Cerpen Dadan Sutisna - Parang Lebaran




Cerpen DADAN SUTISNA

DARMAN, begitu orang kampung memanggilnya. Dia sudah sepuluh kali berlebaran di dalam penjara. Tahun lalu dia bebas, dan sekarang dia tobat.

Parang itu dibungkusnya dengan kain putih, kemudian dikubur di belakang rumah. Ini simbol penyesalan, gumamnya. Mengubur parang berarti mengubur masa lalu. Kini hari-harinya dimanfaatkan untuk belajar mengaji di masjid. Dia kemudian menikah, dan berharap mempunyai seorang anak untuk melengkapi kebahagiannya. Kini dia lebih akrab dengan kemiskinan. Kebutuhan hidup istrinya dicukupi dengan profesi kuli bangunan. Dia bahagia bisa hidup miskin, karena menurut Ustad Heru, guru mengaji: miskin di dunia, bukan tentu miskin di akhirat kelak.

Di kampung itu Darman dapat bertetangga dengan baik, dan orang-orang kampung sudah melupakan masa lalunya. Darman kini dikenal sebagai orang alim yang taat beribadah.

Genaplah kebahagiaan itu, ketika dia mendapat kabar istrinya tengah mengandung. Mengapa Tuhan mengabulkan permintaan orang yang berlumur dosa dengan secepat itu? Dia hampir tidak percaya.

Untuk menyambut anak pertamanya, beberapa pakaian bayi sudah disiapkan. Dia meminta Minah, istrinya, untuk meninggalkan pekerjaan rutinnya. Setiap pagi Darman mencuci pakaian, memasak di dapur dan membersihkan rumah. Dia selalu marah ketika istrinya turut campur dalam pekerjaan itu.

“Uruslah perutmu itu agar selalu sehat!” katanya. Darman khawatir ada yang tidak beres apabila Minah terlalu lelah.

Bulan puasa sudah tiba. Kehamilan Minah genap sembilan bulan.

“Bagaimana kalau anak kita diberi nama Fitri. Kata Ustad Heru, Fitri berarti suci!” bisik Darman selepas berbuka puasa. Tangannya mengusap-usap perut Minah dengan sangat hati-hati.

“Apa kau yakin anak kita perempuan?”

“Pinginnya sih perempuan. Tapi aku akan menerima apa yang Tuhan kehendaki. Aku ingin melihat anak kita tumbuh besar, belajar mengaji dan menjadi seseorang ustad!”

***

MALAM lebaran. Minah seperti merasakan sesuatu yang aneh di dalam perutnya.

“Perutku… sakit sekali!” rintihnya.

“Ini malam lebaran, Minah. Orang-orang kampung sedang merayakan kemenangan. Mereka telah
menamatkan puasa. Kau tidak bisa menahan sakitmu itu?”

“Mungkin anak kita akan lahir!”

“Apa?”

“Benar, Kang. Rasanya ada yang bergerak dalam perutku!”

“Tunggu!” Darman gugup. Dia memanggil tetangganya. Namun mereka tengah sibuk untuk menyambut lebaran; ada yang memasak, menyetrika baju baru, dan kebanyakan sudah berangkat ke masjid untuk melaksanakan takbiran. Hanya beberapa perempuan tua yang bersedia menemani istrinya.

“Aku akan memanggil dukun beranak!”

Darman bergegas menuju rumah Mak Ijah. Beberapa orang kampung yang sempat bertanya di perjalanan, nyaris tak dijawab. Pikirannya sangat kalut. Baru saat ini dia merasakan kagugupan luar biasa. Entah mengapa, tiba-tiba tersirat di benaknya dosa-dosanya masa lalu.

“Bukannya Emak tidak mau menolong, Ujang. Besok pagi anak-cucu Emak akan berkumpul di sini, dan Emak harus menyiapkan sedikit makanan untuk mereka. Lagi pula, sejak ada bidan desa itu, Emak tidak berani lagi mengurus wanita hamil. Emak takut salah!”

Ditemuinya rumah dinas bidan di balai desa. Namun tidak didapatinya. Bidan itu sudah pergi sejak tiga hari lalu untuk mudik ke kampungnya. Kecemasan pun menjadi-jadi. Peristiwa di terminal, berbagai pembunuhan dan perkelahian berkelabat ketika itu.

Puskesmas. Itulah tempat yang aman untuk istrinya. Namun dia harus memikirkan bagaimana membawa istrinya ke Puskesmas. Tempatnya cukup jauh dan harus ditempuh dalam waktu beberapa jam.

Haji Obar. Mungkin dia mau mengantarkan istrinya ke Puskesmas dengan mobilnya. Lagi-lagi Darman kecewa. Mobil itu telah disiapkan untuk menjemput anaknya di kota.

“Tentunya bisa mampir ke Puskesmas, sekalian saja ikut menumpang!” pintanya.

“Mobil ini sudah penuh dengan sayuran. Saya akan menjualnya ke kota, sekalian menjemput anak saya!” kata Haji Obar.

Darman sedikit heran, mengapa di malam lebaran Haji Obar masih sibuk berbisnis. Mungkin juga itu hanya sebuah alasan, atau sekedar basa-basi.

Di halaman masjid, Darman bertemu Ustad Heru.

“Mengapa engkau tidak mengikuti takbiran, akan lebih afdol puasamu bila malam ini kau berada di masjid!” katanya sembari menghitung biji tasbih.

Darman segera menceritakan apa yang sedang terjadi. Ustad Heru mengangguk-angguk.

“Kau sudah menemui Haji Obar?”

“Sudah Ustad, tetapi mobilnya akan dipakai mengangkut sayuran ke kota!”

“Kau berangkat duluan ke Puskesmas. Nanti saya dengan yang lainnya menyusul!”

“Berjalan kaki?”

“Kau usahakan saja bagaimana caranya. Saya akan memberikan dulu sedikit ceramah di masjid!” Ustad Heru tergesa-gesa masuk ke dalam masjid.

Darman berdiri bimbang. Ia menatap langit. Sangat gelap. Tiba-tiba di atas sana ia melihat istrinya tengah meronta-ronta kesakitan. Dan kejadian di terminal itu, mengapa selalu menghampirinya, padahal ia sudah menguburnya dalam-dalam.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba dia ingat, bahwa Mahdi, tetangganya, mempunyai sepeda motor.

“Kenapa aku tidak menemuinya?” gumamnya. Langkahnya kemudian ditujukan ke rumah Mahdi.

“Sudahlah, kita bawa saja istrimu dengan sepeda motorku!”

“Aku tidak punya uang. Asal kau tahu saja, kemarin aku mempunyai uang beberapa puluh ribu, namun sudah dihabiskan untuk membeli baju istriku dan membayar zakat fitrah!”

“Alah, kau ini bicara apa. Bukankah kau ingin istrimu melahirkan dengan selamat?”

“Tentu, tentu saja. Benarkah kau mau menolongku? Mengapa kau tidak ikut sibuk seperti orang-orang kampung itu?”

“Ingatkah ketika kau menolongku dari jeratan preman? Malam ini aku ingin membalas kebaikanmu itu!”

Jalan ke Puskesmas kini sudah terbuka lebar. Minah digandeng keluar, didudukannya di atas sepeda motor. Perempuan tua yang menemani istrinya sempat melarang, mungkin takut terjadi apa-apa. Tetapi tak ada pilihan lain. Sepeda motor itulah satu-satunya harapan.

Betapa susahnya membawa perempuan hamil dengan sepeda motor, melewati jalanan berbatu dengan lubang-lubangnya yang lebar dan dalam. Minah duduk di tengah, Darman menjaganya dari belakang dan hampir tidak kebagian tempat duduk. Minah tampak tersiksa dengan perjalanan itu. Beberapa kali ia merintih. Mahdi pun agak gugup mengendarai sepeda motornya.

Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, mereka tiba di Puskesmas. Tampaklah beberapa keanehan. Bangunan itu gelap gulita seperti rumah tak berpenghuni. Darman menggandeng Minah di gerbang Puskesmas. Gema takbir dari sebuah masjid di seberang alun-alun, mengingatkannya pada Ustad Heru. Mungkin ia sedang bersiap-siap menuju Puskesmas. Mungkin pula dia masih berceramah, mengajak jamaah agar saling tolong-menolong menuju jalan kebaikan. Manusia harus saling tolong-menolong untuk mempererat ukhuwah dan mendapat ridho Allah SWT. Itulah yang selalu dia dengar setiap Ustad Heru berceramah.

Ustad Heru. Dia seorang yang soleh dan taat beribadah. Namun kali ini Darman khawatir, jangan-jangan dalam kekhusyuan ibadah atau keasyikannya berceramah yang penuh antusias, ustad itu lupa atas janjinya. Padahal seharusnya saat ini dia ditemani beberapa orang agar istrinya lebih tenang. Apalagi Darman tidak membawa uang. Bukankah kehidupan di Puskesmas selalu berurusan dengan uang?

Harapan itu kemudian bersandar di mulut Ustad Heru. Di kampungnya, Ustad Heru dikenal sebagai calon ahli surga. Dengan sekali sapa saja, orang-orang tertunduk penuh hormat.

“Saudara-saudara kaum muslimin, malam ini ada saudara kita yang tengah memerlukan bantuan. Sekarang dia berada di Puskesmas, menantikan kehadiran anak pertamanya. Bagaimana kalau malam ini kita menjenguknya, dan mengumpulkan sedikit uang karena kita tahu Darman kurang mampu!” begitu kira-kira, dalam benak Darman, ketika Ustad Heru menyampaikan berita itu.

Puskesmas semakin gelap. Tak ada cahaya di sana. Setitik pun. Entah berapa lama mereka berdiri, ditemani gema takbir dan rintihan Minah. Mahdi menyalakan sebatang rokok.

Tiba-tiba, sebuah sepeda motor berhenti di samping Mahdi. Seorang lelaki turun dan mengampiri.

“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya lelaki itu dengan nada mencurigai. Diam sesaat. Mahdi kemudian bertutur.

“Aku penjaga keamanan di Puskesmas. Orang-orang memanggilku Pa Satpam. Mengapa kalian datang pada malam lebaran?”

Sebuah pertanyaan bodoh, menurut Darman. Tapi dia tidak mempunyai waktu untuk marah, kecuali sebuah permintaan agar Pak Satpam mau menolongnya.

Anehnya, Pak Satpam malah bercerita hal-ikhwal Puskesmas itu. Menurutnya, Puskesmas kecamatan selalu sepi pada malam hari. Jarang sekali ada pasen yang dirawat di sana, mungkin karena alat-alatnya yang kurang lengkap, atau karena pelayanannya yang kurang memuaskan. Orang-orang cenderung pergi ke rumah sakit umum di kabupaten. Puskesmas ini hanya melayani penyakit ringan, dan tidak menyedia¬kan fasilitas rawat-inap. Padahal bangunan itu berdiri dengan megahnya, dua lantai, dan taun ini baru saja direnovasi.

Tentang kegelapan di Puskesmas, karena kelalaian pegawai PLN. Siang tadi jaringan listrik di Puskesmas mengalami gangguan. Dipanggilnya pegawai PLN. Namun hingga menjelang buka puasa belum juga menyala. Lalu dibiarkannya, karena mungkin pegawai itu ingin segera berbuka puasa, apalagi besok hari lebaran.

Kemudian Pak Satpam bercerita tentang pekerjaannya. Dua puluh taun ia mengabdi di Puskesmas itu. Dia rela meninggalkan hari lebaran, meninggalkan keceriaan bersama anak-istrinya, hanya untuk menjaga alat-alat di rumah sakit yang mungkin nilainya tidak seberapa dibandingkan pengabdiannya.

Ilustrasi, adegan dalam drama "Badog", Teater Lorong Subang 


“Mungkin malam ini bidan-bidan tengah berdzikir dengan segala kekhusuannya!” katanya.

“Istriku… istriku bagaimana, Pak Satpam?” Darman semakin gugup.

“Lebih baik kalian pergi ke rumah sakit kabupaten. Di sana akan lebih aman, pelayanannya 24 jam non-stop!”

“Jauh sekali. Istriku sedang gawat!”

“Atau kau temui saja bidan yang membuka rumah bersalin!’

“Di mana tempatnya?”

“Bapak kurang tahu. Tapi begini, kau dan istrimu tunggu di dalam. Bapak akan mencoba mencari seorang bidan. Kau mau mengantarnya?” Pak Satpam menoleh ke arah Mahdi, dan Mahdi pun mengangguk.

“Di tengah kegelapan itu?” Darman sedikit merinding.

“Bapak punya beberapa batang lilin. Kau nyalakan di dalam. Yakinlah, malam ini setan-setan sedang dipenjara!”

***

DI sebuah ruangan, Darman menyalakan dua batang lilin. Dia dapat mengamati dinding-dinding yang kotor dan lantai yang dipenuhi debu. Tidak ada peralatan lain, kecuali tempat tidur. Darman agak ragu, benarkah dia sedang berada di Puskesmas?

“Kang, suara apa itu…?” tiba-tiba istrinya berbisik di antara rintihannya. Darman memasang telinga. Benar juga, ada suara kecil yang berbarengan dengan detak jantungnya.

“Air gemercik …” jawabnya.

“Coba kau cari suara itu, aku ngilu mendengarnya,”

“Gelap sekali, Minah. Aku tidak tahu dari mana sumber suara itu. Sudahlah, kau tenang saja. Bukankah kau sering mendengarnya?”

“Tapi … yang ini agak lain,”

Untuk sekedar menenangkan istrinya, Darman memasuki toilet. Ternyata suara itu berasal dari sebuah keran yang mungkin sudah rusak. Darman menyumbatnya dengan plastik.

“Kenapa masih terdengar?”

“Aku sudah menyumbatnya. Sudahlah, kau berdoa saja!”

Entah berapa jam Darman termenung di ruangan itu. Rasanya sudah lama sekali. Suara air gemercik masih terdengar. Namun bidan itu belum datang juga.

Rintihan Minah semakin hebat. Badannya sedikit bergerak dan tempat tidur itu bergoyang-goyang. Napasnya tersengal-sengal. Darman memijit kening istrinya, merasakan cucuran keringatnya. Tidak bisa berbuat lebih dari itu. Rintihan Minah, gemercik air dan gema takbir yang memasuki lorong-lorong Puskesmas membuatnya serasa berada di dunia lain. Tiba-tiba saja muncul kekhawatiran. Dan perasaan itu semakin menjadi-jadi tatkala rintihan Minah berubah menjadi jeritan yang bergaung di ruangan itu. Sepertinya ia tengah mengerahkan segala kekuatannya.

“Kang, coba kau panggilkan bidan itu…” suara Minah hampir tak terdengar.

“Tenanglah, mungkin sebentar lagi,”

“Cepat Kang, cepaaat ….“

“Aku tidak mungkin membiarkanmu sendirian di ruangan segelap ini!”

“Aku akan merasa tentram jika di sampingku ada seorang bidan. Cepat Kang, panggilkan seorang bidan…”

Dengan sangat terpaksa, Darman berlari meninggalkan ruangan itu. Sejenak berdiri di pintu gerbang. Memanggil bidan? Di mana rumah bidan itu? Tidak ada seorang pun yang lewat di sana, apalagi seorang bidan. Darman mondar-mandir. Pikirannya semakin kalut. Dan Ustad Heru… mengapa belum datang juga. Apakah masih berceramah, atau sedang di perjalanan?

Lampu malam berkedip di kejauhan. Suara takbir semakin bergema. Sebuah sepeda motor berhenti di depannya. Dia melihat Mahdi dan Pak Satpam membawa seorang nenek-nenek. Mengapa nenek-nenek, bukankah bidan itu seorang wanita cantik dengan pakaian putih-putih?

“Maaf, Bapak terlambat… Hey, kenapa kau berada di sini, tidakkah kau temani istrimu itu?” kata Pak Satpam dengan nada cemas.

“Minah menyuruhku menjemput bidan… tetapi mengapa Bapak membawa wanita tua-renta itu?”

“Sudahlah, ia juga mantan bidan!”

Mahdi menceritakan pengalamannya. Katanya, sudah tujuh orang bidan yang dimintai pertolongan. Tak seorang pun yang mau datang ke Puskesmas. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan ada di antara mereka yang marah-marah, karena menurutnya, kedatang¬an Pak Satpam itu di luar kesopanan. Ada juga yang bilang, Pak Satpam mengganggu kekhusuan orang beribadah.

“Karena besok hari lebaran, mereka harus mengadakan berbagai persiapan!” kata Mahdi. Dan akhirnya Pak Satpam mendatangi Bu Dewi, wanita tua yang sudah pensiun dari kebidanannya. Bu Dewi pernah bekerja di Puskesmas itu, umurnya menjelang 60 tahun.

“Di mana istrimu?” tanya Pak Satpam.

“Di mana ya, kok semua ruangan gelap. Nah, di ruangan ini. Lihat saja pintunya terbuka. Tapi mengapa gelap sekali, padahal tadi aku menyalakan dua batang lilin,”

“Ini ruang Semboja. Mengapa kau menempati ruangan ini?”

“Mana aku tahu. Kebetulan saja ruangan ini tidak dikunci.”

“Ini ruang mayat, tolol!”

***

BU Dewi menutupi tubuh itu dengan kain alakadarnya. Suasana hening sekali, dan semua orang termenung. Namun Darman yakin, bahwa suara air gemercik telah berhenti. Dia tidak mendengarnya lagi.

Ceceran darah masih membasahi lantai. Bukan kali ini saja Darman melihat cairan merah itu. Tapi sekarang dia tidak bisa tertawa. Bahkan tubuhnya lemas bukan main. Dia merasa dosa-dosanya masa lalu telah menamatkan riwayat istri dan anaknya.

Fajar pun menyingsing. Takbir masih bergema. Lama sekali menunggu siang. Mereka duduk tak bersuara.

Tiba-tiba Darman tersentak, dan kemudian berdiri dengan wajah memerah. Dia ingat, benda itu dikubur di belakang rumah, dibungkus kain putih. Sebuah parang yang mungkin sudah berkarat. Tetapi Darman yakin parang itu masih cukup tajam dan sedang merindukan lumuran darah. Berkelebatlah bayangan Ustad Heru dan bidan-bidan Puskesmas.

“Mahdi! Tentunya kau mau merawat istriku sampai saatnya pemakaman. Aku pergi sebentar!” katanya. Darman pun berlari meninggalkan kegelapan Puskesmas.***


Cerpen ini pernah dimuat di Rubrik Khazanah, HU Pikiran Rakyat

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post