Sensor Mandiri: Kendali Yang Membebaskan - Artikel Endah Dinda Jenura

Oleh ENDAH DINDA JENURA

Puncak kejujuran dalam pembuatan film adalah
membuat film untuk diri kita sendiri.
~ Peter Jackson

Definisi Sensor Mandiri
MENURUT Wikipedia, sensor mandiri atau swasensor atau self-censorship adalah tindakan menyensor atau memilah blog, buku, film, atau bentuk media lainnya.

Tindakan menyensor atau memilah ini muncul karena adanya ketakutan, rasa hormat, kepekaan atau preferensi (secara aktual maupun persepsi) terhadap hal-hal lain di luar diri tanpa adanya tekanan dari pihak tertentu atau lembaga atau pemegang kekuasaan.

Di Indonesia sendiri, urusan sensor mandiri disebutkan dalam Pasal 25 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penyensoran film dan iklan film dilakukan berdasarkan prinsip dialogis.

Dalam Lembar Penjelasan kemudian diungkapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip dialogis adalah prinsip yang dimaksudkan “… untuk menumbuhkan swasensor (self-censorship) masyarakat sertamenumbuhkan kemampuan diri kalangan film dan iklan film dalam berkarya berdasarkan kebebasan berkreasi sejalan dengan dinamika masyarakat, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan dan budaya bangsa.”

Dahsyatnya Dampak Film
BEBERAPA tahun lalu, saya membaca sebuah postingan dalam sebuah blog, saat sedang mencari referensi tentang film “The Raid 2: Brandal” (2014).

Dalam postingan yang ditulis pada 6 April 2014 dengan judul “Gara-gara Film The Raid 2” tersebut, penulis blog bercerita tentang dirinya yang menonton film tersebut bersama pacarnya.

Di akhir postingan, dia menulis, “Gara-gara film The Raid 2, aku langsung beli isi cutter. Setiap potong kertas pakai cutter ngebayangin potong leher orang, haha!”

Meski ditulis dalam kapasitas bercanda, membaca postingan tersebut membuat saya sedikit resah, mengingat betapa mudahnya mengakses film melalui fasilitas unduhan, website streaming film, atau berbagi data.

Jika penulis blog tersebut adalah orang dewasa, bagaimana jika film yang sama ditonton oleh anak-anak yang punya akses internet luas namun secara pemikiran masih belum matang?

Dahsyatnya efek film bukan rahasia. Kutipan-kutipan dialog dalam film sering ditulis ulang oleh penontonnya, gaya berpakaian aktor dalam film sering jadi trend, dan khusus film-film porno, dalam satu klik kita bisa mendapat ratusan berita tentang aksi-aksi pemerkosaan yang dilakukan anak-anak, bahkan orang dewasa, karena mereka terstimulasi oleh adegan dalam film yang mengeksplorasi syahwat.

Itu semua membuktikan bahwa sensor mandiri memang harus sudah diedukasikan, terutama di era informasi seperti sekarang, untuk kepentingan memilih dan memilah.

Kendala Subjektivitas
KETIKA seorang dewasa dengan pertimbangannya sendiri memutuskan untuk memilih sebuah film untuk ditonton, maka dia menonton dengan resiko tanggung sendiri. Namun, saat seorang dewasa tersebut berganti kostum menjadi orang tua, guru, tokoh masyarakat, sineas, dan beragam fungsi lain di masyarakat, maka ketakutan, rasa hormat, kepekaan atau preferensi harus secara otomatis hadir dalam dirinya.

Namun terdapat kendala subjektivitas dalam preferensi setiap orang, tergantung latar belakang sosial, pendidikan, minat, dan lain-lain. Ini bisa menyulitkan para sineas karena preferensi-preferensi pribadi ini bisa menjadi opini publik, serta memiliki kekuatan sosial dan finansial.

Ya, film sebagai media ekspresi diri harusnya bersifat membebaskan dan jujur, namun para sineas harus berhadapan dengan rambu-rambu preferensi dan berkompromi agar film yang dibuatnya bisa mendapatkan pemodal, dibintangi aktor/aktris kondang, lulus gunting sensor, dan diterima oleh semua lapisan masyarakat.

Di Indonesia, film yang menjadi “korban” di antaranya film “Buruan Cium Gue” (2004) yang dianggap provokatif dan memuat ajakan untuk berzinah.

Film ini sempat tayang namun kemudian ditarik dari peredaran. Beberapa adegan dalam film “Dendam Pocong” (2006) pun harus rela digunting agar unsur sadisme dan SARA bisa diminimalisasi.

Di luar negeri, film produksi Hollywood “Beauty and the Beast” (2017) diberi sertifikat Parental Guidance (PG) atau 13+ oleh Motion Picture Association of America (MPAA).

Namun di Rusia, film yang dibintangi aktris remaja Emma Watson ini harus dinaikkan setifikasinya menjadi 16+ karena dianggap mempromosikan homoseksualitas.

Negara Cina yang  padat populasi  dan bisa menghasilkan keuntungan eknonomi hingga hampir $2 milyar dari industri film saja, memiliki pengaruh sensor yang terbukti tajam, saat film “Dr Strange”(2016) ditayangkan.

Salah satu kebijakan sensor di Cina adalah tidak diizinkannya penggambaran Tibet atau warga Tibet sebagai sebuah entitas mandiri yang terpisah dari Cina.

Marvel Studio kemudian melakukan sensor pribadi dengan mengganti karakter Ancient One yang dalam komik merupakan pendeta lelaki yang tinggal lahir dan di Himalaya (Tibet) menjadi versi pendeta perempuan asal Celtic.

Perubahan karakter ini mendatangkan protes dari banyak pihak. Namun, Marvel memutuskan untuk tetap berkompromi dengan sensor Cina. Film “Dr. Strange” akhirnya sukses menembus angka $110 juta dalam box office di negara Cina saja, dari total keuntungan sekitar $677 juta di seluruh dunia.



Kendali yang Membebaskan
DAPATKAH sensor mandiri menjadi kendali yang membebaskan sineas?

Satu sutradara asal Hong Kong, Sung Kee Chiu (Derek Chiu), memulai proyek film “No. 1 Chung Ying Street” sejak tahun 2011. Namun film tersebut terkatung-katung hingga akhirnya dijadwalkan selesai 2019.

Dalam wawancaranya dengan Hollywood Reporter, Chiu mengungkapkan bahwa selain urusan modal, sensor mandiri adalah salah satu kendala yang dihadapinya.

“Setiap orang menerapkan sensor mandiri sekarang. Orang-orang kreatif jadi enggan menciptakan karya politis, dan aktor tak berani berakting dalam film politis. Dulu tak seperti ini. Jika naskahnya bagus, aktor mau berperan di dalamnya; jika dibayar, mereka mau main. Banyak orang memuji naskahku, atau berpikir bisa unjuk kebolehan di dalamnya, namun pada akhirnya mereka tak berani menerima pekerjaan. Ini karena sensor mandiri. Dulu, di Hong Kong, kami bisa membuat film apa saja yang kami mau. Tapi siapa yang berani membuat film (satir politis tahun 1990) seperti “Her Fatal Ways” sekarang?”tantangnya.

Chiu mungkin mengalami masalah dengan preferensi dan sensor mandiri. Namun fakta membuktikan bahwa film-film yang laris manis di pasaran bukanlah film yang eksplisit politis atau eksploratif.

Di Hollywood, rekor film terlaris masih dipegang “Avatar”(2009) yang bersertifikasi PG-13. Di Indonesia, film terlaris adalah “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!” (2016) yang ber-genre komedi.

Edukasi sensor mandiri perlu dilakukan oleh sineas, demi tanggung jawab moral. Tapi faktanya, hal tersebut bisa dilakukan sambil meraup laba dan menunggu proses edukasi matang berbuah. Kendali bisa jadi sangat membebaskan. Semuanya kembali pada kreativitas.***


0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post