Kisah Marlina, Wanita Yang Diperkosa Gerombolan Perampok




Catatan DHIPA GALUH PURBA

“...harga kita adalah kehormatan kita”

 

BEGITU ungkap Penyair W.S. Rendra dalam sajaknya yang berjudul Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya. Kehormatan menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi setiap insan. Tidak akan ternilai harganya. Orang yang menjunjung tinggi kehormatannya, pasti akan senantiasa mempertahankan kehormatannya itu hingga titik darah penghabisan. Seperti juga yang dilakukan oleh tokoh Marlina yang memenggal kepala Markus, pemimpin geng perampok dalam film ”Marlina Si Pembunuh Empat Babak” (2017) .

Kalau saja Markus dan komplotan perampok hanya merampas harta Marlina sebagai pelunasan utang mendiang suaminya, belum tentu Marlina melakukan kenekatan itu. Namun, napsu iblis yang merasuki jiwa Markus untuk merenggut kehormatan Marlina, membuat janda yang baru ditinggal mati oleh suamianya itu melakukan kenekatan, demi mempertahankan kehormatannya. Dalam kondisi terdesak seperti itu, hanya ada satu pilihan: mempertahankan kehormatan dengan segala daya. Seorang wanita bisa menjadi sangat perkasa ketika merasa kehormatannya akan direnggut paksa.

 

Memenggal kepala, menenteng kepala: adakah yang merasa iba atau sedikit saja berempati kepada nasib Markus, sang pemimpin perampok? Sepertinya tidak, kecuali cara pandang hidupnya atau profesinya sama seperti Markus. Seorang copet yang tertangkap, kemudian dikeroyok beramai-ramai, mungkin saja masih ada yang berempati ketika mengetahui latarbelakang ia mencopet karena terdesak kebutuhan hidup, anaknya sakit keras, misalnya. Pasti ada saja rasa iba. Berbeda dengan orang yang memperkosa. Tidak ada alasan apapun bagi seorang pemerkosa selain ingin memenuhi nafsu syahwatnya. Tidak ada yang diperjuangkan oleh seorang pemerkosa selain mengukuhkan keegoan dirinya. Ini bisa menjadi peringatan keras untuk kaum yang berniat memperkosa. Memaksa merenggut kehormatan atau kesucian seorang wanita, akibatnya bisa sangat fatal.

 

Adegan pemerkosaan Marlina dan Marlina yang menenteng kepala Markus mendapat perhatian khusus dalam proses penyensoran ”Marlina Si Pembunuh Empat Babak” di Lembaga Sensor Film (LSF). Dalam menilai dan meneliti film, LSF tidak melihatnya secara farsial. Konteks cerita senantiasa menjadi sesuatu yang sangat dipertimbangkan. Marlina memenggal kepala orang, karena ada penyebabnya yang sangat logis dalam cerita. Marlina itu bukan seorang psikopat tukang membunuh. Ia membunuh untuk mempertahankan kehormatannya. Adegan menenteng kepala Markus merupakan gambaran Marlina yang memiliki sensibilitas hukum, yang siap bertanggungjawab atas perbuatannya. Kepala Markus dibawa ke kantor polisi untuk dijadikan bukti bahwa ia telah membunuh pemimpin rampok itu. Dari adegan tersebut, jelas bahwa Marlina pun menyadari perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di depan hukum.

 

Jika setting lokasinya di Bekasi, Jawa Barat, kemungkinan besar Marlina tidak akan dipidana. Bahkan Polisi akan memberikan penghargaan kepada Marlina. Mari kita lihat kasus pembunuhan begal yang dilakukan oleh seorang pemuda pemberani bernama Irfan Bahri (19) pada bulan Mei yang lalu. Irfan yang dibegal di flyover Summarecon tidak pasrah begitu saja, melainkan melawan begal sehingga terjadi pertumpahan darah. Meski Irfan dikeroyok, tetapi Irfan lebih tangguh, sampai salahsatu dari pembegal itu meregang nyawa. Irfan tidak dihukum, malah mendapatkan penghargaan atas keberaniannya melawan begal. Polisi memastikan bahwa melawan begal tak dipidana, demikian kutipan dari judul berita www.merdeka.com (31/05/2018).

 

Konteks ceritanya bisa dipahami, dan film ”Marlina Si Pembunuh Empat Babak” diputuskan lolos sensor untuk ditonton oleh masyarakat berusia 21 tahun keatas (21+). Berdasarkan kriteria penyensoran yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 18, tahun 2014, untuk film yang dikategorikan 21+ diperbolehkan mengandung adegan visual dan dialog tentang seks serta kekerasan dan sadisme yang tidak berlebihan (Pasal 36, huruf c). Sekali lagi, sadisme diperbolehkan tetapi tetap tidak berlebihan. Maka film ”Marlina Si Pembunuh Empat Babak” pun diloloskan 21+ dengan revisi pada adegan pemerkosaan dan kepala Markus yang ditenteng. Meskipun LSF memahami konteks cerita pada film yang disensor, tetapi untuk adegan-adegan yang terlalu vulgar atau sadis tetap harus direvisi sebelum mendapatkan Surat tanda Lulus Sensor. Kurang-lebih ada 50 detik yang harus direvisi pada Film ”Marlina Si Pembunuh Empat Babak” yang disensor LSF pada 12 Juli 2017.

Sebagai bahan perbandingan, untuk cerita sepasang suami-istri sekalipun, ketika divisualisasikan melakukan hubungan persetubuhan yang vulgar, tentu harus direvisi. Konteksnya benar suami-istri, tetapi ketika terlalu vulgar divisualkan maka akan mengarah pada penonjolan pornografi yang dilarang oleh UU Perfilman 2009. Klasifikasi 21+ bukan berarti dapat memvisualkan adegan seks dan kesadisan sebebas-bebasnya, karena dibatasi dengan kalimat: tidak berlebihan.

 

Dengan adanya sensor pada adegan pemerkosaan dan kepala manusia yang ditenteng Marlina, ceritanya tidak terganggu. Terbukti film ”Marlina Si Pembunuh Empat Babak” terpilih menjadi jawara pada perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 2018. Selamat untuk seluruh tim kreator film ”Marlina Si Pembunuh Empat Babak”, yang telah menempati posisi paling terhormat di ajang FFI 2018.***


0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post