Catatan Kecil DHIPA GALUH PURBA
MENJELANG adzan
Magrib, hampir semua radio Bandung
menyiarkan acara yang bernuansa Islam, seperti ceramah atau tanya jawab seputar
keislaman, baik yang menggunakan bahasa Sunda maupun Indonesia .
Bahkan beberapa radio secara
konsisten mengumandangkan adzan setiap tiba saatnya waktu sholat lima waktu. Dari 44 radio
FM yang mengudara di Bandung ,
Antassalam merupakan salahsatu radio yang kental dengan nuansa Islam dan Sunda.
Sekilas mengenang betapa menyenangkan
menjadi penyiar radio kesayangan. Mengasah imajinasi sambil mempererat tali silaturahmi;
bertukar wawasan sambil menambah kawan; berbagi nasihat sambil mencari sahabat;
atau menyimak tembang sambil berdendang.
Ternyata penyiar radio tidak kehabisan
pendengar, meskipun perkembangan audio-visual semakin marak. Ada banyak hal yang tidak bisa direbut oleh televisi.
Misalnya kedekatan antara penyiar dan pendengar, atau berkenaan dengan hal teknis
yang lebih memungkinkan untuk manco di
radio. Oleh karena itu, radio masih layak dijuluki “The Fifth Estate”.
Kurang lebih dua tahun saya belajar merebut hati pendengar
melalui galura 103,9 MHz. Sebelumnya pernah
siaran di Burinyay FM (sekarang B FM) dan Kencana FM.
Meski berbeda gelombang, tetapi
karakteristik acara yang saya bawakan hampir sama, yaitu acara yang bernuasa kesundaan.
Di Burinyay FM, siaran dalam acara “Galura
Parahyangan”, di Kencana FM siaran pada acara “Panglawungan Girimukti”, dan di Antassalam FM siaran pada acara “Legenda Pasundan”, “Sajak Sunda”, “Nyingraykeun
Lalangse HatĂ©”, dan “Sunda Sawawa”. Dua acara terakhir,
sebelumnya dipegang oleh Wiwid Karwidin, praktisi karawitan jebolan STSI
Bandung.
Kang Romel, Program Director Antassalam FM pada saat itu. |
Yang saya perhatikan, berkat kegigihan Kang Romel saparakanca, Antassalam
FM telah dikenal sebagai salah satu media elektronik yang mengusung nilai-nilai
kesundaan dan bernuansa islami.
Tentu saja hal ini pun tidak terlepas dari
peran H. Dede Maulana, direktur utama Antassalam FM, yang secara konsisten
mempertahankan brand image Antassalam
FM. Perjuangan H. Dede Maulana dimulai sejak 10 Desember 1970, ketika pertama kali mendirikan Radio
Fortune di Jl. LLRE. Martadinata 299 Bandung.
Radio Fortune mnggudara di
frekuensi medium wave atau AM selama kurang-lebih 20 tahun. Kemudian beralih
frekuensi dari AM ke FM serta berganti nama menjadi Antassalam, 106,5 MHz. Gedung
siaran pun berpindah ke Jalan Purwakarta 200, Griya Bumi Antapani Bandung. Pada pertengahan 2004 terjadi pengalihan frekuensi bagi seluruh radio. Frekuensi
Antassalam pun berpindah ke 103,9 MHz, serta menempati kanal 164.
Ada beberapa acara yang sudah melekat di hati pamiarsa.
Misalnya acara ”Kawih Penyejuk Iman” (KPI) asuhan Romel, yang menampilkan lagu-lagu
nasyid menjadi acara unggulan Antassalam FM dan banyak diminati oleh kawula
muda.
Bahkan bati dari siaran KPI, Romel
bisa menyusun sebuah buku yang berjudul Kembalikan
Nasyid pada Khittahnya (Nuansa, Bandung, 2005). Acara pop Sunda bisa menjadi
acara spesial yang diminati banyak pendengar.
Terlebih acara lagu pop Sunda diasuh pula
oleh peyanyi Pop Sunda Lia Refany pelantun album “Saukur Cimata” dan juga Kang Anton (Ceu Isah).
Acara-acara bernuansa Islam lainnya yang konsisten diudarakan di antaranya “Obrolan Islam Muslim”, “Mutiara Hikmah”, dan pidangan “Muhasabbah” setiap jam.
Acara-acara bernuansa Islam lainnya yang konsisten diudarakan di antaranya “Obrolan Islam Muslim”, “Mutiara Hikmah”, dan pidangan “Muhasabbah” setiap jam.
Acara-acara lain yang dibawa penyiar lainnya pun tak kalah menarik. Bahkan
terkadang menjadi acara yang paling digemari. Saya lupa nama-nama acaranya. Tapi
nama penyiarnya diantaranya Annisa Manaf, Nenden Lies Azhar, Ema Nuraripah, dan lain-lain.
Adapun acara yang saya asuh, seperti “Legenda Pasundan” merupakan acara yang disiarkan tengah malam. Para
pendengar diajak diskusi kesundaaan, diselingi dengan kawih, tembang
Sunda, dan bandungan.
Maka, pendengarnya lebih didominasi kalangan orang tua. Tapi bukan berarti tidak
ada “ABG” yang suka dengerin. Terbukti
dari beberapa telepon atau SMS yang masuk, ternyata ada juga kaum dangu kawula muda.
Kawih-kawih karya Mang Koko, seperti “Kembang Tanjung Panineungan” (diangkat dari sajak Wahyu Wibisana), “Wengi Enjing Tepang Deui” (diangkat dari sajak Tatang Sastrawiria), “Kudu ka Saha” (diangkat dari sajak Winarta Artadinata), atau “Sariak Layung” (diangkat dari sajak Dedi Windiagiri), merupakan kawih yang sering “diminta” oleh pendengar dari kalangan kawula muda dan kawula tua, eh... maaf, para pinisepuh maksudnya.
Kawih-kawih karya Mang Koko, seperti “Kembang Tanjung Panineungan” (diangkat dari sajak Wahyu Wibisana), “Wengi Enjing Tepang Deui” (diangkat dari sajak Tatang Sastrawiria), “Kudu ka Saha” (diangkat dari sajak Winarta Artadinata), atau “Sariak Layung” (diangkat dari sajak Dedi Windiagiri), merupakan kawih yang sering “diminta” oleh pendengar dari kalangan kawula muda dan kawula tua, eh... maaf, para pinisepuh maksudnya.
Tidak
jarang ada ABG yang sengaja on air mencari
tahu tempat menjual kaset kawih-kawih tersebut, sekaligus meminta nomor handphone penyiar. Saya semakin yakin bahwa
anak muda pun bisa tergugah hatinya untuk mencintai seni Sunda, jika secara kontinyu
diperkenalkan, baik melalui radio atau televisi.
Untuk bahan siaran
“Legenda Pasundan”, saya banyak dibantu oleh Pusat Studi Sunda (PSS). Tidak
pernah kehabisan bahan. Jangankan legenda Pasundan, di PSS tersedia buku-buku mengenai
legenda dunia. Kendati demikian, saya pun menyadari kekurangan saya.
Oleh
karena itu, untuk pembahasan lebih dalam, sekali-kali saya mengundang tokoh-tokoh
yang lebih kompeten dalam lingkup kebudayaan dan kesusastraan Sunda. Di
antaranya saya pernah mengundang Ahmad Gibson Al-Bustomi, Ajip Rosidi, Dadan
Sutisna (Redaktur Majalah Cupumanik),
Dian Hendrayana, Abdul Mujib, Dody Satya Ekagustdiman, Iwan Natapradja, Pipiet
Senja, Holisoh ME, Erwan Juhara, Miftahul Malik (Redaktur KSM Galura), Loegina Dea, dsb.
Sayang sekali, semua acara yang saya asuh (kecuali
“Sajak Sunda”), belum pernah kawenehan
ada perusahaan yang tertarik untuk memasang iklan. Entah acaranya yang dianggap
kurang komersil, entah bagian marketingnya yang kurang lincah mencari sponsor, atau
berkenaan dengan jam siarnya (22. 00 s.d 24. 00 WIB).
Anehnya, saya mendapat
honor lebih tinggi dibanding penyiar yang bertugas siang hari. Tentu saja anéh
sekaligus Alhamdulillah. Dalam pertarungan
bisnis broadcast Journalism yang kian
meruncing, Antassalam FM masih menghargai suatu idealisme. Sama halnya dengan
Kencana FM, Bandung FM, Cosmo FM, Dahlia FM, dsb.***
Dhipa Galuh Purba dan Kang Anton (Ceu Isah) |
Komentar