Oleh DHIPA GALUH PURBA
TIDAK ada seorang pun bercita-cita untuk
meraihnya. Bahkan semua orang berusaha membanting-tulang demi menghindari posisi
tersebut. Jutaan mata tertuju pada calon Jabar (Jawa Barat) Satu dari
depan, sementara hanya
sebagian kecil yang menghiraukan kehidupan Jabar Satu dari belakang. Padahal Jabar
Satu dari belakang, sudah “terpilih” sejak awal dan hadir di antara hiruk-pikuk
pesta mobilisasi massa pengusungan Jabar Satu.
Jika
Jabar Satu orang pinilih, maka Jabar Satu dari belakang adalah orang
yang sangat tidak terpilih. Bahkan, mungkin, sangat sulit terpilih untuk memimpin dirinya sendiri. Kalau
ia bodoh, maka bisa masuk dalam kategori peribahasa Sunda teu apal alif
bingkeng-alif bingkeng acan. Kalau ia miskin, maka masuk dalam kategori
peribahasa Sunda kokoro nyoso malarat rosa (sangat miskin atau di bawah
garis kemiskinan)
Tidak
bisa dipungkiri, kondisi semacam ini masih ada di satengahing pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyebabnya adalah tidak mau belajar. Alasannya
tentu saja karena di Jawa Barat, sekolah masih merupakan barang yang mahal. Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) terkadang hanya bisa dinikmati oleh para bos yang
mengelola BOS. Naiknya dana pendidikan pun, ternyata masih belum bisa mengajak Jabar
Satu dari belakang untuk sekolah. Slogan “Orang Miskin Jangan Sekolah” sampai
hari ini masih tetap berlaku.
Kendati
demikian, ada juga orang bisa menjadi pandai dan cerdas, meski tidak merasakan
bangku sekolah. Namun, tipe seperti ini masih terbilang langka. Sekolah tetap
menjadi solusi yang tepat untuk mengentaskan kebodohan. Oleh karena itu, kesempatan
mengenyam pendidikan formal, harus dibuka segratis-gratisnya agar kesenjangan
ilmu antara Jabar Satu dari depan dan Jabar Satu dari belakang tidak membentang terlampau jauh.
Kemiskinan
masih menjadi persoalan populer dalam kehidupan Jabar Satu dari belakang. Menurut
data Sensus Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah penduduk miskin di
Jabar pada bulan Maret 2007 sebesar 5, 46 juta atau sebesar 13,55 dari total
jumlah penduduk Jabar, sekitar 41 juta jiwa. Berarti terjadi kenaikan sebesar
0,32 juta atau 320.000 orang dibanding data
kemiskinan Jabar bulan Juli 2005. Itulah Jabar Satu dari belakang.
Masih mendingan jika menjalaninya
dengan kesabaran dan ketabahan. Meski miskin harta, tapi kaya hati. Tapi bagaimana
bagi yang tidak kuat? Jalan buntu kerap kali menjadi satu-satunya pilihan. Melalui
jalan buntu, terbentang harapan dan rajutan mimpi-mimpi indah. Bunuh diri tiba-tiba menjadi semacam trend yang
dipilih, “Aku tidak akan memilih salah satu kandidat Jabar Satu, karena
pilihanku hanya bunuh diri…” mungkin seperti itulah kata hati seseorang yang
sudah begitu prustasi menjalani hari-hari suramnya. Tidak ada setitik pun
harapan yang digantungkan kepada para kandidat Jabar Satu. Sungguh memilukan
nasib Jabar Satu dari belakang. Jangankan menjadi Jabar Satu dari belakang,
saya pernah begitu menderita ketika di bangku SMP pernah menempati ranking
kelas: satu dari belakang.
Lukisan: Isa Perkasa |
Jangan
mau jadi orang prustasi dan memilih bunuh diri. Kata Ustad, bunuh diri bukanlah
akhir dari persoalan, justru awal dari persoalan baru. Lantas, ada juga yang
tidak memilih bunuh diri, tetapi tetap memilih jalan buntu, dengan cara menjadi
sosok yang lebih antagonis dari tokoh penjahat di sinetron. Mata dan telinga
tidak mungkin dibohongi. Setiap saat berbagai kasus kejahatan masih menghiasi lembaran
koran dan atau layar televisi. Lagi-lagi, faktor kemiskinan kerap mendominasi latar-belakang
dari tindak kejahatan. Mereka, para pencuri, penodong, pencopet, atau penjambret,
melakukan kenekatan itu hanya untuk terhindar dari “jabatan” Jabar Satu dari
belakang. Hasilnya? Itulah langkah menuju jalan buntu. Di dalam penjara, sangat
sulit menemukan jalan yang tidak buntu.
Pemandangan
kelabu yang setiap hari bisa disaksikan di simpang jalan, menjadi bukti bahwa kemiskinan
semakin menjadi-jadi. Betapa jauh, sangat jauh, gaya hidup “Satu dari Depan”
dan “Satu dari Belakang”.
Pengentasan kemiskinan selalu
menjadi bagian terpenting yang tertuang dalam visi dan misi para kandidat “Satu
dari Depan”. Namun, kerap kali hanya sekedar menjadi manifes untuk meraih
simpati publik. Pada kenyataannya, visi-misi yang didahulukan justru yang
bersifat laten (tersembunyi), semisal meraup kekayaan untuk mengganti dana
kampanye, atau mengutamakan kepentingan partai dan golongannya. Oleh karena
itu, para Jabar Satu dari Belakang harus awas dan waspada permana
tingal. Sebab, visi-misi laten tentunya sulit dibaca oleh sepasang mata panon.
Jangan
biarkan Jabar Satu menjadi gelandangan di bali geusan ngajadi-nya; di
tengah orang-orang yang memuji keindahan dan keasrian alam Pasundan. Seperti kata
MAW Brouwer, seorang kolumnis Belanda, "Waktu Tuhan tersenyum/
lahirlah Pasundan". Mudah-mudahan pasca pemilihan gubernur Jabar, ada
kolomnis lain, semisal Hawe Setiawan atau Acep Zamzam Noer menuliskan:
“waktu Tuhan tersenyum/ lahirlah Jabar Satu”.
Akhirul kata, bagi
umat muslim, selamat menunaikan ibadah zakat fitrah. Semoga uluran tersebut dapat
tersalur sesuai alur yang telah diatur. Jabar Satu dari belakang, tentu salahsatu
yang berhak menerima zakat.***
Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 07
Oktober 2007
Komentar