Catatan Seni: Dangiang Karawitan: Menembus Dimensi Regius

Doddy Satya Ekagustdiman


Oleh DHIPA GALUH PURBA

Bahkan hembusan angin pun merupakan salah satu bagian dari musik alam ini. Bandingkan pula dengan perkataan seorang ahli tari, yang menyebutkan; berjalan pun merupakan salah satu bagian dari seni tari.

Sehingga sangat tidak adil, jika pentas musik  -yang dianggap- paradoks/abstrak karya Dody Satya Ekagustdiman tidak dikategorikan sebagai bentuk musik'. Tentang adanya warna teaterikal yang cukup kental (atau bisa jadi mendominasi), tentu saja merupakan nilai plus-nya pada sebuah pertunjukan.

Sebagaimana sarat dari setiap pertunjukan -baik musik atau teater-, memang harus bisa dinikmati oleh telinga, mata, hidung, sampai kepada rasa. Minimal ada salah satu diantaranya.Gelar Karya TFA (Tenaga Fungsional Akademic) persembahan Jurusan Karawitan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesi) Bandung -yang digelar pada beberapa waktu yang lalu di Gedung Kesenian Dewi Asri- rasanya akan lebih layak jika diberi judul 'Gelar Dialog Musik Religius'.

Saya tidak akan membahas sisi musikalitasnya, sebab saya tidak begitu mengerti tentang musik. Tapi saya lebih tertarik untuk mengeksplorasi sisi religiusitas yang terkandung dalam persembahan musik Yus Wiradireja, Rina Sarinah, dan Dody Satya Ekagustdiman. Ketiga karya yang digelar, mampu untuk menembus dimensi religius.

Menyimak setiap suguhan dari garapan 'Dangiang Karawitan' tersebut, makin terasa adanya hubungan yang sangat erat antara tradisi Sunda dan Agama Islam. Seperti yang digelar oleh Yus dalam karya 'Komposisi Perkusi Solawatan' dan 'Lagu-Lagu Nuasa Islami' dengan dukungan kelompok At-Thawaaf.

Atau juga pada sajian 'Sekar Kahirupan' karya Rina Sarinah, yang mengemas 'tujuh' buah lagu berjudul Syukur, Uwung-Uwung, Tembang, Tinggal Ngeunteungkeun, Sujud, Bingbang, dan Alloh Ya Alloh. Kedua pementasan itu sangat syarat dengan teks ke-Islaman dan Ke-Sundaan.

Sebagaimana tercermin dalam judul 'Komposisi Perkusi Sholawatan, Yus menghadirkan musik kompoposisi sebagai kekuatan untuk mengusung rumpaka Sholawatan. Suasana ritual sangat terasa, ketika pagelaran tengah berlangsung. Para penonton menyaksikannya dengan khidmat.

Termasuk pada pementasannya yang kedua bersama kelompok musik Ath-Thawaaf. Kelompok yang pernah meluncurkan album rekaman 'Jihad dan Tahmid' ini, tampil dengan gaya khas-nya. Teks dakwah Islam, merupakan tema yang selalu diangkat dalam setiap karyanya.

Diiringi dengan olahan musik yang sudah mengalami peracikan bentuk dan wilayah nadanya, pembauran antara diatonis dan pentatonis. At-thawaf menggunakan alat musik seperti kacapi, suling, gendang, angklung, gembyung, piul (vioolin; biola), sulangsong, darbuka, dan sebagainya.

Menurut pandangan Yus, bahwa mensyi'arkan agama Islam melalui seni (khususnya seni musik) merupakan salah satu media alternatif dakwah yang efektif. Dan memang dalam sejarah pengembangan Islam pun, para ajengan atau santri sudah sejak dulu mendakwahkan syi'ar Islam melalui seni tradisi.

Contohnya pupujian dalam mengisi waktu antara adzan dan komat. Jika diamati  lebih teliti, baik disadari atau tidak, bahwa pupujian yang dilantunkan itu berdasarkan pada tangga nada salendro, pelog, madenda (nyorog), dan sebagainya. Puluhan atau bahkan ratusan pupujian sudah berhasil dibuat oleh kreativitas lingkungan pasantren.

Bahkan sampai penghujung abad ke-20, masih banyak wawacan populer yang memiliki latar cerita Islam, saperti Wawacan Ahmad Muhamad, Wawacan Ambiya, wawacan Nabi Paras, Wawacan Samaun, dan lain sebagainya.

Tujuh buah alunan musik persembahan Rina Sarinah, tak luput mengandung kekuatan ritual yang sama. Bahkan jika menyimak cara Rina memilih angka 'tujuh' pun, tampak Rina ingin menyodorkan angka 'tujuh', sebagai kekuatan dari religius-nya.

Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Jakob Sumarjo, bahwa angka 'tujuh' merupakan logika mistis yang merata di Tanah Air. Dan angka tujuh juga dikenal dalam tradisi tasawuf, mistik Islam.

Kendati adanya keterkaitan antara wilayah Tradisi Sunda dan Agama Islam, namun pada realitasnya masih saja 'belum terjalin' secara romantis. Padahal antara wilayah pesantren dan para seniman tradisi -khususnya di Tanah Sunda-, sebenarnya ada jalinan yang sangat baik.

Sebagai gambaran kecil -Baik disadari atau tidak-, harus diakui lingkungan Pasantren pun turut melestarikan budaya Sunda. Contoh yang paling mendasar adalah penggunaan Bahasa Sunda -yang sampai saat ini- dijadikan sebagai bahasa pengantar ajaran Islam di Pasantren tradisional.

Tidak usah terlalu mempermasalahkan tentang undak-usuk dan tek-tek bengek lainnya dalam Bahasa Sunda. Yang pasti mereka tetap konsisten menggunakan Bahasa Sunda. Ini perlu dihargai oleh para seniman atau budayawan Sunda.

Bagaimanapun juga, penggunaan bahasa Sunda adalah bagian dari budaya Sunda yang paling mendasar. Itu pasti. Sebab jika Bahasa Sunda sudah musnah, apakah tradisi Sunda lainnya akan bisa dipelihara keberadaannya? Mustahil.

Ada yang 'aneh' tatkala mengikuti perkembangan musik pada zaman ini. Jika ditinjau dari antropologi musik berdasarkan kajian filsafat Islam, bahwa musik itu memiliki makna religius, khususnya dalam aktivitas ritual.

Agama dan Seni -baik seni musik, teater, rupa, dan tari- terlahir dari wilayah yang sama. Sebut saja bahwa seni itu merupakan ekspresi dalam menjalankan agama. Bahwa musik juga merupakan sarana untuk hiburan, itu pun benar.

Namun konteks hiburan inilah yang saat ini begitu menyimpang. Musik telah identik dengan hura-hura. Padahal hiburan dalam makna Islami (religius) adalah pencerahan batin untuk mendapatkan ketenangan. Pencerahan batin untuk menuju jalan yang diridhoi-Nya.

Dody Satya Ekagustdiman yang mempersembahkan karya musik instrumen 'Jalangkung' dan Opera Kapiuhan (pingsan) mencoba untuk menyadarkan manusia akan jati dirinya. Konsep Dody yang 'memperhatikan sesuatu yang tidak biasa diperhatikan', membawa pikiran kita pada alam musik paradoks.

Tak ubahnya juga dengan karya Dody sebelumnya, ketika tampil bersama Pasukan ketuk-nya pada acara Festival Gamelan Yogyakarta ke-7, tanggal 11 Juli yang lalu di Jogjakarta. Waktu itu, Dody menggelar karya musik komposisi yang berjudul 'Gerendeng Tali Qolbu'. Bisa jadi, Dody sedang mencari masa lalunya untuk berbenah diri menghadapi masa yang akan datang.

Tokoh pewayangan Rahwana yang disimbolkan dalam 'Opera Kapiuhan' merupakan tafsir lokal Dody melalui media musik ketuk-nya atas Islam. Ada pesan moral dan kritikan sosial  yang ingin disampaikannya.

Jelas sekali merupakan karya yang Islami, walaupun tidak 'dibumbui' oleh diksi yang berbahasa arab. Dengan cara itu, Dody melakukan pembacaan terhadap ajaran Agama Islam melalui nalar lokal Sunda atau bahasa yang hidup dan lebih dikenal oleh masyarakat Sunda.

Keragaman bentuk tampilan musik, merupakan sebuah kekayaan dalam percaturan seni karawitan. Namun yang lebih penting, dalam keragaman itu memiliki satu tujuan yang sama, yakni mengusung makna religius (Islam) menuju sebuah jati diri.

Seperti juga yang disimbolkan pada pembakaran obat nyamuk. Pada dasarnya, yang sedang dilakukan oleh Yus, Rina, dan Dody, bukanlah sekedar membuat karya seni karawitan. ***




0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post