Film Indonesia Bernuansa Lokal





Oleh SUDAMA DIPA

TIDAK ada salahnya kita melirik sejenak film-film Jepang, China, Korea, atau India. Beatapa kuatnya semangat para sineas untuk senantiasa memelihara kebudayaan  mereka. Dari yang tampak dengan jelas, semisal fashion, adat istiadat, dan bahasanya yang tidak terlewatkan dalam film-filmnya yang mendunia. Atau kita perhatikan dalam credit title, selain menampilkan huruf latin, mereka tetap bangga dan sangat percaya diri menghiasi film-film mereka dengan huruf hiragana, katakana, kanji, hangul, dsb. Hal itu membuat film-filmnya memiliki jatidiri dan karakteristik bangsanya. Film-filmnya mendunia tanpa harus tercabut dari akar kebudayaannya.

Kesadaran seperti itu yang tidak dimiliki para sineas Indonesia. Huruf hanacaraka Jawa atau kaganga Sunda hanya menghiasai nama-nama jalan tertentu di daerah masing-masing, dan hanya segelintir orang yang mampu membacanya. Biarlah nasib huruf, kalau memang sudah terlanjur terputus pewarisannya. Masih ada unsur-unsur budaya lainnya yang belum terlambat untuk dipertahankan.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berencana untuk melakukan Pengembangan Laboratorium Kebinekaan Indonesia Berbasis Teknologi. Salahsatu bidang garapannya adalah mendokumentasikan film-film Indonesia yang memiliki nuansa lokal, baik itu bahasa atau lebih luasnya kebudayaan Indonesia.

Nanti kita akan bisa menghitung, berapa banyak film Indonesia yang mencerminkan rasa kebanggaan menampilkan jatidiri bangsa sendiri? Di sisi lain,  belakangan ini Lembaga Sensor Film (LSF) banyak menerima film-film Indonesia, yang mengambil lokasi syuting di luar negeri, sekaligus dengan menampilkan kebudayaannya. Para sineas telah banyak membantu mempromosikan pariwisata di luar negeri. Misalnya, kekaguman akan alam negeri Belanda, tersurat dan tersirat dalam cerita Negeri Van Oranye. Bandingkan dengan film 5 Cm, yang berisi kebanggaan menjadi bagian dari manusia Indonesia.

Ada film yang menceritakan tokoh-tokoh WNI yang justru larut terhadap budaya yang kurang selaras dengan adat ketimuran. Misalnya seorang laki-laki dan perempuan yang hidup dalam satu rumah tanpa ada ikatan pernikahan, sebagaimana contohnya yang divisualkan dalam film Sunshine Becomes You. Meski demikian, memang film tersebut “bersih” dari adegan yang tidak diperkenankan dalam pedoman penyensoran, sehingga dapat mengantongi Surat Tanda Lulus Sensor, dengan kategori 13 tahun keatas.

Demikian halnya dengan bahasa. Tentu terbilang wajar menggunakan dialog berbahasa Inggris dan judul film berbahasa Inggris, jika setting lokasinya di luar negeri. Namun ada juga film-film yang syutingnya di dalam negeri, tetapi judul dan dialog-dialognya menggunakan bahasa asing. Padahal Indonesia merupakan sebuah negeri yang memiliki kekayaan bahasa yang luar biasa. Selain bahasa nasional, ada banyak bahasa daerah yang sampai hari ini tetap terjaga keberadaanya dan dipergunakan dalam bahasa komunikasi sehari-hari. Misalnya dalam perhelatan Hadiah Sastera Rancagé, masyarakat dapat mengapresiasi sastera berbahasa Sunda, Jawa, Bali, Lampung, dan Batak.

Bahasa hanyalah salahsatu unsur dari budaya. Dibalik  bahasa tentu ada kearifan lokal yang masih terpelihara. Karya sastera berbahasa daerah dapat menjadi salahsatu sumber inspirasi para insan perfilman untuk melahirkan karya.

Menengok kehidupan bahasa daerah, akan lebih menggembirakan lagi jika meneropong dari ruang penyensoran LSF. Hampir setiap hari, ada konten berbahasa daerah yang disensor. Video klip, ceramah agama, drama, dan komedi. Selain lima bahasa yang dinilai setiap tahunnya dalam Rancage, hadir pula konten berbahasa Aceh, Minang, Maluku, Bugis, dan lain-lain. Itulah kekayaan nusantara. Local genius dan local colour yang tentunya penting untuk dipertahankan keberadaannya.

Di sisi lain, banyaknya konten bernuansa lokal, menjadi tantangan tersendiri bagi LSF. Kehadiran perwakilan LSF di ibukota Propinsi semakin penting untuk segera direalisasikan. Maraknya ragam konten lokal, diiringi pula dengan hadirnya stasiun televisi di berbagai propinsi. Adapun kriteria utama pembentukan LSF perwakilan di Propinsi adalah banyaknya jumlah lembaga penyiaran televisi di daerah, jumlah rumah produksi, jumlah tayangan yang diproduksi, dan adanya dukungan dari pemerintah daerah yang bersangkutan.

Televisi lokal hadir menawarkan aneka tayangan yang diantaranya mengandung kearifan lokal yang terjaga. Namun disamping itu, dikhawatirkan pula lolosnya tayangan yang tidak selaras dengan budaya di daerah tersebut. Tentu saja tokoh-tokoh di daerah itulah yang tampaknya akan lebih berkompeten dalam memilih dan memilah tayangan. Disebutkan dalam UU Perfilman 2009, Bab VI, Pasal 58, butir ke-4, bahwa Lembaga Sensor Film dapat membentuk perwakilan di ibukota provinsi. Lebih detail pembentukan perwakilan LSF, dipaparkan dalam PP No. 18 Tahun 2014, terutama pada Bab V, Pasal 41 sampai 43. Dengan adanya payung  hukum yang jelas, maka pembentukan perwakilan LSF di ibukota Propinsi penting untuk segera terealisasi. Salahsatunya untuk mendukung program Kemdikbud dalam Pengembangan Laboratorium Kebinekaan Indonesia Berbasis Teknologi.***

Dimuat di Majalah Sensor Film, Edisi VI, 2015


0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post