Oleh DHIPA GALUH PURBA
DEMI makan, ada orang memakan
makanan yang tidak boleh dimakan, bahkan kalau perlu saling memakan. Sementara
ketika sedang berpuasa, tidak diperkenankan memakan makanan, baik yang boleh
dimakan apalagi yang dilarang untuk dimakan.
Dengan bubuka tersebut, saya
mengajak para pembaca yang budiman untuk menyelami sebuah peribahasa (paribasa)
Sunda yang berbunyi “Kokoro manggih Mulud, Puasa manggih Lebaran”.
Peribahasa tersebut ditujukan
kepada orang yang serakah dan suka mangpang-meungpeung (menggunakan aji
mumpung).
Secara harfiyah, kokoro adalah miskin. Sedangkan yang dimaksud
Mulud adalah bulan Rabiul Awal. Mulud berasal dari bahasa Arab, Maulud,
yang artinya kelahiran.
Hal ini berkenaan dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw.
pada bulan Rabiul Awal, sehingga bulan tersebut disebut Mulud. Tentunya sebagai
penghormatan orang Sunda terhadap sosok panutan umat Islam.
Lantas, mengapa kokoro
manggih Mulud diartikan serakah dan tidak tahu batas? Tentu akan berhubungan
dengan tradisi muludan (memperingati maulud Nabi Muhammad Saw) yang biasa
digelar oleh sebagian umat Islam.
Pada acara peringatan tersebut, banyak yang bersedekah
dan membagi kebahagiaan dengan orang miskin. Mereka bersedekah tanpa ada paksaan
atau tekanan dari pihak manapun.
Tidak ada kesan yang menunjukan orang miskin serakah,
karena rasa-rasanya tidak pernah ada cerita orang miskin yang mendadak membeli
mobil mewah, membangun villa, atau kawin lagi lantaran menerima sedekah di
bulan Mulud.
Tidak semestinya memberi
sambil menyindir dengan ungkapan yang menyakitkan hati. Bagaimanapun, Kokoro
Manggih Mulud merupakan perumpamaan yang bukan saja tidak etis, melainkan terlalu
dibuat-buat.
Orang miskin tidak mungkin melupakan batas kewajaran ketika memakan
makanan. Kalaupun ada, tentu harus surti dan memaklumi.
Orang yang
serakah tidak akan dijumpai pada acara muludan. Akan lebih pantas jika peribahasa
tersebut diganti saja dengan Kokoro Manggih Korsi. Tentu bukan korsi
(kursi) bis kota, melainkan kursi yang diduduki atas nama rakyat.
Bukankah cukup
realis? Sebab kasus korupsi yang melanda di jajaran ‘wakil rakyat’, bukan
sekedar persoalan makan makanan, tetapi lebih jauh lagi ke masalah saling makan-memakan. Oleh karena itu, sebaiknya pertimbangkan lagi
penggunaan peribahasa Kokoro Manggih Mulud untuk menunjukan sipat tamak
dan keserakahan manusia.
“Puasa Manggih
Lebaran”
BIASANYA peribahasa Puasa
Manggih Lebaran diawali dengan Kokoro Manggih Mulud, atau bisa
dikatakan sebagai satu kesatuan kalimat yang tidak terpisahkan. Namun di dalam
Kamus Basa Sunda karya R. Satcadibrata, saya menemukannya sebagai dua peribahasa
yang terpisah, tetapi memiliki arti yang hampir sama.
Puasa berasal dari
bahasa Sansakerta, upuwasa. Selanjutnya puasa dimaknai juga sebagai ibadah
shaum di kalangan umat Islam, baik shaum sunat atau shaum wajib.
Khususnya orang
Sunda yang beragama Islam, berpuasa adalah shaum. Banyak yang sudah memahami, ibadah
shaum bukan sekedar mengosongkan perut (tidak makan dan minum) di siang hari.
Meski demikian, tidak
sedikit pula yang berpuasa hanya untuk menahan haus dan lapar belaka. Dan kategori
puasa inilah yang dimaksudkan oleh peribahasa Puasa Manggih Lebaran.
Kritikan
yang cukup pedas bagi yang berpuasa hanya mengurusi makanan atau minuman. Maka pada
saat tiba hari lebaran, terjadilah dendam pada makanan. Lebaran sendiri berasal
dari kata lubar, yang artinya bebas.
Jadi, maksudnya adalah lubar dari
puasa. Jika berbicara seputar makanan, lebaran memang merupakan hari
kebebasan. Tapi bukan berarti bebas memakan makanan yang dilarang untuk
dimakan.
Berbeda dengan peribahasa
Kokoro Manggih Mulud yang tampaknya kurang layak dipergunakan. Peribahasa
Puasa Manggih Lebaran rasanya bisa mengenai sasaran untuk menunjukan orang
yang serakah.
Setidaknya realitas yang menjelaskan. Sepanjang bulan Puasa tahun
kemarin, memang di antara para hidung belang berlibur, karena lokasi prostitusi
ditutup. Para pemabuk berlibur, karena ada razia minuman keras besar-besaran. Para
koruptor begadang sepanjang bulan untuk meraih “malam seribu bulan”, guna memohon
ampunan.
Namun, bersama mentari pagi
yang terbit pada hari lebaran, maka lubar-lah semuanya. Lokasi
prostitusi dibuka lagi, minuman keras kembali marak, korupsi merajalela lagi. Mereka
kembali memakan makanan yang boleh atau dilarang untuk dimakan, bahkan cerita saling
memakan pun sering terdengar.
Bagaimana dengan puasa
dan lebaran tahun ini? Jika tidak mau disebut puasa manggih lebaran, hendaklah
berpuasa dengan daria, tidak sekedar menahan lapar dan haus, kecuali
bagi anak kecil atau anak gede yang baru belajar berpuasa. ***
Tulisan ini dimuat di
Rubrik Forum HU. KOMPAS, pada 26 September 2006
Komentar