Cerpen DHIPA GALUH PURBA
Fotograper: Turi Syahdarina |
SEKS.
Gadis seksi tetanggaku.
Aku
pun kurang paham, kenapa orang tuanya memberi nama seperti itu. Apakah mereka tidak mempertimbangkan dulu
baik-buruknya. Setidaknya bertanya dulu tentang arti nama tersebut. Atau
mungkin juga mereka penganut paham William Shakspeare -- what is in a
name -- sehingga tidak peduli lagi
pada urusan nama anak gadisnya. Namun tetap saja keterlaluan. Celeno siah!
Sontoloyo! Belegug!
Apapun
namanya, ia sempat melempar kedipan kecil di warung kopi Mang Ujay. Waktu itu,
aku tengah (sebut saja) sarapan pagi di warung Mang Ujay. Ya, sarapanku memang
hanya bala-bala, gehu, pleus segelas air kopi, tetap saja
kuberi nama sarapan pagi. Disamping
sudah menjadi tradisi sejak kecil, ditambah lagi oleh letak warung Mang Ujay
yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. Sehingga hampir tiap pagi, aku
selalu datang lebih awal ke warungnya. Bahkan tak jarang, akulah yang suka
membangunkan Mang Ujay.
Ketika
aku sedang mengafresiasi kenikmatan goreng bala-bala, gadis itu
tiba-tiba datang dan duduk di sampingku; memakai kaos agak tembus pandang dan
rok mini, satu jengkal di atas lututnya. Tentu saja kedua mataku secara replek
pula mencuri pandang ke arah wajahnya. Tampak matanya masih merah, seperti yang
baru bangun tidur. Namun permukaan wajahnya sudah ditebali make-up. Tidak ketinggalan, hidungku segera melaporkan
semerbak aroma yang menyengat.
“Mau
bikin kopi, Non?” tanya Mang Ujay, seraya mengambil gelas dari rak.
“Gelas
kecil aja, Mang. Pakai susu dikit. Oh ya, Mang, di sini jualan
jamu rapet ayu, nggak?” suaranya
begitu nyaring dan bernada tinggi, membuatku tersentak. Di balik kenyaringan
itu juga, seakan-akan aku mendengar suara desahan sensual yang merayu-rayu.
“Ya enggak
atuh, Non. Ini mah warung kopi, bukan tempat berjualan jamu. Ada juga STMJ, mau?”
"Nggak
ah," jawabnya sambil menggelengkan kepala. Kemudian menoleh ke arahku
dengan tatapan mata sayu-nya. Tentu saja aku segera memalingkan muka ke arah
Mang Ujay dengan hati berdebar-debar. Betapa tidak? Di saat ia menatapku,
kulihat mata kirinya sengaja membuat kedipan kecil. Entah sekedar
penglihatanku, atau memang begitu
adanya.
“Sendirian?”
tiba-tiba ia menyapaku. Aku hanya mengangguk saja, sambil menyembunyikan rasa
kaget. Lagi-lagi, belum sempat rasa kagetku hilang, gadis itu mengulurkan
tangannya, mengajak bersalaman. Tampak untaian senyum menebar dari bibir
merahnya. Kulihat juga di balik bibir merahnya, ada gigi-gigi putih berkilatan.
“Namaku
Seks,” ucapnya.
“Seks?”
“Kau
kaget, ya? Aku tidak bercanda, namaku memang itu, tidak kurang-tidak
lebih. Seks adalah kata yang indah, dan
aku bangga dengan panggilan itu. Namamu?”
“Panggil
saja Ajag,” jawabku, jujur.
“Ajag?
bukankah itu nama anjing hutan yang sangat buas?” ia tertawa cekikikan sambil
menjawab sendiri pertanyaanna. “Tapi kau tidak kelihatan buas. Kau sangat
romantis. Di mana rumahmu?”
“Di
depan rumahmu,”
“Jadi
kau anak tukang nasi goreng itu?”
“Ya. Emangnya
kenapa?”
“Nggak
apa-apa, cuma nanya aja koq. Sangat disayangkan aja,
kita ini tetanggan, tapi gak saling kenal. Padahal dalam hidup
ini seharusnya tidak ada dinding pembatas. Biarlah manusia bergaul bebas,
seperti sex!”
“Kau
masih sekolah kan?” kucoba mengalihkan arah perbincangan. Aku memang
menebak-nebak, bahwa ia masuk duduk di bangku SMA, maksimal kelas 3.
“Buat
apa sekolah. Aku lebih tertarik ngadain penelitian tentang sex.
Ternyata sex itu indah dan nikmat. Sangat nikmat. Seperti namaku!”
jawabnya.
*
AKU
menatap rumahnya yang megah. Setiap sore, gadis itu muncul di lantai tiga.
Berdiri mematung, melemparkan pandangannya ke arah yang jauh. Sehingga aku
mulai mengira-ngira; mungkin ia sedang dihantui rasa rindu pada seseorang;
menanti kebahagiaan, dalam sepenggal harapan yang hampir sirna.
Sementara
itu, ayahku tengah menyiapkan dagangannya untuk nanti malam. Aku masih duduk di
kursi tua sambil menikmati secangkir kopi, menghisap rokok kretek kesukaanku,
sambil menatap lantai tiga rumah megah.
“Hai,
Ajag!, kau taruh di mana botol kecap itu?” tiba-tiba ayahku membentak.
“Mungkin
masih di dapur, Pak!” kataku, agak kaget juga. Lamunanku serentak menjadi
buyar. Kupalingkan mataku ke arah gelas kopi.
“Tidak
ada, Ajag! Lagi pula ngapain kerjamu hanya ngelamun? apa kau
masih memikirkan sekolahmu yang gagal itu? Sudah kukatakan berkali-kali, lebih
baik kau jualan nasi goreng saja! Sekolah di SMA sana , sekolah di SMA sini, gak ada
satu pun yang junun!”
“Aku
tidak punya bakat sekolah, Pak,"
"Apa
kau bilang?!"
"Euh…
maksudku, aku gak punya bakat untuk jualan nasi goreng!”
“Lalu
bakatmu apa? Main sinetron?!”
“Sudahlah,
Pak. Si Ajag kan
sedang stress!” ibu tiriku datang. “Botol kecapnya sudah saya siapkan!”
ucapnya lagi.
Stress
adalah kata yang sudah basi. Selalu
diucapkan ibu tiriku, kalau ayahku sedang marah. Keluarga kami memang
sangat sarat dengan stress. Terlebih lagi, di tengah kehidupan ekonomi
yang kian lama makin terpuruk, tiba-tiba ayahku berniat untuk kawin lagi. Ibu
tiriku akan dimadu. Jelas kesimpulannya, jika niat ayahku kesampaian, maka
aku akan mempunyai dua ibu tiri.
Ayahku
memang haus perempuan. Setidaknya ia sudah tujuh kali menikah dan lima kali bercerai. Aku
sendiri dilahirkan dari istrinya yang ketiga. Ibuku meninggal karena serangan
kanker (menurut tetanggaku, kanker-nya itu kambuh, akibat ayahku yang saat itu
mau kawin lagi). Bagiku tidak ada pilihan lain, kecuali mengikuti ayahku. Berganti ibu tiri, berganti rumah
kontrakan.
“Hai,
anak stress! Ngapain kau dari tadi ngelihatin rumah itu?
Apa kau tidak takut ketularan penyakit korupsi?” kata ibu tiriku sambil masuk ke rumah. Sebut
saja rumah, walau ukurannya hanya setengah garasi rumahnya Seks.
*
DI
warung kopi Mang Ujay, seperti biasa aku menikmati mie rebus. Sampai hari ini,
aku tak pernah mempermasalahkan ibu tiriku yang tidak pernah menyediakan
makanan untuk sarapan pagi. Padahal sarapan pagi itu sangat penting. Namun aku
mencoba tidak berprasangka buruk. Memang setiap jam delapan pagi, ayahku masih
meringkuk di kamarnya, dan ibu tiriku sudah pergi menunaikan tugas sucinya, memeras keringat di pabrik
tekstil.
Gadis
itu muncul lagi. Aroma harum kembali menebar, memenuhi sudut-sudut ruangan
warung Mang Ujay. Rok mininya makin
tinggi, mungkin satu jengkal seperempat di atas lututnya. Bibirnya pun kian
merah --ranum. Dan aku tidak lagi merasa canggung untuk berhadapan dengannya.
Kami memang sudah akrab, karena hampir setiap pagi selalu bertemu di warung
Mang Ujay. Seperti biasa, ia memesan kopi dengan sedikit susu.
Hampir
setiap pagi juga, gadis itu membual dengan bahasanya yang vulgar.
Pembicaraannya seputar seks, tidak pernah selesai. Sebenarnya aku sudah muak
mendengarnya, bahkan merasa jijik.
Kurang pantas rasanya, persoalan pribadi seperti itu diceritakan oleh
wanita belia yang belum menikah.
Ketika
setiap sore Seks muncul di lantai tiga, aku melihatnya sebagai gadis yang ayu,
jarang bicara, dan memendam kerinduan begitu mendalam. Namun di warung Mang
Ujay, aku seperti berhadapan dengan PSK yang tengah menjajakan harga dirinya.
“Hai,
Ajag, kau tahu nggak, sex itu
indah dan nikmat?” katanya. Dan aku
hanya menggelengkan kepala.
“Berbicara
masalah sex, kadang-kadang kita terjebak pada permainan ranjang. Tidak
juga sih, sex itu bukan
berarti ranjang. Kau mungkin mengira
permainan ranjang di film-film itu merupakan bentuk dari pornografi.
Sesungguhnya sex tidak seperti itu, Ajag. Sex itu halus, lembut, indah,
dan menggairahkan. Sex sangat rahasia dan sulit untuk dilukiskan dengan
kata-kata. Kau tahu, mengapa orang-orang Tiongkok mendalami ilmu seks? Karena
…”
“Mang,
tambah lagi setengah…” aku menyodorkan mangkok.
"Mana
ada, mie rebus setengah. Gak bisa. Ntar yang setengah lagi, buat apa?" Mang Ujay mengerutkan keningnya.
“Sex
itu penting, Ajag. Seperti kau makan mie rebus tiap pagi. Tapi mengapa ya, sebagian orang selalu
menutup telinga, ketika seseorang berbicara tentang seks. Padahal kita perlu
mempelajarinya, seperti juga anak-anak yang belajar berhitung. Eh, Ajag,
terkadang sex dibuat jahat dan menyeramkan. Kau tahu siapa pelaku
kejahatan sex itu?”
“Berapa,
Mang? Ditambah kerupuk tiga, bala-bala empat, gehu satu!”
*
TIDAK
seperti biasanya, gadis di lantai tiga itu menatap ke arahku. Agak jauh memang,
tapi aku melihat ada kesunyian di balik tatapannya. Kami saling bertatap mata.
Kulempar sebuah senyuman manis, tetapi sayang dia tidak membalasnya. Sialan.
Seks, mengapa namamu seperti itu? Mengapa kau dilahirkan di tengah keluarga orang
kaya? Sedangkan aku terlahir dari keluarga yang sangat sengsara?
Sore
itu ayahku membawa istri mudanya. Agak cantik dan cukup bahenol. Namun
kelihatannya sangat pemalas. Lihat saja, ketika mereka mau memasuki rumah,
ayahku diminta mencopot sepatunya. Aku hanya menoleh sebentar, kemudian menatap
lagi rumah megah itu. Seks telah menghilang. Entah ke mana.
Ibu
tiri tua baru pulang dari pabrik. Sebelumnya ia menyetujui rencana ayah untuk
menikah lagi. Alasan ayah memang cukup jelas dan masuk akal; ibu tiri tua tidak
bisa memberi keturunan. Dan waktu itu, ayah memberi pilihan: Mau dicerai, atau
dimadu? Ternyata ibu tiri tua masih tertarik pada nasi goreng masakan ayah,
sehingga ia memilih untuk dimadu.
Namun
apa yang terjadi? Pertengkaran ronde pertama sudah dimulai. Sore itu aku
mendengar suara gaduh, percekcokan, diakhiri dengan suara barang pecah. Ibu
tiri tua menjerit. Kulihat ia berkemas, membawa seluruh pakaian, dan menangis
sembari mengeluarkan sumpah serapahnya.
Sejak itulah, ibu tiri tua tidak pernah kembali.
*
“AJAG,
kau pernah membaca buku Shu Ni Jing?”
Aku
menggeleng.
“Seni
permainan ranjang ada di situ. Orang-orang Tiongkok memang piawai dalam bermain
sex. Kamasutra juga menurutku
cukup baik. Bukan saja sekadar pengetahuan, tetapi kita bisa bertukar
pengalaman sex dengan bangsa lain.”
Aku
melihat pakaian gadis itu semakin transparan. Demikianlah, sehingga aku dan
Mang Ujay dapat melihat apa yang ada di dalamnya. Namun aku malah jijik, dan
mie di mulutku hampir tidak bisa aku telan.
“Seks,
apa kau tidak bisa ngomong selain masalah sex? Mungkin
kehidupanmu yang hedonis itu akan lebih menarik perhatianku,”
“Apa?
Kau bilang aku hedonis? Mengapa kau beranggapan seperti itu?”
“Karena
kau orang kaya. Dan orang kaya biasanya hanya mencari kesenangan!”
“Tidak,
Ajag. Sex juga dapat dinikmati oleh orang miskin. Orang miskin dan orang
kaya, tidak ada yang melarang untuk bermain sex. Termasuk kau dan aku. Orang
lain sudah muak mendengar kata-kata sex, Ajag. Kecuali kau. Aku ingin
kau menjadi pendengar setia, dan setiap pagi aku akan menyuguhkan cerita sex
yang berbeda,”
“Bukankah
sex itu masalah pribadi?”
“Tentu,
tapi perlu juga diceritakan. Kau tahu, saat ini koran-koran sudah menutup
rubrik konsultasi sex. Dan situs-situs kesukaanku di internet sudah tidak beroperasi lagi. Lihat di setiap
lampu stopan, baner anti-seks dipasang besar-besaran. Aku jadi bingung,
kepada siapa akan aku ceritakan persoalan seks yang mendalam ini? Hanya kau,
Ajag. Kau yang harus mendengarkannya!”
“Apakah
lelaki yang haus perempuan dan bergonta-ganti istri, padahal ia bukan dari
golongan keluarga mampu, dapat disebut pelaku kejahatan seks?”
“Nah,
kau mulai tertarik, bukan? Aku suka sekali kau bertanya tentang seks. Begini,
Ajag …”
*
DI
rumah sumpek ini, aku sering mendengar tawa manja. Genitnya bukan main. Bukan,
bukan pada malam hari, tetapi ketika aku sedang duduk di kursi tua. Tawa manja
itu menggangguku. Sialan, sontoloyo, setan! Konsentrasiku untuk menatap
gadis di lantai tiga, sempat buyar.
Gadis
itu semakin ayu. Ia begitu manis dan lembut. Ketika ia berdiri di balik jendela
kamar, siluet tubuhnya membentuk bayangan indah, dengan komposisi simetris dari
atas sampai bawah. Tampaknya ia tidak suka bicara. Dan tatapannya itu, entah
singgah di mana. Kerinduannya pada seseorang, tampak semakin mendalam. Seks.
Bukankah gadis itu Seks? Penjaja cerita seks di warung kopi Mang Ujay?
Atau…mungkin gadis lain? Tapi menurut
Mang Ujay, di rumah megah itu tidak ada lagi sosok gadis, selain Seks. Bapak Kornagara,
sang empunya rumah, hanya mempunyai seorang anak dan tiga istri (dua istri
lainnya disimpan di villa, dan kabarnya tidak pernah diceritakan kepada istri
tua).
“Aghhh….!
Emmmh…! Hi hi hi…!” Suara erangan dan desahan ibu tiri muda, benar-benar
menggangguku. Apalagi yang dikerjakan ibu tiri muda itu. Tawa manjanya semakin
genit. Dan ayahku kemana? Biasanya ia menyiapkan dagangan untuk nanti malam.
Roda nasi goreng masih kosong. Oh, ya, mungkin ayahku belum bangun. Menjelang
waktu subuh ayahku baru pulang. Kemudian tidur. Dan ibu tiri muda selalu
ditinggalkan sepanjang malam.
Setiap
sore aku duduk di kursi tua. Gadis itu muncul di lantai tiga, menatap entah
kemana, dan tawa manja ibu tiri muda terus mengganggu konsentrasiku. Saat itu,
ayah tidak sedang menyiapkan dagangan. Roda nasi goreng masih kosong.
*
SUATU
hari yang tak begitu indah. Langit mendung, menghitam. Aku tengah menikmati mie
rebus dengan agak lahap. Mang Ujay sudah meninggal dunia, dan kini
warungnya diurus oleh cucunya. Ayahku juga sudah meninggal dunia, setelah
puluhan ibu tiri muda tertawa manja setiap sore, di saat aku tengah menatap
lantai tiga; dan saat tawa manja terdengar, ayahku tidak sedang menyiapkan
dagangan. Ketika ayahku meninggal dunia, ayahku hanya mewariskan roda nasi
goreng. Setiap malam aku mendorongnya, setelah duduk sebentar di kursi tua.
Mie
rebus sudah hampir habis, ketika seorang nenek masuk dengan gigi ompongnya. Olala,
aku terkejut bukan main, mengapa nenek itu mengenakan baju transparan dan rok
mini, satu jengkal setengah di atas lututnya?
Ia
duduk di hadapanku.
“Hai,
Ajag…” katanya. “Kau tahu bahwa sex itu indah dan nikmat?”
Aku
diam. Aku baru ingat, bahwa nanti sore, aku harus duduk di kursi tua dan
menatap ke lantai tiga rumah megah. Diam-diam aku jadi berpikir, kenapa aku
tidak meminang gadis itu untuk dijadikan istri?
Aku
berdiri. Menyodorkan selembar uang kepada pemilik warung. Di sebuah cermin yang
dipasang di warung itu, aku melihat sosok lelaki tua, kulit keriput, gigi
ompong, dan rambut yang dipenuhi uban. Aku hampir tidak percaya, bayangan di cermin
itu adalah wajahku sendiri.***
Ranggon Panyileukan, 1426 H
Bala-Bala ;
Makanan yang terbuat dari campuran sayuran (kol, toge, dsb) memakai terigu,
dan digoreng.
Bahenol :
Dari bahasa Sunda, artinya sama dengan sexi.
Belegug :
dari bahasa Sunda, artinya bodoh sekali; tidak sopan.
Celeno ;
Dari bahasa Sunda, artinya blo'on, bodoh.
Gehu :
Singkatan dari toge dan tahu. Maksudnya toge dimasukan ke tahu, dibungkus
pakai terrigu, kemudian digoreng.
Junun :
Dari bahasa Sunda, artinya sukses, selesai dengan gemilang.
Sontoloyo :
dari bahasa Jawa, ungkapan ketidakpuasan.
Komentar