Cerpen: Kartono





Cerpen DHIPA GALUH PURBA

KETUKAN palu tiga kali! Rapat ditutup! Semua peserta segera beranjak meninggalkan kursinya masing-masing. Termasuk Kartono, ketua dewan tertinggi. Ia merapihkan kembali berkas-berkas dokumen yang baru saja diperbincangkan panjang lebar.

Rapat berjalan dengan lancar. Tak ada perhelatan pendapat, yang bisa menuju perpecahan. Apalagi sampai terjadi perkelahian dalam sidang, sangat dihindari, bahkan diharamkan. Entah mantra seperti apa yang dibaca Kartono, sehingga peserta rapat bisa senada dengan keputusan yang diambilnya. Tidak ada seorang pun yang berani mengajukan interupsi. Semuanya sangat puas dengan program kerja yang sudah dan akan dilaksanakan Kartono. Semua mendukung suatu revolusi yang akan segera dimulai. Revolusi yang akan mengusung Kartono menjadi seorang pahlawan emansipasi.

            Para peserta rapat yang semuanya laki-laki, meninggalkan ruangan dengan tertib dan aman. Detak langkah-langkahnya seakan membawa harapan yang paling baru. Harapan yang telah begitu lama dinanti-natikan. Harapan yang juga pernah diraih oleh kaum mereka. Menurut Kartono, entah bagaimana awalnya, yang jelas kaumnya telah kehilangan sesuatu yang dulu pernah dimilinya. Kartono telah memploklamirkan diri sebagai pelopor sebuah emansipasi akhir abad duapuluh satu.

            “Memang benar, kaum kita telah dijajah, dan kita harus berjuang untuk meraih kemerdekaan itu!” begitu yang dikatakan Harun, salah seorang peserta rapat.  Ia berbincang- bincang dengan Among, sambil berjalan menuju ke arah halte.

            “Apakah kau yakin, kalau emansipasi itu akan…” Among tak sempat melanjutkan ucapannya, karena ada sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi, hampir saja menabrak mereka. Suara rem melengking dengan keras, membuat orang-orang di sekitarnya menjadi terkejut.

            “Hati-hati kalau nyebrang, tolol!” Si Sopir membentaknya, sambil melongo dari jendela yang sengaja dibuka.

            “Maaf, Bu. Kami memang kurang hati-hati,” jawab Among sambil membungkukan badan. Tampak Among begitu ketakutan. Padahal yang duduk di belakang setir itu adalah seorang wanita yang cantik. Namun kecantikannya seakan telah berubah menjadi wajah seekor harimau yang mengaum. Sangat menakutkan.

            “Dasar bego!” ucapnya lagi sambil menancap gas. Mobil melaju dengan kencang, membelah jalanan yang penuh keramaian. Cekikikan gadis ABG terdengar di seberang jalan.

            Halte bis kota sudah sesak oleh calon penumpang yang kebanyakannya para wanita. Ada yang pulang kuliah, pulang belanja, atau pulang hura-hura. Yang pasti, selain Among dan Harun, hanya ada seorang laki-laki muda yang tengah duduk dengan santai, sambil menikmati isapan rokoknya. Among menghampirinya.

“Mau kemana, Mas?” tanya  Among.

            “Jemput istri,” jawabnya sambil menunjukan jari ke  sebuah gedung perkantoran bertingkat lima. Entah bekerja di bagian mana. Yang pasti, di kantor itu didominasi oleh kaum wanita. Kalau pun ada satu atau dua orang laki-laki, pekerjaannya hanya sebagai tukang jaga atau tukang membersihkan lantai.

            “Ini sudah keterlaluan…” Harun berbisik kepada Among. Sementara itu Among hanya membalas dengan anggukan kepala. Matanya memandang ke arah jalan raya yang hampir setiap hari dilanda kemacetan. Tidak heran, jika menunggu bis kota pun begitu lama. Banyak mobil-mobil mewah memenuhi jalan raya, tetapi kurang efektip. Mobil-mobil yang hanya ditumpangi oleh sopir, seorang wanita tua atau muda yang memamerkan  kecantikan wajah yang tiada cantik lagi.

            Sopir taksi di halaman gedung perkantoran sudah mulai sibuk. Dengan sikap yang sopan, membungkukkan badan sambil menawarkan jasa angkutan terhadap para karyawati yang baru bubar. Tentu saja tidak akan terlalu laku. Sebab sebagian besar diantara mereka, sudah memiliki kendaraan pribadi. Tentunya  hanya tukang parkir saja, yang bisa mendapatkan sedikit uang saku. Meniup peluitnya, membimbing mobil menuju jalan raya yang kian macet.

            Di sebelah barat gedung perkantoran, berdiri sebuah bank yang bangunannya tak kalah megah. Bahkan dilengkapi dengan fasilitas keamanan yang lebih ketat. Tentunya untuk melindungi para karyawati yang baru saja keluar dari kantornya. Para karyawati yang mengenakan pakaian seragam. Kemeja panjang dengan bahan kain yang agak tipis. Disambung kebawahnya dengan rok mini yang begitu mininya.

Para penambang becak yang berjajar di trotoar jalan, matanya hampir tidak berkedip. Bahkan ada juga yang menelan air liurnya sendiri. Tidak ada yang berani menyentuhnya, meski tangan-tangannya hampir sudah tidak tahan untuk mencoba meraba keindahan tersebut. Keindahan yang sengaja dipertontonkan, tetapi hanya bisa dinikmati oleh mata, tidak lebih. Menurut Kartono, hanyalah penjajahan atas birahi kaum laki-laki.

            “Kenapa kau pucat pasi seperti itu?” tanya Among, sambil menatap wajah Harun dengan penuh ketegangan. Harun tidak menjawab. Hanya matanya saja yang terpaku memandang ke sebelah utara. Terlihat segerombolan buruh yang baru saja bubar dari sebuah pabrik yang cukup besar. Seperti semut. Para buruh wanita itu berbondong-bondong menyebrangi jalan raya. Pakaiannya juga seragam. Haya saja, roknya tidak sependek karyawati bank. Kalau pun ada, hanya satu atau dua orang saja.

            “Apa kau tidak takut menghadapi mereka?” bisik Harun.

Kali ini Among tidak menjawab sepatah kata pun.

            “Kita tidak akan kebagian tempat duduk.”

Ada butiran air mata yang menetes dari kedua matanya. Air mata yang mengandung kepedihan.

            “Tenanglah. Sebentar lagi Kartono akan turun ke jalanan, untuk
memperjuangkan emansipasi laki-laki.” Baru kali ini Among berucap. Itu pun dengan perlahan. Mungkin dikarenakan ada seorang wanita yang baru saja duduk di sampingnya. Wajahnya cantik, mengenakan seragam yang serba mini, duduk menumpang kaki.

            “Lagi nunggu bis kota, ya?” Among memberanikan untuk bertanya.

            “Emang kenapa? Sinis ya? Supaya kau tahu, gue memang baru seminggu ini bekerja di bank. Tapi dalam jangka waktu seminggu lagi, gue juga akan segera mendapatkan sebuah mobil mewah. Dan lu gak usah nanyain bagaimana caraku mendapatkan semua itu. Lebih baik, lu perhatiin aja urusan rumah. Mencuci piring, menanak nasi, ngepel, ngantar istri, jemput istri, dan ditiduri istri…” jawabnya dengan ketus dan angkuh.

Among tak berani bertanya lagi. Namun kesempatan itu tidak disia-siakan Harun, untuk memandang paha mulus dengan leluasa.

 “Kartono datang…” bisik Among.

***

Bubat 212, 2000




Dimuat di HU. Pikiran Rakyat, tahun 2000

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post