Catatan Kesenian Dhipa Galuh Purba
Tepatnya di Kampung Nagrog, Desa Cipanas, Kec. Tanjungkerta, Kab. Sumedang. Sebuah wilayah agraris, yang masih memegang teguh budaya leluhurnya. Praktek-praktek ruwatan, pembakaran kemenyan, penyediaan sesajen, pemeliharaan benda keramat, perhitungan hari baik dan buruk, masih tetap digunakan sesuai dengan kebutuhannya.
Terbang Pusaka yang dipasangkan dengan Sambung Layang, merupakan media seni ritual yang digunakan untuk ruwatan atau ngahurip, dengan harapan mendapat berkah keselamatan dan terbebas dari berbagai malapetaka.
Terbang Pusaka dan Sambung Layang sebagai suatu penghargaan terhadap warisan leluhur Ki Sunda, yang dalam kandungannya bukan saja merupakan seni tradisi yang hanya mengandung unsur hiburan. Melainkan upacara ritual sakral, yang makna-maknanya pun patut dijunjung tinggi.
Seperti halnya terdapat dalam penyajian seni tradisi lain, Terbang Pusaka dan Sambung Layang pun dimulai dengan tatalu untuk menarik perhatian masyarakat.
Tapi dalam tata caranya, tentu saja berbeda. Tatalu di sini menggunakan alat terbang yang mengiringi lagu-lagu Islami, serta pujian-pujian kepada Yang Maha Kuasa. Menjadikan suasana menjadi sakral, dan siapa pun tidak diperkenankan untuk menari.
Selanjutnya masuk pada adegan reuahan. Sebuah ungkapan rasa syukur, atas Rahmat Tuhan, yang telah mengijinkan terlaksananya acara tersebut. Para ahli waris pun diperkenankan untuk menari. Dan rumpaka lagu-lagunya mulai berubah. Diantaranya dengan alunan lagu Engko, Kembang Kacang, Malong, Siuh, dan Benjang.
Klimak adegannya diakhiri dengan adegan Puncak Ruwatan. Para penari mengelilingi arena, sambil menyiprati para penonton dengan daun hanjuang, yang telah dicelupkan pada campuran cai hurip dan tujuh kembang.
Semuanya meneriakan 'hurip...hurip...hurip!', yang konon cai hurip ini mengandung berkah. Sangat berguna bagi laki-laki/perempuan yang sulit mendapat pasangan, mencari pekerjaan, dan lain sebagainya. Wallohualam benar atau tidaknya.
Asal-usul Terbang Pusaka
Berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara langsung dengan para personilnya, observasi ke kampung Nagrog, dokumentasi Maman Suharya & Adis Mukaya (Risetan seni: Terbang, Gemyung, dan Bangreng), dan sebuah karya skripsi yang disusun oleh Yanyan (Tari Pada Terbang Dalam Ruwatan Rumah Di Tanjungkerta Sumedang).
Cerita tentang Terbang Pusaka dimulai ketika datangnya keturunan Wali, yang menyebarkan agama Islam ke daerah Sumedang (sekitar abad ke-13). Mereka adalah: Wangsakusumah, Sacapati, Jayapati, dan Madepati.
Mereka menyampaikan ajaran Islam dengan menggunakan seni Terbang. Konon alat Terbang tersebut merupakan sebuah alat musik sejenis genjringan yang ukurannya besar, dibuat oleh R. Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Djati) dari sisa-sisa kayu, bekas pembangunan mesjid Cirebon. Kata Terbang sendiri mengandung makna yang sangat dalam.
Selain ketujuh hurufnya menunjukan jumlah hari dalam seminggu, juga tiap hurupnya memiliki arti masing-masing dalam bahasa Arab. T artinya Tharoban (tanda bukti/riwayat), E artinya 'Adabun (etika seni), R artinya Robana (rebana/marhaba), B artinya Ba'sun (Bangkit luhur/ pusaka), A artinya Addin (agama agung/aturan), N artinya Nadhom (gambaran), dan G artinya Ghusun (gending/tetabuhan).
Pada saat itu, Wangsakusumah dengan gigih menyi'arkan agama Islam ke berbagai pelosok Sumedang. Diantaranya adalah daerah Pasir Pogor, Desa Cipanas, Kec. Tanjungkerta. Kemudian sekitar tahun 1360 M, ia hizrah ke daerah Ujung Jaya/Kamurang. Dilanjutkan tahun 1380 menuju daerah Ujung Berung Bandung.
Syiar Islamnya kali ini dengan media seni benjang. Perjalanannya tidak sampai di sana, pada tahun 1385, Wangsakusumah memasuki wilayah Kuningan dengan memanfaatkan seni balakutak. Baru pada tahun 1400, ia kembali lagi ke Tanjungkerta.
Tentu saja kedatangannya disambut dengan suka cita oleh ketiga orang rekannya. Bahkan Wangsakusumah mendapat julukan 'Eyang Wangsarudin'. Para santrinya pun membacakan asma Alloh dengan iringan gesekan bambu (Awiwulung). Dan para santrinya mengganti gelar 'Eyang Wangsarudin' menjadi 'Eyang Suci'.
Pewaris Terbang Pusaka
Alat musik yang bernama Terbang tersebut, sampai saat ini masih dapat dipelihara keberadaannya. Bahkan penambahan nama Pusaka pun, dikarenakan alat musik Terbang tersebut masih asli merupakan barang bersejarah peninggalan Wangsakusumah.
Diwariskan secara turun temurun sampai sekarang. Sekitar tahun 1850, pewarisnya adalah Jion, Karsim, Kasim, yang berada di bawah pimpinan E. Ecoh.
Kemudian dilanjutkan oleh Sujam, Emuh, dan Sukarsih, yang membawa perkembangannya hingga ke daerah Bangbayang, Sukaregang, Hariang Buahdua, dan sekitarnya. Pada tahun 1935, ahli warisnya adalah Adis Mukaya. Lalu diwariskan lagi kepada Maman Suharya, pada tahun 1967.
Maman Suharya berusaha mengembangkan seni Terbang pusaka ini, agar tetap bisa diminati oleh masyarakat. Diantaranya dengan merubahnya menjadi seni gemyung, menambahkan alat musik: sebuah gendang, empat terbang, terompet, penambahan ketuk dan gong buyung.
Namun rumpaka lagu wangsalannya tetap dipertahankan. Bahkan semakin lama, kesenian ini kemudian menjadi Bangreng (Singkatan dari Terbang dan Ronggeng). Dan bukan saja ada penambahan alat musik, melainkan dipadukannya juga unsur tari jaipongan dan penca silat.
Kini, di saat perkembangan alat musik modern dari barat yang sudah sangat mengakar pada masyarakat Indonesia umumnya, masyarakat tatar Sunda khusnya, masih mampukah Seni Terbang Pusaka dilestarikan keberadaannya?
Tentu saja jawabannya akan sangat tergantung dari para generasi muda Sunda, serta perhatian dari pemerintah yang terkait.
Yang pasti, menghidupkan jenis seni tradisi yang sudah hilang, jauh akan lebih sulit dibandingkan dengan menghidupkan seni tradisi yang masih diketahui keberadaanya.
Dalam arti kata, dari pada mencari seni tradi yang sudah tidak nampak, lebih baik memberikan 'perhatian' terhadap seni yang masih ada dan hampir punah. ***
Komentar