Cerpen DHIPA GALUH PURBA
DENGAN cerita
pendek ini, aku bisa mudik. Pendek cerita, telah kuputuskan untuk memendekkan
cerita yang telah kuukir selama sekian tahun lamanya; Asih, kembang Simpar
Kesumbar, kini tidak lagi mewangi, karena telah mati.
Sepanjang jalan, kutabuh kentongan, kentrong
tilu. Berulang-ulang, di antara kemacetan lalu-lintas dan antrian pom
bensin. Kulihat orang-orang mulai menyiapkan keranda mayat. Luar biasa. Di
mana-mana, orang-orang disibukkan dengan usungan mayat, hanya untuk kematian
Asih.
“Silahkan naik
pasaran ini!” seseorang menghampiriku.
“Tidak. Aku
masih bisa jalan kaki!” sepontan kujawab setengah ketus. Enak saja naik pasaran.
Meski aku tidak bisa naik angkutan, bukan berarti mau naik sembarang tumpangan.
“Ayo, naik kurung dedes ini!”
“Tidak. Aku jalan kaki saja!”
“Mari naik dongdang, nak…”
“Kurang ajar! Aku memang tidak bisa bayar ongkos angkutan, tapi aku
masih waras! Masa iya, aku harus naik keranda mayat? Yang benar saja, bung!”
akhirnya amarahku hampir tak terbendung lagi.
“Lho, kenapa mesti marah? Bukankah kendaraan ini diperuntukkan untuk
mayat?”
“Lantas? Apa kau tidak punya mata? Masa aku disebut mayat?”
“Sudahlah, tidak usah menyangkal. Semua orang juga sudah tahu, kau
ini mayat…” jawabnya sambil menoleh ke sebelahnya. Semuanya menganggukkan
kepala, tidak ada yang menyangkal ucapannya. Berarti mereka benar-benar
menuduhku sebagai mayat. Kurang ajar!
“Dengar semuanya! Aku ini masih hidup! Apa perlu kutunjukkan surat keterangan hidup?!”
“Tidak ada
gunanya. Sekali mayat, tetap saja mayat! Sudahlah, lebih baik mengaku saja!”
”Tidaaak! Aku
masih hidup! Yang meninggal dunia itu bukan aku, tapi Asih, kembang Simpar
Kesumbar…!”
“Begitulah mayat
zaman sekarang. Sudah jelas dirinya mayat, malah nuduh orang lain…” ia
menggerutu.
Aku tidak mau mendengar lagi ocehannya. Tidak ada gunanya. Lebih
baik melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman. Aku rindu kicauan burung di
pagi hari, suara ayam jantan, dan gemericik air di belakang rumah. Langkahku
semakin cepat, hingga tidak terasa kakiku sudah menciumi tanah pekarangan
rumah.
Aneh, banyak orang bergerombol sambil membawa janteke.
Mereka antri di pintu rumahku. Ada apa ini? Seperti ada
yang meninggal dunia. Mang Ahro bergegas menghampiriku sambil menancapkan
bendera hitam. Hansip Baron mengikuti Mang Ahro, dengan membawa bendera
berwarna kuning.
“Jangan hitam! Lambang kematian adalah bendera kuning!”
“Tidak! Yang benar adalah putih! Putih, lambang kesucian.” Tiba-tiba
Kadus Ukar muncul sambil membawa bendera berwarna putih.
“Lho, siapa yang meninggal dunia?” aku semakin penasaran.
“Jangan banyak tanya. Para pelayat
sudah menunggu sejak tadi. Ayo, berbaringlah di tengah rumah!” jawab Mang Ahro.
“Maksud Mang Ahro?”
“Kamu sudah mati, kenapa masih keluyuran?”
“Mati? Aku belum mati, Mang…”
“Orang mati zaman sekarang, memang suka banyak protes…”
Aku semakin tidak mau untuk memasuki rumah. Lebih baik melangkah ke
belakang rumah. Namun aku kembali terkejut, karena beberapa orang ahli ngaweredonan
sedang membahas teknis memandikan jenazah.
“Kita harus segera menyiapkan drum yang besar dan gayung…” ucap Pak
RT.
“Tidak usah, cukup jambangan dan
ceret saja!” Pak RW tidak mau kalah.
“Apakah sudah membeli sabun?”
“Jangan pake sabun. Sebaiknya
dimandikan sama air yang ditaburi tujuh macam bunga!”
Rupanya pertentangan paham masih
mewarnai sebuah kematian. Tidak jelas, siapa yang mati? Sudah kujelaskan
berkali-kali, bahwa aku masih hidup. Dan aku pun tidak lupa mengabarkan tentang
kematian Asih, bukan aku. Entahlah, sampai saat ini, di jalanan, di warung, di
kantor balai desa, di pinggir sungai, di pematang sawah, kematian ini masih
ramai menjadi bahan perbincangkan. Bahkan perhelatan semakin memanas, ketika
beberapa orang sudah mulai menggali kuburan, membuat batu nisan; tutunggul,
maesan, menyiapkan padung; dalika, keteb, tataban sampai bulatan tanah; gegelu; anggel,
gandu.
“Jangan dikubur! Lebih baik diperabukan!”
“Tidak! Yang benar adalah dihanyutkan ke sungai…”
“Kenapa dihanyutkan? Apa tidak sebaiknya diletakkan saja di goa?”
“Tidak boleh! Mayat itu harus dimumikan!”
“Siapa sebenarnya yang mati?”
“Ada
aja!”
*
“SIAPA yang mengatakan Asih sudah mati? Jaga lidah kalian!”
tiba-tiba Rahmat menyeruak ke tengah kerumunan orang-orang.
“Dia!” hampir semua jari telunjuk dan ujung tatapan tertuju kepadaku.
Memang, sejak aku dituduh mati, maka aku pun semakin gencar
menyebarkan isu kematian Asih. Kendati demikian, justru aku sendiri yang
menolak penguburan atau upacara kematian apapun. Asih tidak perlu dimandikan
atau dikuburkan! Sebab, ada kemungkinan Asih bisa hidup kembali.
“Saya tidak terima, jika Asih dikatakan sudah mati! Asih masih
hidup, dan akan terus hidup selamanya!” begitu kata Rahmat.
“Ya, memang begitu. Mohon, jangan samakan
kematian realitas sosial dengan kematian organisme biologis. Asih adalah sebuah
realitas budaya, bukan sosok makhluk hidup. Di ambang kematian pada konteks
sosial-budaya, tidak sinonim dengan putus asa atau ketidakberdayaan. Justru
keadaan seperti itu menyiratkan masa-masa perjuangan yang lebih gigih, untuk
mempertahankan kehidupan Asih,”
“Hhm, kau harus tahu, bahwa Asih tidak akan pernah mati, sebelum ada
dua golongan besar berperang hebat, padahal keyakinan keduanya sama!”
“Saya sangat setuju. Sebab, peperangan itu
sudah dan sedang berlangsung saat ini. Kita tengah berperang budaya, perang
komunikasi, perang ekonomi, dan perang-perang sejenisnya!”
“Bukan perang itu! Tapi peperangan pisik!”
“O ya? Kalau begitu, hati-hati juga dengan ucapanmu. Bukankah
kata-katamu adalah do’amu?”
“Itu bukan do’a, tetapi kecemasanku sebagai orang tua…”
“Ya, saya pun mengerti. Namun, kenapa kamu tidak mengerti, bahwa
saya pun tidak sedang berdo’a, melainkan merasa khawatir. Saya rasa, kecemasan
dan kekhawatiran itu sama…”
Rahmat termenung sejenak, seperti yang sedang mencari-cari kelemahanku.
“Kenapa kau mengatakan Asih telah mati? Apakah hanya karena banyak
orang yang tidak lagi menggunakan lagi bahasa Asih? Aku pun turut prihatin pada
bahasa Asih. Namun, sebaiknya persoalan bahasa tidak terlalu dibesar-besarkan,”
“Justru peranan bahasa jangan dikecil-kecilkan, bung. Dari tujuh
unsur identitas Asih, saya berpendapat bahwa bahasa merupakan masalah penting.
Dari keragaman di dunia ini, tentunya ada karakteristik yang membedakan antara
Asih dengan yang lainnya. Perbedaan di wilayah mana yang tampak secara khusus
dimiliki Asih? Busananya? Mata pencahariannya? Sikap hidupnya? Saya pikir,
bahasa merupakan identitas Asih yang patut dipertahankan semaksimal mungkin,”
“Ya, sudah. Mari kita
menyamakan persepsi mengenai Asih!” kata Rahmat, sambil menatap orang-orang
yang berkerumun. Semua mata memandangku dan Rahmat, saling bergantian.
Aku menghampiri seorang lelaki tengah baya.
“Apa persepsi bapak, mengenai Asih?”
“Apa yang dimaksud persepsi?” lelaki tengah baya itu, malah balik
bertanya. Aku tersenyum, sambil menjelaskan makna persepsi. Orang-orang
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apa persepsi bapak mengenai Asih?” tanyaku kepada seorang petani.
“Asih adalah sosok yang mengolah sawah dan lahan garapannya tidak
pernah kekurangan air, tidak tergusur oleh jalan tol atau pembangunan real
estate,”” jawabnya.
“Kalau bapak?” tanyaku kepada seorang pedagang.
“Asih adalah sosok pedagang yang ladangnya tidak kasilih oleh
mal-mal ciptaan para kafitalis,”
“Bapak?” tanyaku kepada seorang
pengangguran.
“Asih adalah adalah sosok yang bisa
terbukanya lapangan pekerjaanan, agar tidak kelaparan dan menjadi gelandangan
di lemah cai sendiri.”
Demikian, aku telah menanyakan
persepsi Asih kepada orang-orang yang berada di tempat tersebut. Sangat
variatif, meskipun ada di antaranya yang sama. Sehingga, aku berpandangan bahwa
persepsi itu tidak bisa dipaksa untuk disamakan. Tidak ada persepsi mutlak
mengenai Asih. Kalau pun ada, siapa yang berhak membuatnya? Dan siapa pula yang
berhak merealisasikannya?
“Solusi yang bijak, bukan menyamakan persepsi, melainkan mencari
persamaan persepsi. Saya yakin, di antara keragaman perbedaan persepsi tentang
Asih, pasti ada pula persamaannya, yang dalam logika disebut konklusi atau natijah
pada ilmu Mantiq.”
Selain itu, aku pun tidak menutup mata pada menggeliatnya sekelompok
Asih—seperti yang diungkapkan Rahmat. Terlepas dari apakah itu merupakan proses
penyembuhan dari yang sedang gering nangtung ngalanglayung atau geliat lulungu
orang bangun dari tidur panjang, atau geliat itu merupakan proses “patah
tumbuh, hilang berganti”.
Hanya saja, aku menyarankan agar jangan pula melupakan geliatnya
sekelompok atau seseorang yang bukan Asih secara genetis, tetapi memiliki rasa
cinta terhadap Asih.
Di tengah semangat mempertahankan kehidupan Asih, baik yang
terbersit dari sikap optimistis ataupun yang berangkat dari rasa khawatir, aku
menyarankan agar semuanya tetap husnudzon. Tentu saja, sikap husnudzon penting artinya selama gairah
itu didasari oleh kecintaan terhadap Asih, yang bermula dari rasa cinta kepada
Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
“Jadi, bagaimana sekarang?” tanya
seorang lelaki muda, yang telah baru saja
merampungkan penggalian kuburan.
“Saya sudah mengatakannya
berkali-kali, bahwa Asih jangan dikubur. Asih harus dihidupkan kembali!”
jawabku lebih tegas.
“Lebih baik kita berbuat, daripada
hanya mengumbar kekhawatiran!” ada celetukan yang tidak jelas dari mana.
“Hanya orang dungu, yang
menghabiskan hidupnya untuk mengumbar kekhawatiran! Setiap orang yang merasa
khawatir, pasti berbuat sesuatu, lepas dari kualitas dan kuantitasnya!” jawabku
dengan agak geram.
Orang-orang mulai membubarkan diri.
*
“ASIH benar-benar telah mati!”
Sepasang kekasih yang tengah memadu asmara , terperanjat dan langsung
menghampiriku.
“Asih? Sebuah realitas budaya?” tanya lelaki.
“Bukan. Ini adalah Asih Setiasih…”
“Berarti, organisme biologis?” tanya perempuan.
“Ya,” jawabku.
“Kalau begitu, kita perlu memandikan
dan menguburkannya,” kata lelaki.
“Omong kosong! Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, Asih
masih hidup. Bahkan ia baru saja melangsungkan pernikahannya di Simpar
Kesumbar!” tegas perempuan itu, tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk
menjelaskannya.***
Komentar