Oleh DHIPA GALUH PURBA
PERTANYAAN tersebut diutarakan oleh seorang
remaja putri yang sedang berdiri di sebrang jalan gerbang Pendopo Walikota
Bandung. Pertanyaan tersebut sekaligus merupakan jawaban dari pertanyaan
penulis, kurang-lebih begini: “De, mau nonton kawih?” sambil menunjuk ke arah
Pendopo. Lantas dijawab lagi dengan pertanyaan.
Ia melempar pandangannya ke arah Pendopo dengan raut wajah penasaran.
Pintu gerbang Pendopo memang terbuka, tetapi dilihat dari kejauhan tidak tampak
sedang ada pergelaran kawih. Tidak ada juga spanduk atau baligo yang berisi
informasi pergelaran yang tengah berlangsung.
“Oh… lagu Sunda ya. Pingin sih nonton,
tapi lain kali aja dech…” dari sikap dan ucapannya, ia seperti tertarik
untuk menonton. Apalagi setelah dijelaskan bahwa juru kawih yang sedang
manggung adalah remaja seusianya. Ia tidak menonton pada saat itu, tentu bisa
dimaklumi. Mungkin karena sudah ada janji yang harus ditepati atau bisa jadi
karena langit yang mulai mendung. Tapi penulis cukup puas dengan jawabannya,
meski tidak sempat berkenalan atau bertukar nomor handphone.
Pada
hari itu (16/12/06) sedang berlangsung acara
silaturahmi antara pemerintah kota, seniman kawih, dan para pecinta kawih.
Tentu diperuntukan bagi siapapun yang mencintai seni kawih. Pada acara tersebut
dimeriahkan oleh pintonan pupuh dan kawih dari para siswa SD, SMP, SMA, serta
umum.
Panitia tampaknya lebih
memprioritaskan penampilan para siswa. Terbukti dengan perhatian pihak panitia
untuk memilih tiga juru kawih terpilih dari setiap tingkatan, serta berhak
mendapat penghargaan piala, bingkisan, dan sejumlah uang. Namun panitia tidak
menyebutkan siapa yang menilai penampilan para siswa, dengan alasan bukan
merupakan suatu pasanggiri atau
perlombaan. Bukan pasanggiri, tetapi
ada juara I, II, dan III.
Dengan percaya diri, pembawa acara
mengatakan bahwa tidak usah khawatir pada kamekaran
kawih, karena banyak para remaja yang bisa ngawih. Entah ditujukan
kepada siapa. Yang pasti beliau sedang
berbicara di depan audien yang sebagian besar adalah para siswa jurusan
karawitan SMKN 10 Bandung.
Berbeda dengan pendapat Nano. S,
yang justru mengkhawatirkan regenerasi juru kawih. Salah satu penyebabnya
adalah krisis kreator lagu Sunda untuk anak-anak (Majalah
Seni Budaya/ Jan/ 06). Menurut Nano S, pasca Pak Mahyar dan Mang Koko, tidak
ada lagi kreator yang melirik lagu anak-anak. Nano. S sendiri mengakui, bahwa
dirinya juga terlalu asik dengan lagu-lagu dewasa, seperti Kalangkang, Anjeun,
Teuteup jeung Imut, dsb. Maka dari itu, Nano S sedang mendalami dan membuat
lagu anak-anak. Selain itu, Nano. S juga menulis ulasan berjudul “Nyaliksik Pupuh jeung Lagu Barudak” (Koran
Sunda/12/5). Nano memandang lagu Sunda anak-anak merupakan agenda penting yang harus
digarap lebih serius.
Tentu saja membangun regenerasi
praktisi kawih merupakan agenda yang penting, sama pentingnya dengan membangun
regenerasi para penikmat dan pecinta seni kawih. “Enjoy ghitu lho,
nonton ABG yang ngawih dengan lantunan suara aduhai halimpu…”
Hampir semua siswa tingkat SMA melantunkan kawih sanggian Mang Koko, seperti Kembang Balebat, Samoja, Kembang Impian,
Salempay Sutra, Lembur Kakasih, dsb. Mereka tidak terkesan kolot atau hanya
cocok sebatas manggung pada acara pernikahan.
Untuk membangun kecintaan masyarakat
terhadap seni kawih, memang harus dimulai sejak anak-anak. Lantas Kawih apa yang cocok untuk diperkenalkan kepada
murid TK atau SD? Cocok artinya kawih itu harus diminati dan dicintai oleh
murid-murid, tidak karena tekanan atau paksaan. Dulu, Mang Koko (1917-1985) banyak
menciptakan kawih untuk anak-anak, serta kawih tersebut bisa diterima tanpa dan disukai anak-anak. Sebab, selain enak
dinyanyikan dan didengarkan, tema kawihnya juga bisa ngindung ka waktu ngabapa ka jaman. Selain itu, ada usaha yang
gigih untuk memperkenalkan kawih anak-anak, misalnya dengan roda organisasi
bernama Yayasan Cangkurileung (berpusat di kota Bandung ,
serta cabang-cabangnya menyebar di kabupaten se-Jawa Barat). Saat ini Yayasan Cangkurileung
masih tetap aktif berkegiatan, meski tidak ngagedur
seperti zaman Mang Koko.
Acara
silaturahmi insan kawih di Pendopo bertujuan untuk menampung aspirasi para
praktisi dan pecinta kawih. Sayang sekali walikota Bandung tidak bisa menghadiri acara tersebut,
berkenaan dengan adanya kepentingan yang mendadak. Padahal sejak jauh hari,
walikota sangat berharap untuk bisa hadir dan sangat mendukung acara tersebut.
Demikian dijelaskan oleh Yoyo TSA, sebagai ketua panitia.
Namun
yang lebih disayangkan lagi, panitia kurang strategis menentukan waktu
pelaksanaannya. Sebab, hari itu bertepatan dengan kegiatan ulangan umum yang
tidak mungkin ditinggalkan oleh siswa, kecuali ada kebijakan dari kepala
sekolah. Sehingga target untuk menampilkan siswa dari berbagai sekolah di Jawa
Barat tidak tercapai. Misalnya dari tingkat SMA, hanya dihadiri oleh siswa SMKN
10 Bandung dan SMA Pasundan 1 Bandung. Untuk tingkat SD, dihadiri oleh sembilan
sekolah kota
dan kabupaten Bandung .
Sedangkan tingkat SMP, dihadiri oleh lima
sekolah kota
dan kabupaten Bandung .
Oleh karena itu, untuk kegiatan ke depan, panitia mesti merancang hari H dengan
lebih matang.
Hal yang tidak kalah penting adalah
penggarapan publikasi yang harus lebih optimal. Masih banyak masyarakat yang
ragu-ragu karena malu (bahkan takut) untuk memasuki Pendopo tanpa ada undangan.
Apalagi jika acaranya bertajuk silaturahmi seniman dan para pecinta kawih, maka
penyebaran informasi merupakan garapan yang terpenting. Perlu ada ruang
selebar-lebarnya untuk mempertemukan seni kawih dengan masyarakat yang lebih
luas. Kabarnya dalam waktu dekat, akan didirikan Pangauban Kawih Sunda, untuk mewadahi
para praktisi dan pecinta kawih. Namun, tampaknya akan lebih strategis jika Yayasan
Cangkurileung saja lebih digiatkan kembali. Tentu, lebih teruji dan sudah
terbukti! ***
Komentar