Catatan DHIPA GALUH PURBA
MENJELANG adzan Magrib, hampir semua radio Bandung
menyiarkan acara yang bernuansa Islam, seperti ceramah atau tanya jawab seputar
keislaman, baik yang menggunakan bahasa Sunda maupun Indonesia.
Bahkan beberapa
radio secara konsisten mengumandangkan adzan setiap tiba saatnya waktu sholat
lima waktu. Dari puluhan radio yang mengudara di Bandung, Antassalam FM
merupakan salahsatu radio yang kental dengan nuansa Islam dan Sunda. Hal itu
pula yang membuat saya tertarik untuk siaran di radio tersebut, dan telah
menjalaninya selama kurang-lebih tiga tahun.
Namun sejak 13 Juli 2007, terjadi perubahan manajemen di radio
Antassalam. Konsekwensi dari perubahan tersebut, mengakibatkan beberapa penyiar
terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tidak terkecuali Purwana Yogaswara
(Purwa) yang selama 16 tahun mengabdi di Antassalam.
Selain Purwa, beberapa
penyiar lainnya pun mengalami nasib yang sama, seperti Nenden Lilis Azhar, Asep
Syamsul. M. Romli (Romel), Anton Ceu Isah, Ema Nur’aripah, Muthia,
Via, Syakur, dsb. Saya pun termasuk salah satu penyiar yang terkena PHK. Meski
hanya tenaga kontrak, Alhamdulillah saya mendapatkan uang pesanggon.
Jadi, saya bahagia meski di-PHK. Selain itu, kami di-PHK bukan karena melakukan
tindakan indisipliner.
Sekilas mengenang betapa
menyenangkan menjadi penyiar radio kesayangan. Mengasah imajinasi sambil
mempererat tali silaturahmi; bertukar wawasan sambil menambah kawan; berbagi
nasihat sambil mencari sahabat; atau menyimak tembang sambil berdendang.
Ternyata penyiar radio tidak kehabisan pendengar, meskipun perkembangan
audio-visual semakin marak. Ada banyak hal yang tidak bisa direbut oleh
televisi. Misalnya kedekatan antara penyiar dan pendengar, atau berkenaan
dengan hal teknis yang lebih memungkinkan untuk manco di radio. Oleh
karena itu, radio masih layak dijuluki “The Fifth Estate”.
Dibandingkan dengan Purwa, saya
bukan apa-apa. Saya baru tiga tahun belajar merebut hati pendengar melalui galura
103,9 MHz. Sebelumnya pernah siaran di Burinyay FM (sekarang B FM/ 95,6 Mhz)
dan Kencana FM (96,8 Mhz). Meski berbeda gelombang, tetapi karakteristik acara
yang saya bawakan hampir sama, yaitu acara yang bernuasa kesundaan.
Di Burinyay
FM, saya siaran dalam acara “Galura Parahyangan”, di Kencana FM siaran
pada acara “Panglawungan Girimukti”, dan di Antassalam FM siaran pada
acara “Legenda Pasundan”, “Sajak Sunda”, “Nyingraykeun
Lalangse Hate”, dan “Sunda Sawawa”.
Dua acara terakhir,
sebelumnya dipegang oleh Wiwid Karwidin, praktisi karawitan jebolan STSI
Bandung. Sayang sekali, Wiwid telah lebih dulu mengundurkan diri. Padahal pangaweruh
Wiwid sangat luas mengenai tembang Sunda dan kawih. Selain
itu, suara Wiwid sangat berwibawa, bersahaja, enak didengar telinga, sehingga
banyak pendengar yang tergila-gila. Kalau tidak salah, sekarang Wiwid siaran di
Radio Zora FM.
Berkat kegigihan Purwa, Wiwid, dan
Romel saparakanca, Antassalam FM telah dikenal sebagai salah satu media
elektronik yang mengusung nilai-nilai kesundaan dan bernuansa islami. Tentu
saja hal ini pun tidak terlepas dari peran H. Dede Maulana, direktur utama
Antassalam FM, yang secara konsisten mempertahankan brand image
Antassalam FM.
Perjuangan H. Dede Maulana dimulai sejak 10 Desember 1970,
ketika pertama kali mendirikan Radio Fortune di Jl. LLRE. Martadinata 299
Bandung. Radio Fortune mengudara di frekuensi medium wave atau AM selama
kurang-lebih 20 tahun. Kemudian beralih frekuensi dari AM ke FM serta berganti
nama menjadi Antassalam, 106,5 MHz.
Gedung siaran pun berpindah ke Jalan
Purwakarta 200, Griya Bumi Antapani Bandung (sampai sekarang). Pada pertengahan
2004 terjadi pengalihan frekuensi bagi seluruh radio. Frekuensi Antassalam pun
berpindah ke 103,9 MHz, serta menempati kanal 164.
Ada beberapa acara yang sudah
melekat di hati pamiarsa. Misalnya acara ”Kawih Penyejuk Iman” (KPI) asuhan
Romel, yang menampilkan lagu-lagu nasyid, mampu menjadi acara unggulan
Antassalam FM dan banyak diminati oleh kawula muda.
Bahkan bati dari
siaran KPI, Romel bisa menyusun sebuah buku yang berjudul Kembalikan Nasyid
pada Khittahnya (Nuansa, Bandung, 2005). Selain itu, Romel pun berhasil
menulis buku-buku yang berkenaan dengan Jurnalistik Radio, seperti Broadcast
Journalism: Panduan Menjadi Penyiar, Reporter, dan Scriptwriter (Nuansa,
Bandung, 2004), Jurnalistik Terapan, Pedoman
Kewartawanan dan Kepenulisan (Batic
Press, Bandung, 2005), Pandai Bicara, Lincah Menulis, dsb. Buku-buku
Romel atau Asep Syamsul M. Romli, banyak dijadikan salahsatu bahan referensi
oleh para mahasiswa fikom (Termasuk saya pun sering mengutip buku yang ditulis
Asep Syamsul M. Romli).
Begitu pula Purwa yang
salahsatunya siaran pada acara pop Sunda “Tatar Pasundan”, bisa menjadi acara
spesial yang diminati banyak pendengar. Terlebih acara “Tatar Pasundan” diasuh
pula oleh Lia Refani, guru PKN SMA BPI 3 Bandung dan artis pop Sunda pelantun
album “Saukur Cimata”. Lia, yang sebelumnya pernah siaran di Radio
Kencana FM, telah sukses mempertahan acara-acara Sunda Antassalam FM Bandung.
Dibanding penyiar acara kesundaan lainnya, Lia Refani lebih menonjol dan
memiliki lebih banyak pendengar. Acara-acara bernuansa Islam lainnya yang
konsisten diudarakan di antaranya “Obrolan Islam Muslim”, “Mutiara Hikmah”, dan
pidangan “Muhasabbah” pada setiap jam.
Adapun acara yang saya asuh,
seperti “Legenda Pasundan”, diselingi oleh kawih, tembang Sunda, dan bandungan.
Pendengarnya lebih didominasi kalangan orang tua. Tapi bukan berarti tidak ada
“ABG” yang suka dengerin. Terbukti dari beberapa telepon atau SMS yang
masuk, ternyata ada juga kaum dangu kawula muda. Kawih-kawih karya
Mang Koko, seperti “Kembang Tanjung Panineungan” (diangkat dari sajak
Wahyu Wibisana), “Wengi Enjing Tepang Deui” (diangkat dari sajak
Tatang Sastrawiria), “Kudu ka Saha” (diangkat dari sajak Winarta
Artadinata), atau “Sariak Layung” (diangkat dari sajak Dedi
Windiagiri), merupakan kawih yang sering “diminta” oleh pendengar dari kalangan
kawula muda dan kawula tua, eh… orang tua.
Bahkan tidak jarang ada ABG yang
sengaja on air mencari tahu tempat menjual kaset kawih-kawih tersebut,
sekaligus meminta nomor handphone penyiar. Saya semakin yakin bahwa
anak muda pun bisa tergugah hatinya untuk mencintai seni Sunda, jika secara
kontinyu diperkenalkan, baik melalui radio atau televisi.
Untuk bahan siaran “Legenda
Pasundan”, saya banyak dibantu oleh perpustakaan Pusat Studi Sunda (PSS). Tidak
pernah kehabisan bahan. Jangankan legenda Pasundan, di PSS tersedia pula
buku-buku mengenai legenda dunia.
Kendati demikian, saya pun menyadari
kekurangan saya. Oleh karena itu, untuk pembahasan yang lebih mendalam,
sekali-kali saya mengundang tokoh-tokoh yang lebih kompeten dalam lingkup
kebudayaan dan kesusastraan Sunda.
Di antaranya saya pernah mengundang Ahmad
Gibson Al-Bustomi, Ajip Rosidi, Dadan Sutisna (Redaktur Majalah Cupumanik),
Dian Hendrayana, Abdul Mujib, Dody Satya Ekagustdiman, Iwan Natapradja, Pipiet
Senja, Holisoh ME, Erwan Juhara, Miftahul Malik (Redaktur KSM Galura),
Loegina Dea, dsb.
Sebelumnya saya sudah merencanakan untuk mengundang Prof. Dr.
Mikihiro Moriyama, ahli kesundaan dari Jepang yang beberapa waktu yang lalu
pernah berkunjung ke Ranggon Panyileukan. Namun saya keburu di-PHK, sehingga
rencana tersebut saya urungkan.
Semua acara yang saya asuh
(kecuali “Sajak Sunda”), belum pernah kawenehan ada perusahaan yang
tertarik untuk memasang iklan. Entah acaranya yang dianggap kurang komersil,
atau bisa saja bagian marketingnya yang kurang lincah mencari sponsor.
Anehnya,
saya mendapat honor lebih tinggi dibanding penyiar yang bertugas siang hari. Tentu
saja anéh sekaligus Alhamdulillah. Dalam pertarungan bisnis broadcast
Journalism yang kian meruncing, Antassalam FM masih menghargai suatu
idealisme. Sama halnya dengan Radio Kencana FM (96,8 Mhz), Bandung FM (96,4
Mhz), Cosmo FM, Dahlia FM (101,5 Mhz), Rama FM (104,7 Mhz), Mora FM (92,1 Mhz),
Zora FM, Shinta FM (97,2 Mhz), dsb.
Kini, setelah terjadi pembaruan
manajemen dan PHK sebagian penyiar (13/07/07), berdasar laporan dari telinga,
Antassalam FM sekarang tetap tidak kehilangan nuansa islami dan dangiang
kesundaan. Sejak zaman Abah Kabayan sampai Ujang Gunawan, Antassalam FM tetap nyunda
dan ngislam.
Ibarat menonton kesebelasan Tim
Nasional Indonesia, siapapun pemainnya saya tetap akan menjadi pendukung
Timnas. Demikian pula dengan Antassalam FM, siapapun penyiarnya, saya tetap
mencintai Antassalam FM, juga radio-radio lain yang memelihara seni dan budaya
Sunda. Selamat berjuang wahai para penyiar halilintar!***
Bandung, 2007
Bandung, 2007
Komentar