengan ahli agama, ketika akan menggarap sebuah cerita keagamaan.

 

Tidak sembarangan dan tidak boleh dipaksakan. Dan itulah yang menyebabkan serial sinetron garapan Deddy Mizwar tidak panjang. Sebab, mencari tema ceritanya sulit. Untuk serial yang  tayangan bulan Ramadhan pun, Dedy mengaku tidak sampai 30 episode.

 

          Menurut Dedy, film Islam adalah film yang inti ceritanya mengajarkan kebaikan dan mengajak penonton agar berbuat kebaikan. Film adalah “sihir”. Sebab film bisa menjadi salahsatu penyebab yang mendorong perubahan pada perilaku masyarakat penonton. Dengan begitu, film yang baik, apalagi film bermuatan dakwah Islam, tidak saja terletak pada nilai hasil akhirnya yang bida disaksikan oleh para penonton.

 

Film yang baik harus dimulai sejak proses penggarapannya. Misalnya ketika sedang menggarap film dakwah, para pelaku perfilman jangan sampai ketinggalan shalat. Ketika berkumandang adzan, berhentilah sejenak proses syutingnya, untuk melaksanakan ibadah sholat.

         

Termasuk dalam penataan adegan, yang kaitannya dengan estetika, film dakwah harus tetap memperhatikan etika. Ada sebaagian orang yang beranggapan bahwa etika bisa membunuh estetika. Pandangan itu jelas salah. Orang yang kreatif tidak akan kehilangan kreativitasnya dalam membangun sebuah karya yang estetis tanpa harus melanggar etika.

 

Misalnya ketika menceritakan dua tokoh suami-istri. Pada kehidupan nyata, suami-istri diperbolehkan berpelukan. Namun dalam film, tokoh suami-istri hanyalah akting. Mereka bukan muhrim. Jadi, mereka tidak boleh  berpelukan. Untuk mengahadapi hal seperti ini, para sineas film tidak boleh menyerah. Sebab, untuk meyakinkan bahwa pasangan tersebut adalah suami istri, tidak perlu harus selalu menampilkan adegan  berpelukan.

 

          Menurut Deddy Mizwar, film yang baik selalu diawali dengan skenario yang matang. Bahkan Deddy mengutip pendapat tokoh film dari Barat “Film is script”, film adalah skenario. Artinya, 80% kesuksesan film sangat ditentuka oleh kematangan skenarionya.

 

Skenario dibuat dengan benar-benar matang, dan melibatkan ahli agama untuk menggarap film bertema keagamaan. Hal ini dikarenakan ada sensitivisme masyarakat terhadap konten keagamaan. Jika salah dalam meramu film, maka tidak mustahil malah akan menuai konflik di tengah masyarakat. Hal itu sudah berkali-kali terjadi, sehingga tidak cukup hanya dengan niat baik untuk film dakwah, tanpa melakukan kajian dan konsultasi dengan ahli agama.

 

Tayangan film di televisi dan bioskop tetap menjadi bagian dari sarana hiburan masyarakat, yang sesuai fungsinya, film bukan saja sekedar hiburan, tetapi juga UU Perfilman 2009 menyatakan bahwa fungsi perfilman adakah sebagai budaya, pendidikan, penambahan wawasan informasi, pendorong karya kreatif, dan ekonomi. Maka film-film bermuatan dakwah perlu dipertahankan dan lebih dikembangkan lagi, sebagai salahsatu media syiar yang elegan dan bernilai seni, tanpa harus memojokkan ajaran agama lainnya. Agama apapun yang diakui di Indonesia, tentunya dipersilahkan untuk memproduksi film-film dakwah.

 

         

Tidak bisa dipungkiri, masyarakat bukan saja sering latah terhadap kata-kata yang terdapat dalam tayangan tersebut, melainkan sikap, prilaku, dan tindak-tanduk para talent bisa menjadi barometer dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih bagi usia anak, yang dianggap sebagai peniru sejati, sangat memerlukan film yang menularkan nilai-nilai kebaikan tanpa terkesan mengguri. Film-film bermuatan dakwah telah diterima di tengah masyarakat. Bahkan bukan sekedar pelengkap, melainkan terbukti dapat mencapai rating yang memuaskan.

 

Lalu, bagaimana jika film dakwah di dalamnya ada pertentangan antara satu agama dengan agama lainnya? Ini yang sangat perlu berhati-hati. Sangat sensitif.

 

Di bumi Indonesia, umat agama yang diakui, mendapat kebebasan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Umat Islam yang menjadi mayoritas masyarakat di Indonesia, selama ini dapat hidup berdampingan dengan umat beragama lainnya secara damai.

 

Kerukunan dalam beragama di Indonesia layak menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia. Hampir semua stasiun televisi, menyediakan slot waktu untuk ceramah agama-agama yang diakui di Indonesia. Ketika sebuah televisi sedang menayangkan acara Mimbar Agama Kristen, misalnya, umat Islam tidak melakukan protes. Begitupun sebaliknya.

 

Antar umat beragama saling menghormati, karena semua menyadari bahwa umat agama apapun membutuhkan siraman rohani. Demikian pula film-film yang bertema agama tidak menimbulkan konflik di tengah masyarakat sepanjang bersih dari cerita yang menistakan agama lainnya.

 

Film pendek “Kau Adalah Aku Yang Lain” karya Anto Galon yang sempat viral dan menjadi kontroversi, sebenarnya merupakan film pendek yang bertema kemanusiaan, bukan film yang berisi propaganda agama tertentu. Tema kemanusiaan merupakan pilihan aman yang tidak akan menimbulkan polemik apapun.

 

Agama manapun di dunia ini mengajarkan kebaikan, seperti menolong orang yang sangat membutuhkan. Hal itu tampak jelas pada adegan di rumah sakit, ketika seorang tokoh merelakan untuk memberikan nomor antrean kepada pasien yang kondisinya dianggap lebih membutuhkan penanganan dengan segera.

 

Permasalahan pada film pendek “Kau Adalah Aku Yang Lain” muncul ketika sebuah mobil ambulan yang membawa pasien umat kristiani diadang umat muslim yang tengah mengadakan pengajian. Mereka tidak memperbolehkan mobil ambulan melewati jalan tersebut, sementara pasien sedang sangat kritis, dan membutuhkan penanganan yang segera.

 

Adegan itulah yang dianggap memojokkan umat muslim. Apakah sudah tidak ada lagi rasa kemanusiaan umat muslim sehingga tidak rela memberikan jalan untuk mobil ambulan yang membawa pasien? Meskipun pada akhirnya ambulan itu diperbolehkan melewati jalan tersebut, tetapi kesan antagonis melekat pada umat muslim yang sedang mengikuti pengajian. Tak ayal lagi, film pendek pemenang “Police Movie Festival IV 2017” tersebut diprotes sebagian umat muslim, sehingga menjadi kehebohan di dunia maya.

 

Penulis berkeyakinan dibuatnya film pendek “Kau Adalah Aku Yang Lain” tidak diniatkan untuk memojokkan umat Islam. Namun pertimbangan dalam memutuskan para penghadang itulah yang kurang matang. Sebab, sebenarnya masih ada opsi lain yang tidak akan mengurangi nilai cerita dan pesan moral, tanpa harus menampilkan jemaah pengajian menghadang mobil ambulan.

 

Terlepas dari temanya yang menyulut kontroversi, teknik penyutradaraan Anto Galon cukup menjanjikan, sehingga penulis berharap bisa menonton lagi film karya Anto Galon lainnya.

 

Tentu film pendek “Kau Adalah Aku Yang Lain” bukan merupakan polemik film pertama yang dipersoalkan karena dianggap menyudutkan agama tertentu. Pada tahun 2011, misalnya, film “?” (Tanda Tanya) yang diproduksi Dapur Film & Mahaka Pictures sempat menuai protes berbagai kalangan umat muslim.

 

Mereka mempermasalahkan cerita dan adegan dalam film “?”. Misalnya adegan pemboman gereja, penyerangan restoran Cina oleh sekelompok umat muslim,  bullying terhadap tokoh etnis Cina yang dilakukan pemuda muslim, sampai keputusan Rika untuk pindah dari agama Islam karena merasa kecewa telah dipoligami oleh suaminya.

 

Menurut Hanung Bramantyo, sutradara film “?”, film tersebut dibuat untuk mengubah persepsi negatif terhadap Islam yang dianggap radikal. Islam itu sangat toleran. Islam dapat berdampingan secara rukun dengan agama lain dalam kehidupan sehari-hari. Kurang-lebih intinya seperti itu. Sama sekali tidak berniat untuk memojokkan umat Islam. Penulis pun dapat memahami kesimpulan inti dari film “?” setelah menyimak secara utuh jalannya cerita.

 

Namun film yang pada saat itu diloloskan Lembaga Sensor Film (LSF) untuk klasifikasi 17 tahun keatas tersebut, harus diakui mengandung berbagai adegan dan dialog yang sensitif dan rentan menyulut konflik. Apalagi kalau hanya dilihatnya secara farsial, wajar jika membuat ketersinggungan di sebagian kalangan umat muslim.

 

Tokoh bernama Surya dalam film “?” yang dikisahkan bermain drama pada Hari Raya Paskah di gereja dengan peran menjadi Yesus sebenarnya hanya tuntutan profesionalisme dalam keaktoran. Sebab, dalam film tersebut, Surya adalah seorang aktor. Sebagai perbandingan, di tahun yang sama ada sebuah film anak-anak bernuansa religius berlatar musibah tsunami, “Hafalan Shalat Dellisa” (Star Vision).

 

Pemeran utamanya adalah Cantiq Schagerl, yang begitu piawai memerankan tokoh Dellisa, seorang anak beragama Islam yang taat dan pandai menghafal bacaan Al-Quran. Padahal pada kenyataannya, di luar film, Cantiq adalah seorang artis non-muslim. Atau pertunjukan drama panggung “Kasidah Cinta” yang digelar setiap Bulan Ramadhan di Gedung Kesenian Rumentangsiang, Bandung, kontennya adalah kisah perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menegakkan agama Islam. Tidak bisa dihindari lagi, tokoh Abu Jahal diperankan oleh aktor muslim –yang bermain peran Abu Jahal sambil  menjalankan ibadah puasa.

 

Permasalahan tokoh Surya dalam film “?” hampir mirip dengan persoalan yang dihadapi tokoh Mukri dalam film “Guru Ngaji” (2018) yang disutradari Erwin Ardana. Tokoh Mukri adalah seorang yang berprofesi badut. Namun Mukri juga adalah guru ngaji. Pertentangan batin terjadi ketika Mukri diundang untuk mementaskan badut di gereja.

 

Pada pertunjukan tersebut, Mukri diminta untuk memainkan tokoh Santa Claus, meskipun pada akhirnya Mukri memilih opsi lain untuk menghindarinya mengenakan kostum Santa Claus. Film “Guru Ngaji” diloloskan oleh LSF untuk klasifikasi usia penonton 13 tahun keatas, dengan revisi beberapa adegan dan dialog yang dipandang rentan menyulut perdebatan di tengah masyarakat.

 

Berbeda dengan film “?” yang diprotes sebagian umat muslim, film “Guru Ngaji” dapat diterima oleh masyarakat penonton. Kendati demikian, topik yang diangkat dalam “Guru Ngaji” pun sebenarnya sudah menyerempet pada permasalahan yang sensitif. Kalau diamati secara utuh, film “Guru Ngaji” pun sama mengandung pesan positif, terutama toleransi beragama.

 

Maka, sepertinya tokoh Surya dalam film “?” diprotes bukan karena masalah pilihan profesional seorang aktor, tetapi bumbu ceritanya yang terlampau didramatisir, seperti  adegan Surya yang berlatih teater di dalam masjid, yang malah direstui oleh Ustadz yang mengajar di masjid tersebut. Latihan memerankan Yesus  di masjid. Ditambah lagi pada saat pementasan teater di gereja, ada orang berpenampilan muslim yang ikut berpatisipasi menonton dan turut membagikan bingkisan Paskah kepada jemaat gereja.

 

Toleransi beragama itu bukan berarti antar beragama dapat mengikuti setiap upacara keagamaan, kecuali dalam konteks tertentu. Titik berat toleransi adalah pada sikap lapang dada saling menghormati ajaran dan kepercayaan masing-masing. Terhadap umat muslim yang protes, tidak bisa menyalahkan sikapnya yang fanatik. Sebab fanatik beragama itu merupakan keteguhan dalam memegang akidah.

 

Pada kasus tertentu, mereka yang dianggap fanatik pun dapat memahami kontekstual suatu cerita dalam film. Misalnya, umat muslim protes terhadap penggambaran umat Islam yang turut memeriahkan acara Paskah di film “?”, tetapi di sisi lainnya umat muslim tidak protes ketika  menonton adegan seorang muslim melaksanakan ibadah di gereja. Mereka tidak mempermasalahkan tokoh Rudy Habibie dalam film “Habibie Ainun 2” (2016) yang masuk ke gereja untuk beribadah.

 

Tokoh Rudy yang beribadah di gereja, tidak menimbulkan kontroversi. Tentu, karena masyarakat pun paham akan konteks suatu cerita. Adegan cerita itu terjadi di Jerman, yang situasinya pada saat itu sangat sulit mencari masjid. Itu sebabnya hasil dari peniliaian dan penelitian LSF, memutuskan film “Habibie Ainun 2” yang juga disutradari oleh Hanung Bramantyo tersebut lolos untuk klasifikasi 13 tahun keatas.

 

Akan berbeda halnya jika setting lokasinya di Jakarta, menceritakan seorang muslim yang masuk gereja untuk beribadah. Meskipun dengan motivasi menjalin toleransi beragama, adegan seorang muslim yang beribadah di gereja di Indonesia, pasti akan mengundang polemik. Masjid sangat banyak. Apalagi di jaman sekarang, mushala banyak tersedia di ruang-ruang publik.

 

Film-film yang diniatkan untuk menanamkan sikap toleransi beragama atau mengangkat perbedaan pada dua atau lebih agama, meskipun tujuannya mulia, seringkali malah justru hampir tergelincir pada penajaman perbedaannya. Untuk itu, perlu kehati-hatian ekstra dalam penggarapan film yang bertema agama seperti itu.

 

Semangat toleransi adalah upaya mencari persamaan, bukan mempertajam perbedaan. Maka wajar jika beberapa film yang di dalamnya menyentuh aqidah agama, diloloskan oleh LSF pada klasifikasi usia penonton 17 tahun keatas. Hal ini sesuai dengan amanat peraturan perundangan. Film berklasifikasi 17 tahun keatas tentunya hanya untuk disaksikan oleh masyarakat yang sudah dewasa, dan diharapkan bijak dalam memahami konflik suatu cerita, serta menarik kesimpulan hingga pesan moral dalam film yang ditontonnya.

 

Misalnya film “3 Hati, Dua Dunia, 1 Cinta” (2010) yang bercerita tentang seorang pemuda muslim di antara dua wanita, dan dikisahkan bahwa dia lebih menyayangi wanita yang beragama nasrani, “Cinta Tapi Beda” (2012) yang bercerita kisah cinta antara dua insan yang berbeda agama, sampai pada film “Lima” (2018) yang mengisahkan tiga saudara berbeda agama, yang lahir dari ibu seorang muslim (Maryam). Dari tiga anaknya itu hanya ada satu orang yang  beragama Islam, yaitu Fara. Ketika Maryam meninggal dunia, konflik di antara anak-anaknya terjadi, terutama dalam proses pemakaman. Konflik dalam keluarga itu pada akhirnya dapat diselesaikan dengan damai.

 

Jenazah Maryam dimakamkan dengan syariat Islam, tetapi pada saat pemakaman itu diselingi kumandang do’a kristiani. Adegan ini yang memerlukan pendalaman untuk secara bijak memahami dan memaknainya. Dialog Fara yang mengatakan “Dosanya biar kami yang tanggung...” tidak bisa menjadi suatu legitimasi dalam membenarkan sesuatu yang keliru dalam pandangan agama.

 

Sebagai perbandingan yang kaitannya dengan aqidah, seorang perempuan yang belum bebas idah, diharamkan untuk menikah, sehingga penghulu tidak boleh menikahkan mereka meskipun mereka mengatakan “Dosanya biar kami yang tanggung...”. Jadi, pada adegan pemakaman Maryam di film “Lima”, salahsatu yang menjadi bahan pertimbangan untuk dapat memakluminya adalah kondisi atau suasana kebatinan keluarga yang sedang dirundung dukacita dalam cerita tersebut.

 

Film yang bukan bertema agama pun, ketika menyentuh agama tertentu, dapat menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Misalnya film “Naura dan Genk Juara” (2017) yang begitu bagus untuk ditonton anak-anak. Film tersebut dipermasalahkan karena peran penjahatnya digambarkan berjenggot, brewokan, dan sering mengucapkan istighfar. Hal ini dianggap telah memojokkan umat muslim. Film besutan sutradara Eugene Panji ini sama sekali tidak menyentuh akidah agama. Adegan tersebut merupakan suatu hal yang wajar di negara yang mayoritas umat Islam.

 

Dalam kehidupan keseharian pun banyak orang yang mengucapkan salam, hamdalah, istighfar di Indonesia. Bahkan umat non-muslim pun banyak yang terbiasa mengucapkan kalimat tersebut. Kalau penjahat mengucapkan istighfar, apalagi dalam keadaan terdesak, tentu bukan bermaksud memojokkan umat muslim. Justru pada sisi lain, penulis meilhat kandungan pesan moral untuk para penonton, bahwa kita senantiasa harus waspada kepada orang yang berniat jahat. Sebab, di jaman ini banyak orang jahat yang menggunakan kedok agama. Orang-orang yang dengan sengaja berkedok agama untuk berbuat kejahatan itu tentunya termasuk orang yang  menistakan agama.***

 

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post