Artikel - Dermaga Festival Drama Sunda

Teater Dongkrak Tasikmalaya


Oleh DHIPA GALUH PURBA

NANTIKAN berlabuhnya ribuan awak drama dalam sebuah even bergengsi bernama Festival Drama Basa Sunda (FDBS). Festival akbar yang dipelopori oleh Teater Sunda Kiwari (TSK) ini digelar setiap dua tahun sekali.

Grafik kuantitas dan kualitas pesertanya kian menaik. Tentu lebih menggembirakan lagi karena awak dramanya ternyata lebih didominasi kaum remaja. Maka sudah selayaknya ketika TSK mendapatkan anugerah Hadiah Rancage 2008. Dan  masih di tahun yang sama, TSK pun meraih rekor MURI sebagai pelaksana festival drama terlama.

Tahun ini, TSK kembali akan menggelar FDBS XI pada bulan Februari mendatang di Gedung Kesenian Rumentangsiang, Bandung. Artinya, kegiatan ini berlangsung secara kontinu sejak tahun 1990.

Memelihara kegiatan yang berkesinambungan bukanlah pekerjaan mudah. Terlebih lagi kegiatan tersebut tidak menjanjikan keuntungan secara finansial, baik untuk pelaksana maupun pesertanya.

Di tengah terjangan badai budaya barat, masih banyak remaja dan kawula muda yang peduli terhadap seni budaya Sunda. Mereka tidak alergi bahasa Sunda. Bahkan dengan bangga dan penuh rasa cinta, berlomba-lomba menggarap drama berbahasa Sunda.

Membedah naskah berbahasa Sunda, mendalami nilai-nilai budaya Sunda, dan mengeksplorasinya menjadi sebuah pertunjukan berkualitas nan bermakna. Hal ini sekaligus menepis perkiraan beberapa orang tokoh yang telah memvonis bahasa Sunda akan mati pada tahun 2010 (PR/15/02/07).

Bahasa Sunda adalah bahasa rasa. Ia mulai diperkenalkan oleh seorang ibu yang berbahasa Sunda terhadap anaknya. Maka, bahasa Sunda menjadi basa indung. Dalam bahasa indung terkandung cinta dan kasih sayang.

Bahasa rasa bisa membidik mamaras rasa. Dan jangan-jangan meningkatnya kenalan remaja pun salahsatunya disebabkan oleh petuah orang tua yang tidak lagi keuna kana mamaras rasa. Bahasa lain, bisa saja komunikatif, tetapi belum tentu dapat menggugah rasa.

Hal tersebut sangat berhubungan dengan latar-belakang budayanya. Silahkan mencoba menasehati seorang anak Sunda dengan bahasa Inggris misalnya. Bisa saja bahasanya dimengerti, tetapi belum tentu surti.

Bahasa Sunda juga tetap terasa “gaul” di mata para remaja. Coba saja perhatikan beberapa contoh nama grup teater yang telah mendaftarkan diri menjadi peserta FDBS XI, misalnya “Teater The Jebleh”, “Teater Bolon”, “Theroris C13”, atau “Teater Sae”. Dan lebih fenomenal lagi ketika sekelompok tunanetra tengah mempersiapkan diri untuk kembali turut ambil bagian dalam FDBS XI mendatang.

Meski memiliki keterbatasan penglihatan, tetapi mereka bukan sekedar peserta pelengkap. Mereka menggarap pertunjukan drama secara serius, dan dengan percaya diri sudah menyatakan siap “berperang” seraya mendaftarkan grupnya yang bernama “Palagan Teater”.

Proses penggarapan drama Sunda bagi anak-anak sekolah, merupakan salahsatu aplikasi nyata dari pelajaran Bahasa Sunda dan Seni Budaya. Sayang sekali, pelajaran Bahasa Sunda di sekolahan hanya menjadi muatan lokal (mulok) yang nilainya tidak mempengaruhi kelulusan.

Padahal amanat pemeliharaan seni budaya Sunda telah diperkuat oleh Perda Kebudayaan Jabar 2003. Selain itu, UUD 1945 Amandemen telah menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional” (Pasal 32, ayat 2).

Pemerintah pusat telah menyadari betapa pentingnya peran bahasa daerah untuk kemajuan bahasa nasional dan kebudayaan nasional. Bahkan di tingkat internasional, kelangsungan bahasa indung sangat dihargai. Pada 21 Februari 1999, UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) telah mendeklarasikan Hari Bahasa Ibu Internasional (Mother Tongue). Sampai sekarang, Hari Bahasa Ibu Internasional diperingati setiap tanggal 21 Februari.

Ada dua macam regenerasi yang berusaha dibangun TSK, dalam menanamkan kecintaan terhadap budaya Sunda. Yang pertama, tentu saja regenerasi awak panggung. Dalam setiap grup teater, rata-rata personilnya bisa mencapai 40 orang. Jika FDBS XI diikuti 100 grup, berarti sudah 4000 orang yang secara langsung mendalami budaya Sunda, khususnya bahasa Sunda.

Dan yang kedua adalah regenerasi penonton. Dalam setiap pertunjukan peserta FDBS, biasanya selalu dibanjiri oleh para siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum, yang rata-ratanya bisa mencapai 400 penonton.

Pepatah cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok tentunya jauh lebih baik daripada geledug ces. Membuat sebuah kegiatan akbar itu bisa dibilang mudah. Apalagi kalau didukung oleh anggaran dana yang besar.

Tetapi, belum tentu bisa terjamin kesinambunganya. Berarti hanya geledug ces. TSK, yang selama ini kurang mendapat perhatian pemerintah, tetap konsisten menggelar FDBS meski dalam pelaksanaannya harus babak-belur kekurangan biaya operasional. Itulah cikaracak ninggang batu.

Di tengah kondisi memprihatinkan itu, tersiar kabar rencana Pemprop Jabar untuk menggarap film “Perang Bubat” dengan anggaran Rp 6 Miliar. Luar biasa, rupanya Pemprop mau merangkap jadi produser film.

Secara pribadi, saya mendukung garapan film “Perang Bubat”, dengan catatan tidak menggunakan uang rakyat. Untuk mengangkat citra seni budaya Sunda, sebaiknya Pemprop Jabar lebih memprioritaskan berbagai kegiatan yang telah dirintis sejak lama, berkesinambungan, dan memiliki kejelasan visi-misinya.

Membayangkan biaya operasional FDBS dan anggaran film “Perang Bubat”, bagaikan cicak dan dinosaurus. Namun, cicak tampak lebih realistis dan tetap hidup. Sedangkan dinosaurus, kemungkinan besar hanya geledug ces.

Berlabuhlah awak-awak drama Sunda, setelah berjuang membelah lautan peradaban dan terombang-ambing gelombang palagan budaya. Jati kasilih ku junti, jangan sampai terjadi.***


Dimuat di HU. Pikiran Rakyat, Tahun 2008

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post