Cerpen DHIPA GALUH PURBA
KETUKAN palu tiga kali!
Rapat ditutup! Semua peserta segera beranjak meninggalkan kursinya
masing-masing. Termasuk Kartono, ketua dewan tertinggi. Ia merapihkan kembali
berkas-berkas dokumen yang baru saja diperbincangkan panjang lebar.
Rapat berjalan dengan lancar. Tak
ada perhelatan pendapat, yang bisa menuju perpecahan. Apalagi sampai terjadi
perkelahian dalam sidang, sangat dihindari, bahkan diharamkan. Entah mantra seperti
apa yang dibaca Kartono, sehingga peserta rapat bisa senada dengan keputusan
yang diambilnya. Tidak ada seorang pun yang berani mengajukan interupsi.
Semuanya sangat puas dengan program kerja yang sudah dan akan dilaksanakan
Kartono. Semua mendukung suatu revolusi yang akan segera dimulai. Revolusi yang
akan mengusung Kartono menjadi seorang pahlawan emansipasi.
“Memang benar, kaum kita telah dijajah, dan kita harus
berjuang untuk meraih kemerdekaan itu!” begitu yang dikatakan Harun, salah
seorang peserta rapat. Ia berbincang-
bincang dengan Among, sambil berjalan menuju ke arah halte.
“Apakah kau yakin, kalau emansipasi itu akan…” Among tak
sempat melanjutkan ucapannya, karena ada sebuah mobil yang melaju dengan
kecepatan tinggi, hampir saja menabrak mereka. Suara rem melengking dengan
keras, membuat orang-orang di sekitarnya menjadi terkejut.
“Hati-hati kalau nyebrang, tolol!” Si Sopir membentaknya,
sambil melongo dari jendela yang sengaja dibuka.
“Maaf, Bu. Kami memang kurang hati-hati,” jawab Among
sambil membungkukan badan. Tampak Among begitu ketakutan. Padahal yang duduk di
belakang setir itu adalah seorang wanita yang cantik. Namun kecantikannya
seakan telah berubah menjadi wajah seekor harimau yang mengaum. Sangat
menakutkan.
“Dasar bego!” ucapnya lagi sambil menancap gas. Mobil
melaju dengan kencang, membelah jalanan yang penuh keramaian. Cekikikan gadis
ABG terdengar di seberang jalan.
Halte bis kota
sudah sesak oleh calon penumpang yang kebanyakannya para wanita. Ada yang pulang kuliah,
pulang belanja, atau pulang hura-hura. Yang pasti, selain Among dan Harun,
hanya ada seorang laki-laki muda yang tengah duduk dengan santai, sambil
menikmati isapan rokoknya. Among menghampirinya.
“Mau kemana,
Mas?” tanya Among.
“Jemput istri,” jawabnya sambil menunjukan jari ke sebuah gedung perkantoran bertingkat lima . Entah bekerja di
bagian mana. Yang pasti, di kantor itu didominasi oleh kaum wanita. Kalau pun
ada satu atau dua orang laki-laki, pekerjaannya hanya sebagai tukang jaga atau
tukang membersihkan lantai.
“Ini sudah keterlaluan…” Harun berbisik kepada Among.
Sementara itu Among hanya membalas dengan anggukan kepala. Matanya memandang ke
arah jalan raya yang hampir setiap hari dilanda kemacetan. Tidak heran, jika
menunggu bis kota
pun begitu lama. Banyak mobil-mobil mewah memenuhi jalan raya, tetapi kurang
efektip. Mobil-mobil yang hanya ditumpangi oleh sopir, seorang wanita tua atau
muda yang memamerkan kecantikan wajah
yang tiada cantik lagi.
Sopir taksi di halaman gedung perkantoran sudah mulai
sibuk. Dengan sikap yang sopan, membungkukkan badan sambil menawarkan jasa
angkutan terhadap para karyawati yang baru bubar. Tentu saja tidak akan terlalu
laku. Sebab sebagian besar diantara mereka, sudah memiliki kendaraan pribadi.
Tentunya hanya tukang parkir saja, yang
bisa mendapatkan sedikit uang saku. Meniup peluitnya, membimbing mobil menuju
jalan raya yang kian macet.
Di sebelah barat gedung perkantoran, berdiri sebuah bank
yang bangunannya tak kalah megah. Bahkan dilengkapi dengan fasilitas keamanan
yang lebih ketat. Tentunya untuk melindungi para karyawati yang baru saja
keluar dari kantornya. Para karyawati yang
mengenakan pakaian seragam. Kemeja panjang dengan bahan kain yang agak tipis.
Disambung kebawahnya dengan rok mini yang begitu mininya.
Para
penambang becak yang berjajar di trotoar jalan, matanya hampir tidak berkedip. Bahkan ada
juga yang menelan air liurnya sendiri. Tidak ada yang berani menyentuhnya,
meski tangan-tangannya hampir sudah tidak tahan untuk mencoba meraba keindahan
tersebut. Keindahan yang sengaja dipertontonkan, tetapi hanya bisa dinikmati
oleh mata, tidak lebih. Menurut Kartono, hanyalah penjajahan atas birahi kaum
laki-laki.
“Kenapa kau pucat pasi seperti itu?” tanya Among, sambil
menatap wajah Harun dengan penuh ketegangan. Harun tidak menjawab. Hanya
matanya saja yang terpaku memandang ke sebelah utara. Terlihat segerombolan
buruh yang baru saja bubar dari sebuah pabrik yang cukup besar. Seperti semut. Para buruh wanita itu berbondong-bondong menyebrangi
jalan raya. Pakaiannya juga seragam. Haya saja, roknya tidak sependek karyawati
bank. Kalau pun ada, hanya satu atau dua orang saja.
“Apa kau tidak takut menghadapi mereka?” bisik Harun.
Kali
ini Among tidak menjawab sepatah kata pun.
“Kita tidak akan
kebagian tempat duduk.”
Ada
butiran air mata yang menetes dari kedua matanya. Air mata yang mengandung
kepedihan.
“Tenanglah. Sebentar lagi Kartono akan turun ke jalanan,
untuk
memperjuangkan
emansipasi laki-laki.” Baru kali ini Among berucap. Itu pun dengan perlahan.
Mungkin dikarenakan ada seorang wanita yang baru saja duduk di sampingnya.
Wajahnya cantik, mengenakan seragam yang serba mini, duduk menumpang kaki.
“Lagi nunggu bis kota ,
ya?” Among memberanikan untuk bertanya.
“Emang kenapa? Sinis ya? Supaya kau tahu, gue memang baru
seminggu ini bekerja di bank. Tapi dalam jangka waktu seminggu lagi, gue juga
akan segera mendapatkan sebuah mobil mewah. Dan lu gak usah nanyain bagaimana
caraku mendapatkan semua itu. Lebih baik, lu perhatiin aja urusan rumah.
Mencuci piring, menanak nasi, ngepel, ngantar istri, jemput istri, dan ditiduri
istri…” jawabnya dengan ketus dan angkuh.
Among
tak berani bertanya lagi. Namun kesempatan itu tidak disia-siakan Harun,
untuk memandang paha mulus dengan leluasa.
“Kartono datang…” bisik Among.
***
Bubat 212, 2000
Dimuat di HU. Pikiran Rakyat, tahun 2000
Komentar