Teater Lorong Subang |
Oleh Dhipa Galuh
Purba dan Sakti Budhi Astuti
Pendahuluan
Bahasa Sunda dikenal di tingkat
nasional, bahkan di tingkat internasional. Namun saat ini, bahasa Sunda lebih
dikenal sebagai bahasa untuk bercanda atau humor. Di dunia entertainment,
beberapa seniman asal Jawa Barat yang menguasai bahasa Sunda, seringkali
melontarkan penggalan bahasa Sunda untuk memancing tawa penonton, dan hampir
dipastikan selalu sukses mengundang gelak tawa. Bahkan beberapa waktu yang
lalu, ruangan sidang paripurna DPR RI
sempat dihebohkan oleh penggunaan bahasa Sunda yang terlontar dari Popong
Djundjunan, yang pada tanggal 1 Oktober lalu dipercaya memimpin sidang.
Berbagai tanggapan pun muncul di
luar sidang, terutama di media sosial. Ada
yang mendukung, ada pula yang menghujat. Hampir seluruh media menurunkan berita
tersebut. Selain substansi tugasnya dalam memimpin sidang paripurna, banyak
pula yang menyoroti penggunaan bahasa Sunda. TribunNews mengutip beberapa pendapat masyarakat dunia maya, yang
berkontar dalam situs jejaring social twitter. Ridwan Kamil, Walikota Bandung,
berkicau melalui akun twitternya: "Hidup
Ceu Popong, tegas dan bodor".[1]
Kata “bodor” tersebut lebih menguatkan anggapan bahwa bahasa Sunda identik
dengan ngabodor. Sementara yang dimaksud
dengan kata “tegas”, saya masih memikirkannya di sebelah mana tegasnya?
Tentu
saja tidak salah jika bahasa Sunda sangat populer untuk alat humor. Namun yang
perlu diluruskan adalah bahasa Sunda tidak hanya untuk ngabodor. Sebab, kalau manfaatnya hanya untuk bercanda, buat apa
ada jurusan bahasa Sunda di perguruan tinggi. Bahasa Sunda bisa digunakan untuk
mengungkap berbagai keilmuan dan bahasa dalam sastra Sunda. Sampai saat ini,
bahasa Sunda masih hidup sebagai bahasa dalam jurnalistik, sastra, dan berbagai
keilmuan. Setiap tahun, Yayasan Rancage menganugerahkan Hadiah Sastra Rancage
kepada para pengarang sastra Sunda dan tokoh yang berjasa dalam memperjuangkan bahasa Sunda. Di
dunia pendidikan pun, setiap tahun ada penghargaan “Hadiah Hardjapamekas” untuk
guru Bahasa Sunda berprestasi.
Sejak
tahun 1999, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mendeklarasikan
Hari Bahasa Ibu Internasional (Mother Tongue), yang sampai sekarang
diperingati setiap tanggal 21 Februari. Ini merupakan suatu penghargaan
terhadap kelangsungan bahasa yang diperkenalkan oleh seorang ibu ketika anaknya
terlahir ke dunia. Bagi orang Sunda, khususnya Jawa Barat, yang dimaksud dengan
bahasa ibu adalah bahasa Sunda, Cirebon ,
atau Betawi. Karena seorang ibu di Jawa Barat masih banyak tetap mengajarkan
bahasa daerah kepada anaknya.
Bahasa
merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan. Rohiman Notowidagdo, setelah
menyimak berbagai definisi para antropolog, menyimpulkan bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil cipta, karsa dan manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun
dalam kehidupan masyarakat” (1996: 25).
Menurut Yayat Sudaryat, bahasa Sunda adalah bahasa ibu (mother tonge; firs language) orang
Sunda, yang masih digunakan oleh masyarakatnya, baik di tatar Sunda maupun di
luar tatar Sunda, seperti Madura, Majenang, Dayeuhluhur, Manggung (Jawa
Tengah), dan di daerah transmigrasi asal Jawa Barat, seperti Lampung dan
Bengkulu (2003: 10). Sunda merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia, di
samping suku-suku lainnya, seperti Batak, Dayak, Ambon, dsb. Tempat tinggal
asli suku Sunda berada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten.
Adapun Mikihiro Moriyama berpendapat
bahwa bahasa Sunda umumnya dipakai di propinsi Jawa Barat. Namun, di di
propinsi Jawa Barat juga ditemukan penduduk yang berbahasa Jawa, yaitu di
bagian utara daerah Banten dan Pantai Utara, tepatnya sebelah barat Karawang
dan Indramayu. Selain itu, bahasa Sunda pun digunakan di pinggiran Jakarta, di wilayah propinsi Jawa Barat dan Banten,
seperti Bekasi dan Tanggerang (2005: 11). Dalam Ensiklopedi Sunda dipaparkan bahwa bahasaSunda merupakan bahasa
yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan
kehidupan mereka (2000: 620)
Berkenaan dengan kata ”Sunda”, G.P. Roufaer memaparkan bahwa kata ”Sunda”
berasal dari bahasa Hindu (India), sama halnya dengan nama tempat-tempat lain
di Indonesia, seperti Bali, Banten, Bima, madura, Sumatera, dan Sumbawa (dalam
Yayat, 2003: 10).
Jika menelusuri asal-muasal kata ”Sunda” secara lebih jauh, maka dapat
ditemukan dalam bahasa Sansakerta, Kawi, Jawa, dan Sunda Buhun. Di dalam bahasa
Sansakerta, kata ”Sunda” berasal dari Sund,
yang artinya terang benderang. Menurut hipotesis Prof. Berg, kata ”Sunda”
berasal dari cuddha, yang artinya putih, yaitu warna Gunung Sunda
dipandang dari kejauhan, yang diapit oleh Gunung Burangrang dan Gunung
Tangkuban Parahu. Di dalam bahasa Kawi, kata ”Sunda” artinya air, bisa juga
diartikan menumpuk, menyusun, atau waspada. Di dalam bahasa Jawa, kata ”Sunda”
artinya tempat penyimpanan. Sedangkan di dalam bahasa Sunda buhun, kata ”Sunda”
berasal dari sonda, yang artinya
bagus, unggul, senang, dan puas. Bisa juga berasal dari sundara, yang artinya cantik atau bisa juga tampan. Selain itu,
kata ”Sunda” pun bisa diartikan indah (Yayat, 2003: 10-11).
Bahasa Sunda sudah digunakan sejak jaman kerajaan Salakanagara (130-362 M).
Pada saat itu, bahasa Sunda digunakan sebagai bahasa kerajaan, dan bertahan
sampai pada jaman kerajaan Sunda, Galuh, dan Pajajaran (Yayat, 2003: 13).
Sedangkan dalam Ensiklopedi Sunda
dijelaskan bahwa tidak diketahui kapan bahasa Sunda lahir, tetapi bukti
tertulis tertua berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14 (2000: 620)
Prasasti yang dimaksud adalah yang ditemukan di Kawali, Ciamis, yang
diperkirakan dibuat pada zaman pemerintahan Wastukancana (1397-1475). Prasasti tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda (kuno) pada batu
andesit berbentuk segi empat tidak beraturan, tersimpan melintang dari arah
utara ke selatan, yang berbunyi: nihan tapak wa-/ lar nu siya mulia tapa (k)
i/ na parbu raja wastu/ manadeg di kuta kawa/ li nu mahayu na kadatuan/
surawisesa nu marigi sa/ kulilin dayoh nu najur salaka/ desa aya nu pa (n) dori
pakena/ gawe rahayu pakon hobol ja/ ya di buana. Jika bunyi prasasti
tersebut terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya: Inilah
tanda be/ kas beliau yang mulia/ prabu raja wastu/ yang memerintah di kota
kawa/ li yang memperindah keraton/ surawisesa, yang membuat parit/ sekeliling
ibu kota yang memakmurkan seluruh/ desa semoga ada penerus yang melaksanakan/
berbuat kebajikan agar lama jaya di buana. Jelas, suatu pesan dan harapan
leluhur Sunda yang begitu mulia.[2]
Dapat dipastikan bahwa bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh
masyarakat Sunda, j
auh sebelum masa kerajaan Sunda Galuh yang dipimpin Wastukancana. Mungkin
bahasa Kw’un Lun yang disebut orang China sebagai bahasa percakapan di Jawa
Barat abad ke-10 adalah bahasa Sunda Kuno. Bukti penggunaan bahasa Sunda (kuno)
banyak ditemukan dalam bentuk tulisan pada daun lontar, enau, kelapa, dan nipah
(abad ke-15 sampai dengan 18).
Bahasa Sunda pada masa itu banyak dipengaruhi struktur bahasa India dan
Sansakerta. Namun sejak abad ke-16, ketika orang Sunda banyak yang menganut
agama Islam, maka kosakata bahasa Arab pun mewarnai bahasa Sunda. Selanjutnya
sejak akhir abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19, bahasa Sunda banyak
dipengaruhi oleh bahasa Jawa, sebagai dampak pengaruh Mataram yang memasuki
wilayah Sunda.
Pada masa tersebut, bahasa Sunda terdesak, karena bahasa Jawa dijadikan
bahasa resmi di lingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa
(undak-usuk basa) dan kosakata Jawa masuk ke dalam bahasa Sunda, serta
mengikuti pola bahasa Jawa (unggah-ungguh basa), sehingga terjadi stratifikasi
sosial secara nyata. Pada akhir abad ke-19 mulai masuk pengaruh bahasa Belanda,
baik dalam hal kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara latin, sebagai
dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi.Selain itu, bahasa Melayu
pun merasuk ke dalam bahasa Sunda, terutama setelah bahasa Melayu dinyatakan
sebagai bahasa komunikasi antar etnis dan bahasa persatuan, dengan nama bahasa
Indonesia pada tahun 1928, dalam peristiwa Sumpah Pemuda (2000: 620-621).
Mikihiro Moriyama memaparkan bahwa
pada mulanya bahasa Sunda masih diragukan eksistensinya; apakah bahasa Sunda
itu merupakan bahasa atau dialek? Dalam A
Comparative Vocabulary of the Malayu, Javaan, Madurese, Bali, and Lampung
Languages, karya Raffles (Letnan Gubernur Jawa), bahasa Sunda tidak diberi
tempat tersendiri dalam senarai kata-kata, malah dimasukan ke dalam kolom
”Javaan”. Berarti bahasa Sunda hanya dianggap bagian dari bahasa Jawa. Rafles
terlalu rendah memperkirakan jumlah penutur bahasa Sunda. Boleh jadi, ia hanya
menghitung penutur bahasa Jawa pegunungan (Bergjavaans)
di wilayah-wilayang pegunungan (highland)
dan tidak memperhitungkan para penutur bahasa Sunda halus atau Jaware yang
tinggal di dataran tinggi (upland plains).
Selanjutnya Andries de Wilde, seorang Belanda penguaha perkebunan kopi di
Sukabumi, menerbitkan studi etnografi tentang daerah Priangan pada tahun 1829.
Andries menganggap bahasa Sunda sebagai bahasa tersendiri, atau berbeda dengan
bahasa Jawa dan Melayu. Pada tahun 1841, bahasa Sunda baru diakui secara resmi,
dengan ditandai penerbitan kamus bahasa Sunda yang pertama: De Nederduitsch-Maleisch en Soendasch
Woordenboek (Kamus Bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut
diterbitkan di Amsterdam, serta disusun oleh Roorda, seorang sarjana
bahasa-bahasa Timur yang paling berwibawa (2005: 20-23).
Bahasa dan Sastra Sunda
Peraturan
daerah (Perda) Kebudayaan Propinsi Jawa Barat tahun 2003, terutama Perda No.5
Tahun 2003, tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah menjadi bukti
tingginya perhatian pemerintah terhadap bahasa daerah.
Jika
keberadaan suatu bahasa terancam punah, maka jangan bermimpi untuk bisa
merayakan sastranya, apalagi aksaranya.
Seperti yang tengah terjadi pada bahasa Sunda saat ini. Mari kita perhatikan,
baik di lingkungan masyarakat umum, maupun di lingkungan pendidikan, orang
Sunda sudah merasa canggung –bahkan-- malu untuk bicara dengan menggunakan
bahasa Sunda. Alasannya sudah klise: takut salah, karena misalnya dalam bahasa
Sunda ada undak-usuk (tingkat-tingkat kesopanan berbahasa). Takut
dikatakan tidak sopan. Takut di-cap tidak beradab. Dan berbagai ketakutan
lainnya, sehingga pada akhirnya memilih untuk tidak menggunakannya sama sekali.
Jika hal ini dibiarkan, lambat laun bahasa Sunda akan kian ditakuti; niscaya
lambat laun kian terlupakan.
Sadar
akan kondisi demikian, tak akan ada salahnya jika sekarang ini sudah saatnya
untuk memikirkan bagaimana menuntaskan masalah undak-usuk Bahasa Sunda,
yang sudah menjadi polemik sejak beberapa tahun silam. Undak-usuk Bahasa Sunda,
suatu format warisan Mataram, yang menjadikan urang Sunda terbagi
menjadi beberapa tingkatan status social cacah dan
menak. Jelas, mesti ada terobosan pikiran untuk mencairkan kebekuan undak-usuk
Bahasa Sunda.
Bisa
jadi, yang menyebabkan kondisi bahasa dan sastra Sunda seperti sekarang ini
adalah kaum intelektual sastra Sunda sendiri. Coba simak pendapat Abdullah
Mustapa, pada Saresehan Sastra Sunda, 31 Desember 1999 di Paguyuban Pasundan, Bandung . Menurut
Abdullah; para tuturus (tunas) yang mau menghidupkan sastra Sunda,
seperti langlayeuseun (lemas, tidak berdaya). Kendati saat ini di
lingkungan sekolah masih ada pelajaran bahasa Sunda, namun karya sastra Sunda
sudah tidak dibaca lagi oleh anak-anak sekolah.
Sangat berbeda dengan zaman dulu, ketika murid-murid sekolah
"dipaksa" oleh gurunya untuk membaca buku-buku sastra Sunda.
Ada
semacam tradisi yang terlupakan (mungkin juga sengaja dilupakan) dalam
menanamkan budaya bahasa Sunda di lingkungan pendidikan. Sampai saat ini di
beberapa Pesantren Tradisional (Jawa Barat dan Banten), ada yang masih
konsisten menggunakan bahasa Sunda. Baik
dalam bahasa pengantar pengajaran atau bahasa sehari-hari, di lingkungan
pesantren relatip lebih banyak menggunakan bahasa Sunda. Sedangkan di
lingkungan formal pendidikan (sekolahan), penggunaan bahasa Sunda semakin
berkurang.
Ajip
Rosidi pernah berkata --pada sambutan
pemberian Hadiah Sastra Rancage 1989, bahwa kehidupan sastra tidak bisa bisa
diukur hanya dari satu unsur saja. Hal itu dikarenakan kehidupan sastra Sunda
hanya akan bisa dikatakan maju, jika semua unsur sudah memperlihatkan
kemajuannya. Para
pembuat karya sastra Sunda -- sebut saja pengarang-- tulisannya semakin
berkualitas. Para penerbit --baik berupa buku atau media massa-- semakin banyak dan kian membuka
peluang besar bagi para pengarang baru. Yang ketiganya --tentu saja-- kuantitas
para pembacanya kian bertambah banyak. Sebab sastra Sunda tidak akan bisa
memasyarakat, jika tiga unsur tersebut tidak berjalan dengan selaras. Apa lagi
kalau salah satunya tidak ada. Walaupun para pengarang semakin produktif
membuat karya sastra, tetapi kalau tidak ada yang menyampaikannya (buku atau
media massa ),
mustahil ada yang akan membaca (kecuali pengarangnya sendiri).
Begitu
juga, kalaupun puluhan atau bahkan ratusan sampai ribuan buku Sastra Sunda
diterbitkan setiap taun –pleus- ditambah dengan maraknya media massa
Sunda. Tetap saja belum tentu bisa hidup, jika masarakat-nya sendiri kurang
berminat terhadap karya sastra Sunda.
Kendati
demikian, sikap optimis para pengarang
Sunda tetap terlihat. Misalnya Eddy D Iskandar, Juniarso Ridwan, dan Yoseph
Iskandar, yang sejak taun 1980-an, sangat
optimis jika sastra Sunda akan berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman[3].
Pada awal tahun tahun 2000-an, banyak para pengarang Sunda yang menerbitkan
buku dengan modalnya sendiri. Misalnya Oom Somara De Uci, yang menerbitkan buku
antologi carpon Islami Astrajingga Gugat.
Atau juga Dian Hendrayana, yang menerbitkan buku Lalakon Bingbang dengan
modal sendiri pula. Tentu saja masih banyak pengarang muda lainnya, yang secara
ikhlas mengorbankan materi, demi keberlangsungan sastra Sunda, tanpa memikirkan
resiko yang sudah dipastikan akan merugi.
Hampir semua
jenis buku bacaan sastra Sunda, kurang laku di pasaran. Menurut Ajip Rosidi,
yang menyebabkan sulitnya laku di pasaran itu, dikarenakan toko bukunya yang
pasif. Tapi kalau diteliti lebih jauh lagi, ternyata bukan hanya toko bukunya
saja yang pasif, justru calon pembelinya pun bisa saja lebih pasif.
Masuk pada masalah masyarakat
pembaca Sastra Sunda, maka akan menimbulkan sebuah pertanyaan; siapa atau
golongan mana sebenarnya yang saat ini masih suka membaca sastra Sunda? Iya,
siapa? Ahid Hidayat pernah memberikan jawaban yang cukup ‘menyakitkan’.[4]
Dikatakannya bahwa yang membaca sastra Sunda itu adalah (hanya) pengarang dan
redaktur sastranya saja.
Benarkah
seperti itu? Kalau memperhatikan keadaan di lapangan, tampaknya tidak seburuk
itu. Sebab sampai sekarang, masih banyak masyarakat pembaca, yang kelihatannya
begitu enjoy membaca karya sastra Sunda, baik berupa buku Sunda atau
karya sastra yang dimuat di media massa .
Terlebih lagi setelah media cetak berbahasa Indonesia , seperti Tribun Jabar dan Pikiran Rakyat memuat karya sastra
Sunda. Belum lagi diuntungkan oleh perkembangan teknologi internet. Blog-blog
yang memuat karya sastra Sunda bertebaran di dunia maya. Terlebih setelah masuk
pada era jejaring social seperti facebook. Tampak kehidupan bahasa dan sastra
Sunda semakin bergairah.
Ada
sebuah esai Sunda di majalah Manglé No. 1835, ditulis oleh Dadan Sutisna.
Isinya menceritakan tentang perkembangan dongeng Sunda sekitar tahun 1980-an.
Di Tatar Sunda pernah merebak dongeng-dongeng Sunda di radio. Kejayaan dongeng
Sunda antara lain telah melahirkan “seniman pendongeng” seperti Wa Kepoh, Mang
Jaya, dsb. Ceritanya sangat menarik, ditambah lagi dengan kemampuan cara
mendongéngnya. Terlebih lagi pada saat itu, masyarakat (terutama di pedesaan)
masih jarang yang memiliki pesawat televisi. Masyarakat lebih banyak yang
tergila-gila oleh cerita dongéng. Bahkan dongeng “Si Rawing” karya Yat R,
sempat diangkat ke layar lebar.
Apakah
mungkin jika karya sastra Sunda berhasil seperti itu? Tentu saja jawabannya bisa!.
Sangat bisa, jika sudah diminati oleh masarakatnya. Jadi, tinggal bagaimana
caranya membuat karya yang bernilai sastra, dan bisa diminati oleh masyarakat.
Kalau masyarakat sudah tertarik, maka akan banyak pula yang membaca sastra
Sunda. Seperti diungkapkan oleh Aan Merdeka Permana (pada sebuah perbincangan),
perlu disediakan suatu bacaan untuk menjembatani para pembaca dalam menuju
bacaan sastra. Artinya para pembaca harus diperhatikan. Sebab yang berperan
penting dalam perkembangan karya sastra Sunda, tiada lain adalah para
pembacanya (tapi bukan berarti pengarang dan penerbit tidak penting). Alasan
disebut lebih penting, dikarenakan para pembaca -sepertinya- tidak akan merasa
diuntungkan atau dirugikan. Pembaca tidak akan bangkrut, kalaupun penerbit Sunda
semuanya ‘mati'. Belum tentu merasa sedih, kalaupun para pengarang Sunda tidak
mau lagi membuat karya sastra. Namun sebaliknya, jika pengarang dan penerbit
sudah kehilangan para pembaca, bagaimana jadinya?
Pers
Sunda
Pers Sunda adalah
corong yang paling mujarab untuk memajukan bahasa dan sastra Sunda. Namun
lagi-lagi sastra Sunda kurang beruntung, karena pers bahasa Sunda kini hanya
bisa bernostalgia; mengenang kejayaan
masa lalu. Ia harus hidup di tengah hiruk-pikuk pers nasional dan dunia, di
tengah perang komunikasi yang kian meruncing.
Ketika pers nasional dan dunia
berpacu dalam kecepatan, ketepatan dan keakuratan berita dengan memanfaatkan
teknologi komunikasi, pers Sunda masih sibuk mengurusi dapur sendiri; bagaimana
membenahi SDM, memperbaiki manajemen dan memikirkan hidupnya agar tidak hirup
teu neut paeh teu hos (hidup segan mati tak mau). Pada KIBS 1[5],
misalnya, Duduh Durahman pernah memaparkan keberadaan majalah Mangle yang
senantiasa terbit sejak tahun 1957, walaupun mengalami penurunan oplah dari
tahun ke tahun. Mangle bisa terus hidup dengan mengandalkan para pembaca setia,
berpenampilan buram karena hanya memakai kertas koran. Kalaupun di dalamnya ada
iklan, hanya merupakan iklan barter dengan media lain, atau iklan tahunan
seperti hari raya Idul Fitri dan hari jadi kota-kota di Jawa Barat. Jangankan
memikirkan profesionalime jurnalistik, dalam tubuh Mangle sendiri masih ada
dualisme; mereka yang menghendaki Mangle sebagai majalah hiburan (mengutamakan
karya fiksi) dan mereka yang menghendaki Mangle sebagai majalah berita
(mengutamakan tulisan jurnalistik).
Persoalan intern-ekstern yang
menyebabkan pers Sunda ngalanglayung tentu sudah dapat kita duga. Untuk
sekedar mengulangi pemikiran lama, penyebabnya adalah kurangnya investasi
(modal), lemahnya manajemen, kurangnya kesejahteraan karyawan (para pengelola
pers Sunda), lemahnya SDM (berkorelasi dengan kesejahteraan), dan setumpuk
persoalan lainnya. Selain itu - meminjam istilah klise - pengaruh transpormasi
sosial-budaya dan penyempitan bahasa Sunda di kalangan masyarakat Sunda yang
menyebabkan penurunan oplah media cetak berbahasa Sunda.
Anehnya, dengan kondisi seperti itu,
masih muncul kebanggaan karena pers Sunda lebih maju dibandingkan pers etnis
lainnya (Mangle, No. 1851), walaupun saat ini pers Sunda sudah tidak
"nyunda" (Kompas, 23/07/2001). Mungkin kita merasa malu, atau
sebaliknya berbesar hati, dengan perkataan Sakdani Darmopamudjo, mantan ketua PWI Cabang Surakarta. Menurutnya, pers
berbahasa Jawa di Jawa Tengah hanya tinggal kenangan, tidak ada lagi
koran/majalah berbahasa Jawa yang terbit di sana (di Jawa Timur, masih terbit majalah
berbahasa Jawa Penyebar Semangat dan Jayabaya, di Yogyakarta masih terbit Joko
Lodhang).
"Berbeda di kalangan masyarakat
Sunda. Di samping penggunaan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari, di
kalangan keluarga Sunda majalah berbahasa Sunda banyak dipajang di ruang tamu
sebagai identitas dan kebanggaan," (Suara Merdeka, 14/02/2002).
Masyarakat Sunda saat ini masih mempunyai
banyak media massa cetak yang menggunakan bahasa Sunda; Majalah Mangle,
Majalah SundaMidang, Majalah Cupumanik, KSM Galura (Grup Pikiran Rakyat), Majalah Bina Da’wah, dan beberapa nama majalah baru yang bermunculan.
Salahsatu majalah yang terbaru adalah Majalah Pasundan, yang diterbitkn oleh
Balai Bahasa Jawa Barat.
Untuk
sekedar bernostalgia, kita pernah mempunyai 36 media berbahasa Sunda (Derap
Pembangunan Pers di Jawa Barat, BPPP, 1987). Dua di antaranya koran berbahasa
Sunda yang terbit harian: Sinar Pasoendan
(1933-1942) dan Sipatahoenan (1924-1942 di Tasikmalaya dan 1969-1985 di
Bandung). Sedangkan majalah Sunda yang paling tua adalah Parahiangan (1919)
yang diterbitkan Balai Poestaka Jakarta, diasuh oleh M.A. Salmoen dan R.
Satjadibrata.
Koran dan
majalah tersebut kemudian berguguran, penyebabnya lebih cenderung masalah
permodalan dan suhu politik. Mangle
(1957) merupakan media berbahasa Sunda tertua yang sampai saat masih bisa
terbit.
Waktu itu
pers Sunda bisa dijadikan sumber penghidupan oleh para karyawannya. Dengan
oplah yang cukup besar, gaji karyawan pun diperhitungkan. Konon oplah Mangle
pernah mencapai angka 90 ribu eksemplar, tetapi perlu dipertanyakan, apakah
oplah sebesar itu lantaran tulisan jurnalistiknya atau karena Mangle sebagai
majalah hiburan yang banyak memuat karya fiksi.
Masyarakat pun pernah dikejutkan dengan terbitnya
surat kabar harian Koran Sunda, yang
mulai terbit pada 31 Maret 2006. Lahirnya
harian Koran Sunda sangat erat kaitannya dengan Koran Sunda
Mingguan (KSM) Kujang. Para pengelola Koran Sunda didomanisi oleh
eks pengelola KSM Kujang, terutama Uu Rukmana sebagai pemimpin umum,
Abdullah Mustapa sebagai pemimpin redaksi, beserta staf redaksi lainnya seperti
Nano. S., H. Ahmad Saelan, H. Usep Romli HM., Kang Ibing, Asep Ruhimat, Dian
Hendrayana, dsb. Bahkan kantor redaksi yang digunakan oleh Koran Sunda
juga merupakan eks kantor redaksi Kujang.
Terbitnya
Koran Sunda sekaligus menjadi akhir hidup KSM Kujang. KSM Kujang
merupakan koran berbahasa Sunda yang mulai terbit pada tanggal 20 Januari 1956.
Awalnya lebih dikenal dengan KSM Kalawarta Kudjang, diterbitkan oleh
Yayasan Kudjang dalam bentuk buletin, dicetak stensilan. Perintisnya
adalah R. Ema Bratakoesoema (Ciamis, 12 Agustus 1901—Bandung, 1 Agustus 1984).
Dalam Ensiklopedi
Sunda dipaparkan tiga pandangan politik Ema, yaitu; (1) ingin memajukan
bangsanya karena cinta akan tanah air yang dimulai dan diutamakan dari tingkat
bawah berdasarkan kebudayaan (suku bangsa dan daerah: Sunda), (2) ingin
memerdekakan bangsanya dari belenggu penjajahan melalui persiapan rakyat harus
berani bertarung secara individual dan atau kelompok, (3) bentuk
negara yang sesuai bagi Indonesia merdeka adalah federasi atau otonomi
yang luas, karena sesuai dengan kodrat masyarakat dan geografi Indonesia. Untuk
mencapai pandangan tersebut ditempuhlah program pendidikan, pers, dan pencak
silat (2000: 212). Sebagai realisasi dari pemikirannya, Ema dan beberapa tokoh
lainnya menerbitkan KSM Kalawarta Kudjang, dengan mengusung motto Rekaning
Daya Marganing Laksana.
Selain
Ema, tokoh-tokoh lain yang turut berjasa
dalam merintis perkembangan KSM Kudjang adalah R. Soetisna Senjaya, R.
Soepyan Iskandar, dan Prof. Ir. Otong Kosasih. Setelah mengalami proses
perjalanan dari waktu ke waktu, Kudjang pun mengalami kemajuan yang cukup
pesat. Selain konsisten dalam penerbitannya (seminggu sekali), terbukti juga
pada terobosan dalam mengubah tampilannya menjadi berukuran 43 cm X 30 cm,
setebal 12 halaman, atau setengah dari ukuran surat kabar biasa, serta oplahnya
pun semakin meningkat.
Waktu
itu, KSM Kudjang atau pers Sunda lainnya memang bisa dijadikan sumber
penghidupan oleh para karyawannya. Dengan oplah yang cukup berlimpah, gaji
karyawan pun diperhitungkan. Konon oplah KSM Kudjang pernah mencapai
60.000 exemplar yang tersebar di seluruh pelosok Jawa Barat dari kota sampai ke desa-desa
(BPPP, 1987: 75).
Perjalanan
KSM Kalawarta Kudjang tidak lepas dari berbagai persoalan yang menimpa,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada tahun 1965, ketika suhu
politik memanas, oplah menjadi turun, pemotongan uang, devaluasi inflasi;
hampir saja menghentikan perjalanan Kalawarta Kudjang. Tentunya hal
tersebut sangat berkaitan dengan masalah pembiayaan. Namun kegigihan R. Ema
Bratakoesoema patut dijadikan tauladan bagi para praktisi pers Sunda di jaman
ini. Di tengah berbagai himpitan dan segudang masalah yang menerpa, KSM Kudjang
masih bisa terbit, dipertahankan kelangsungan hidupnya sampai akhirnya bisa
diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Namun
perjalanan KSM Kalawarta Kudjang tersendat-sendat di tengah ketatnya
persaingan pers. Bukan hanya KSM Kalawarta Kudjang, karena surat kabar dan majalah
berbahasa Sunda lainnya satu-persatu mulai berguguran. KSM Kalawarta Kudjang
berhenti terbit pada bulan Juni 2004.
Selanjutnya
Uu Rukmana mempelopori dibangkitan kembali KSM Kudjang, yang selanjutnya
ditulis: Kujang. Peluncuran kembali (Re-launching) KSM Kujang berlangsung
pada tanggal 15 April 2005 di Hotel Homan, Bandung . Dengan bangkitnya kembali KSM Kujang
terasa membawa angin segar bagi kehidupan pers Sunda. Selain melibatkan
kekuatan para jurnalis Sunda senior dan jurnalis Sunda muda berpotensi, KSM Kujang
yang mottonya diubah menjadi Ngajaga
lembur, Akur jeung dulur, Panceg ‘na galur (Menjaga daerah, rukun dengan saudara, teguh dalam alur) mencoba
mengubah desain perwajahannya, menambah halamannya menjadi 16 halaman, tanpa
mengubah ukurannya.
Belum
genap satu tahun perjalanan KSM Kujang, tiba-tiba Uu Rukmana bertekad
untuk menerbitkan koran harian berbahasa Sunda. Rencana tersebut dicetuskan Uu
kepada publik dalam acara peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional (Mother
Tongue), 21 Februari 2006, di Graha Sanusi Hardjadinata (Aula Universitas
Padjadjaran), Jl. Dipatiukur No. 35, Bandung .
Pernyataan Uu sempat membuat terkejut hadirin, bahkan ada juga di antaranya
yang merasa ragu. Uu mengatakan bahwa untuk memelihara, melestarikan, dan
mengembangkan bahasa ibu (bahasa Sunda, pen) jangan hanya sekedar jadi
bahan wacana atau bahan diskusi, seminar, dan simposium, melainkan mesti
benar-benar dilaksanakan. Uu sangat optimis masyarakat Sunda akan menyambut
kehadiran koran harian berbahasa Sunda.
Rencana
Uu untuk menerbitkan koran harian berbahasa Sunda tidak meleset dari rencana
sebelumnya. Tepatnya pada tanggal 31 Maret 2006, harian Koran Sunda
diluncurkan di Hotel Savoy Homann, Jalan
Asia Afrika, Bandung .
Tidak berbeda dengan KSM Kujang, motto harian Koran Sunda pun
adalah Ngajaga lembur, Akur jeung dulur, Panceg ‘na galur. Ukuran dan
jumlah halaman harian Koran Sunda persis sama dengan KSM Kujang.
Dengan terbitnya harian Koran Sunda, maka orang Sunda memiliki lagi
koran harian berbahasa Sunda. Sebelumnya pernah terbit koran harian berbahasa
Sunda Sinar Pasoendan (1933-1942)
dan Sipatahoenan (1924-1942 di Tasikmalaya dan 1969-1985 di Bandung).
Dengan
terbitnya harian Koran Sunda, maka KSM Kujang otomatis berhenti
menemui pembacanya. KSM Kudjang tidak terbit lagi, dan tamatlah riwayatnya
sampai di sana .
Namun di dalam harian Koran Sunda terdapat rubrik “Kujang Putra” yang
memuat karya sastra berupa puisi atau prosa. Kantor redaksi harian Koran
Sunda menggunakan eks kantor redaksi KSM Kujang, tepatnya di Jalan
Soekarno-Hatta No. 580, Bandung .
Perbedaan yang sangat nampak antara KSM Kujang dan harian Koran
Sunda adalah nama penerbitnya. Jika KSM Kujang diterbitkan oleh
Yayasan Kudjang, maka harian Koran Sunda diterbitkan oleh PT. Wawangi
Arum Sunda.
Ketika
acara launching harian Koran Sunda berlangsung, sebagaimana dilaporkan H.U. Pikiran Rakyat
(01/04/06), Uu memaparkan bahwa rencana
isi harian Koran Sunda akan ditinjau dari aspek kesundaan dengan bahasa
Sunda apa adanya. Artinya, berita-berita yang ditampilkan tidak akan
menjatuhkan orang Sunda. Kalaupun harus mengkritik, kritikan yang disampaikan
adalah kritik dengan cara-cara kesundaan.
Harian Koran
Sunda terbit pada saat kota Bandung dirundung berbagai persoalan yang sukar
untuk dituntaskan. Misalnya masalah sampah yang tidak juga berujung sejak
terjadinya musibah longsor sampah di TPA Leuwigajah (21/02/05). Selain itu,
masalah penyakit demam berdarah dan demontrasi kaum buruh yang menolak revisi
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13, Tahun 2003. Berita-berita tersebut
menghiasi harian Koran Sunda pada lima
hari pertama.
Harian Koran
Sunda berusaha menempatkan diri pada posisi netral dan selalu bersikap
kritis terhadap pemerintah. Hal tersebut bisa dibuktikan pada edisi perdana
harian Koran Sunda yang langsung mengkritisi buruknya pelayanan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Bandung, anggota DPR-RI yang senang menghamburkan
anggaran untuk jalan-jalan ke luar negeri, dsb. Pada hari ke-17 harian Koran
Sunda memuat berita tentang lemahnya Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
(LKPJ) Gubernur tahun 2005. Berita tersebut berjudul “Cangcaya Visi Jabar
kahontal” (Pesimis Visi Jabar tercapai). Visi Jawa Barat adalah “Dengan
iman dan taqwa Jawa Barat sebagai provinsi termaju di Indonesia dan mitra terdepan ibu kota negara tahun 2010”.
Harian Koran
Sunda secara konsisten menggunakan pananggalan Sunda, di samping tahun
Masehi dan Hijriyah. Pada edisi perdana harian Koran Sunda, bertepatan
dengan 1 Rabiul Awal 1427 H, bertepatan pula dengan Sukra, 9 Posya Paropoék
1924 Caka. Dengan menggunakan pananggalan tersebut, tentu menghadirkan kesan
bahwa harian Koran Sunda benar-benar nyunda dan islami. Uraian mengenai kebudayaan
Sunda selalu hadir setiap hari di harian Koran Sunda. Selaras dengan
penggunaan bahasa Sunda, maka pemuatan masalah kebudayaan Sunda pun, baik
berupa berita, feature, kajian, opini, laporan mendalam (deep news),
maupun bahasan memiliki prioritas utama.
Rubrik
“Budaya” hadir setiap hari dengan menampilkan berbagai ulasan kebudayan,
semisal silsilah dan filosofi wayang, pupuh, tembang Sunda, batik, hubungan
pupujian dengan budaya Sunda, dsb. Tema seni pertunjukan mendominasi berita
kebudayaan Sunda. Kendati demikian, tampaknya ada usaha harian Koran Sunda
untuk menjelaskan bahwa yang disebut kebudayaan Sunda bukan sekedar pertunjukan
kesenian.
Rubrik
“Kujang Putra” yang khusus memuat karya sastra, hadir setiap edisi hari Sabtu,
dengan memuat karya para sastrawan Sunda semisal Holisoh ME, Hermawan Aksan,
Naneng Daningsih, Cecep Burdansah, Apung SW., dsb. Bukan hanya para sastrawan
senior yang karyanya dimuat dalam “Kujang Putra”, karena terdapat nama-nama
sastrawan muda semisal Dicky Nugraha, De Dian, Widya Pertiwi, dsb. Tidak
ketinggalan, rubrik “Midang” (semacam rubrik “Apa dan Siapa” di H.U. Pikiran
Rakyat) lebih sering memuat profil tokoh seniman atau budayawan Sunda dari
yang tua sampai yang muda, seperti Ajip Rosidi, Edi S. Ekadjati (alm), Euis
Komariah, Acep Zamzam Noor, Yus Wiradiredja, Etty RS, Rika Rafika, Rita Tilla,
Lia Revany, dsb.
Harian Koran
Sunda juga tidak melupakan untuk memuat tulisan seputar keagamaan. Bahkan
untuk halaman agama, di harian Koran Sunda hanya menyediakan lahan untuk
bahasan agama Islam. Berbeda dengan surat kabar
berbahasa Indonesia semisal
H.U. Pikiran Rakyat, yang menyediakan lahan untuk uraian agama-agama
lain (selain Islam) yang diakui di Indonesia . Setiap edisi hari
Jum’at, harian Koran Sunda menghadirkan rubrik “Khutbah Jum’ah”. Selain
hari Jum’at, H. Usep Romli sering menghadirkan tulisan seputar agama Islam.
Berbicara mengenai
tulisan keagamaan, hampir semua pers berbahasa Sunda hanya menyediakan lahan
untuk uraian atau kajian agama Islam, seperti terdapat pada rubrik “Munara
Cahaya” di Majalah Manglé, rubrik “Purnama Alam” di Majalah Cupumanik,
rubrik “Lantéra Haté” di Majalah Sunda Midang, “Ranggeuyan Mutiara” di
KSM Galura. dan sebagainya. Apalagi
di Majalah Bina Da’wah dan Iber, yang memang merupakan majalah
Islam berbahasa Sunda. Sepanjang pengamatan, hanya ada satu media berbahasa
Sunda yang isinya khusus memuat uraian mengenai agama Kristen, yakni Majalah Langlang
Mitra.
Lahirnya harian Koran
Sunda merupakan salah satu upaya untuk mencoba bangkit kembali dari
keterpurukan pers berbahasa Sunda, yang setelah sekian lamanya terpasung di
ruangan gawat darurat. Setelah sekian lama hanya bisa bernostalgia, mengenang
masa-masa kejayaannya. Ada
setitik harapan baru yang kini menjadi motivasi para jurnalis Sunda. Namun, medan yang dilalui harian
Koran Sunda sangat berat, karena harus bersaing di tengah hiruk-pikuknya
pers nasional dan dunia, di tengah perang komunikasi yang semakin meruncing.
Abdullah
Mustapa tercatat sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred) Harian Koran Sunda dari
edisi 31 Maret 2006 sampai dengan 14 Agustus 2006. Selanjutnya, sejak 15
Agustus 2006, Pemred harian Koran Sunda adalah H. Ahmad Saelan,
didampingi oleh Tatang Sumarsono sebagai wakil pemimpin redaksi (Wapemred).
Namun Tatang Sumarsono hanya bertahan sampai dengan 1 November 2006.
Selanjutnya tidak ada lagi Wapemred harian Koran Sunda.
Harian
Koran Sunda berukuran tabloid (1/2 broadsheet).
Tirasnya sebanyak 3.000 Exemplar, dengan harga bandrol Rp 1.500/ exemplar.
Menurut bagian pemasaran, distribusi harian Koran Sunda meliputi wilayah
Kota Bandung sebanyak 50%, yang terbagi dari
Bandung Utara sebanyak 10 %, Bandung Selatan sebanyak 10%, Bandung
Tengah sebanyak 15%, Bandung Timur sebanyak
10%, dan Bandung Barat sebanyak 5%. harian Koran Sunda juga
merambah Wilayah Kabupaten Bandung
sebanyak 15%, Cianjur, Purwakarta, Garut, Tasikmalaya sebanyak 30%, dan
5 % lagi disimpan di tempat layanan umum
serta dibagikan secara cuma-cuma atau gratis.
Sayang sekali, sejak tanggal 17
April 2007, harian Koran Sunda hanya terbit tiga kali dalam seminggu,
yaitu hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Oleh karena itu tidak disebut lagi dengan
“harian”, cukup dengan Koran Sunda. Pada edisi 307, Koran
Sunda memuat bewara (pengumuman) mengenai perubahan frekuensi
penerbitan dari harian menjadi tiga kali dalam seminggu, yaitu:
Patali
sareng sawatara pasualan téhnis sareng dina raraga tatahar kanggo ngaronjatkeun
ajén inajén KORAN SUNDA kapayunna, ti ngawitan dinten Salasa ieu saheulaanan
mah KORAN SUNDA téh mung baris medal saminggu tilu kali, nyaéta dina dinten
Salasa, Kemis, sareng Saptu. Ku kituna, mugia para pelanggan sareng pihak sanés
anu aya patula-patalina sareng KORAN SUNDA janten maphum. Hatur nuhun. Atas
nami Pamingpin Umum KORAN SUNDA (Berkenaan dengan beberapa persoalan
teknis dan dalam rangka mempersiapkan diri untuk meningkatkan kualitas nilai
KORAN SUNDA ke depan, mulai hari Selasa ini untuk sementara KORAN SUNDA hanya
akan terbit tiga kali dalam seminggu, yaitu hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Oleh
karena itu, semoga para pelanggan dan pihak lain yang ada keterikatan dengan
KORAN SUNDA menjadi maphum adanya. Terimakasih. Atas nama Pemimpin Umum KORAN
SUNDA).
Beberapa bulan kemudian, Koran Sunda pun akhirnya
berhenti terbit. Ini sangat menyedihkan. Karena dengan berhentinya harian Koran
Sunda, semangat untuk mengembalikan kejayaan pers Sunda pun akhirnya pudar
kembali. Kemungkinan besar, berhentinya penerbitan Koran Sunda dikarenakan para
pelanggannya yang kurang tertarik dengan media berbahasa Sunda. Mungkin saja
masyarakat menganggap tidak
ada lagi yang bisa dinikmati dengan adanya media berbahasa Sunda. Atau dengan
kata lain, Pers Sunda kurang menarik
perhatian pembeli. Bukankah masyarakat kita sudah terpukau dengan berita yang
serba cepat, yang bisa didapat dari televisi tanpa membayar biaya langganan.
Kalaupun masih ada yang berlangganan koran/ majalah Sunda, lebih cenderung
karena kecintaan mereka terhadap bahasa Sunda, atau hanya menunjukkan
belas-kasihnya.
Tulisan jurnalistik dalam pers Sunda
menjadi tidak bermutu, karena tidak menampakkan kegelisahan. Kalaupun ada
tulisan yang berbau feature, lebih cenderung mengabarkan profil tokoh dengan
segala kesuciannya; keberhasilan para pejabat atau biografi instansi pemerintah
dari yang terbawah sampai yang teratas (Pantau No. 023, Maret 2002). Adapun
tulisan-tulisan yang kritis, tidak nyosok
jero (mendalam), sehingga terkesan hambar. Tentu saja, hal ini disebabkan SDM yang kurang
profesional, berkaitan pula dengan ketidakmampuan pengusaha pers Sunda untuk
membayar gaji yang cukup. Bagaimana mungkin para jurnalis Sunda bisa membuat
tulisan bermutu, sedangkan ia harus berprofesi ganda untuk mencukupi hidupnya;
menjadi montir alat elektronik, makelar, tukang kredit, atau usaha lainnya
(Duduh Durahman, Makalah KIBS 1).
Permasalahan
seperti itu sering dikemukakan para pemikir kita. Selain pada KIBS, pers Sunda sering
diperbincangkan pada Pelatihan Jurnalistik Sunda (1997), Kerja Latihan Wartawan
(2000), Semiloka Pers Daerah (2001). Pesertanya "itu-itu saja",
hampir tidak ada perdebatan sengit. Kalaupun muncul ide-ide bagus, tidak pernah
ada tindak lanjutnya. Setelah diskusi bubar, gagasan pun ikut-ikutan bubar,
sehingga pemikiran tentang pers Sunda hanya semacam seremonial pada acara-acara
resmi. Menurut Dedy Djamaludin
Malik, ketua STIKOM Bandung, ada problem komunikasi yang menyebabkan kemunduran
pers Sunda. Saat ini pers Sunda belum menyentuh kebutuhan masyarakat, melainkan
masih sebatas keinginan redakturnya (Kompas, 16/07/2001). Lantas, apakah
kebutuhan masyarakat itu?
Meminjam
istilah Tempo, sebuah media massa cetak haruslah enak dibaca dan perlu. Demikan
juga pers Sunda. Ketika masyarakat beranggapan bahasa jurnalistik Sunda saat
ini sulit untuk dipahami, terlalu berbelit-belit atau sebatas permainan kata
belaka, maka antusias untuk membaca menjadi menurun. Apalagi jika kata
"tidak perlu" ikut memperburuk kondisi tersebut. Ketika harga BBM naik misalnya, pers
Sunda ikut-ikutan latah dengan memuat berita yang sudah dikikis habis oleh pers
berbahasa Indonesia .
Mungkin di tatar Sunda masih ada pekampungan "anti" BBM dan listrik,
menggunakan kayu bakar untuk memasak, memakai minyak kaliki untuk penerangan,
mengapa berita ini tidak pernah diungkap? Jawabannya kembali kepada
permasalahan lama : SDM dan kesejahteraan.
Pada tahun 2012, muncul media online bahasa Sunda yang
bernama SundaNews.Com. Media online ini dirintis oleh penulis, bersama dua
orang sahabat Dadan Sutisna dan Sufyan Muhamad. Acara launching SundaNews.Com
berlangsung pada hari Sabtu, 11 Agustus
2012, di Hotel Grand Preanger (Ruang
Mahabharata), Jalan Asia Afrika No. 81 Bandung.
Penutup
Mengamati
kompleksnya permasalahan bahasa Sunda, Sastra Sunda, dan pers Sunda, timbullah
pertanyaan dalam benak penulis: apakah pers Sunda masih dapat diselamatkan? Sulit
untuk membayangkan kondisinya 30 tahun yang akan datang. Ketika orang-orang tua
yang dengan kesetiaannya memajang koran/ majalah Sunda sebagai kebanggaan sudah
meninggal, siapa pelanggan berikutnya? Dan ketika para redaktur kahot sudah
pensiun, siapa yang akan mengelola pers Sunda?
Penulis
kemudian berpikir, bahwa regenerasi merupakan bagian terpenting untuk
mempertahankan kehidupan bahasa, sastra, dan pers Sunda yang lebih panjang.
Membikin regenerasi pers Sunda bukan pemikiran baru, namun sampai saat ini
pemikiran tersebut hanya menjadi penghuni kepala orang-orang yang suka
berpikir. Tidak ada upaya yang lebih konkrit bagaimana menciptakan generasi
baru itu.
Di Jawa
Barat, terdapat ratusan atau bahkan ribuan mahasiswa yang mempelajari
jurnalisme. Berapakah di antara mereka yang mengetahui sejarah pers Sunda, atau
bahkan tertantang untuk menggeluti pers Sunda? Tentu jumlahnya sangat sedikit.
Kalaupun ada mahasiswa yang mengadakan job training di perumahan pers
Sunda, hampir tidak ada yang tertarik untuk terus menekuninya. Mereka hanya
menganggap pers Sunda sebagai tempat bereksperimen. Bahkan selama ini para
pengelola pers Sunda lebih banyak dari kalangan pengarang yang beralih profesi
menjadi wartawan.
Kalau
pers Sunda dapat merangkul mereka, menumbuhkan kecintaannya, ada beberapa
manfaat yang bisa diperoleh. Pertama, mereka lebih memahami kehendak generasi
muda umumnya, sehingga pers Sunda mengetahui medan yang akan ditempuhnya kelak. Kedua,
idealisme mereka cukup tinggi, sehingga --untuk sementara-- kesejahteraan bisa
menjadi nomor dua. Ketiga, penguasaan mereka terhadap bidang lain yang
berhubungan dengan pers, misalnya dunia cyber, desain grafis dan
sebagainya, dapat membantu kemajuan pers Sunda di masa yang akan datang.
Tentu
saja bukan berarti pers Sunda harus diformat sesuai keinginan generasi muda.
Namun upaya menarik perhatian mereka, misalnya dengan mengadakan Lomba Menulis
Artikel Pers Sunda, pengenalan pers Sunda di perguruan tinggi dan sekolah,
dapat memberikan suasana baru. Mereka juga seharusnya diberi keluasaan untuk
menggunakan bahasa Sunda yang demokratis, tidak dikekang dengan aturan itu-ini,
tidak dibebani dengan tumpukan undak-usuk. Biarlah mereka menggunakan bahasa
Sunda apa adanya, walaupun tidak "nyunda", daripada tidak sama sekali.
Memang orang-orang yang arogan dan menganggap bahasa Sunda mereka paling benar,
akan menganggap upaya ini sebagai awal perusakan bahasa Sunda. Namun, agar
generasi muda kembali tertarik terhadap bahasa Sunda, diperlukan sebuah proses,
dan tentu kita harus lebih memahami dunia mereka. Untuk itu, wahai generasi
muda, gunakanlah bahasa Sunda yang kalian pahami, kelak kalian akan mengetahui
bahasa Sunda yang baik dan benar, sebagaimana kalian memahami bahasa-bahasa
lainnya.
Bagaimanapun
juga, berbagai upaya dan usaha yang gigih telah dilakukan oleh para tokoh,
untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa Sunda. Maka Bahasa Sunda bukan
sekadar bahasa yang hanya bisa dibikin bahasa lelucon. Bahasa Sunda bisa
menjadi bahasa sastra, bahasa jurnalistik, bahasa dakwah, dan bahasa berbagai
keilmuan.***
Bibliogrfafi
Ajip
Rosidi (ed). 2000. Ensiklopedi Sunda,
Alam, Manusia, dan Budaya, Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya.
BPPP
Jawa Barat. 1987. Derap Pembangunan Pers
Nasional di Jawa Barat. Bandung :
Grafitri
Mikihiro
Moriyama. 2005. Semangat Baru;
Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta : Kepustakaan
Populer Gramedia.
Rohiman
Notowidagdo. 1996. Ilmu Budaya Dasar berdasarkan al-Qur-an
dan
Hadits. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Yayat Sudaryat. 2003. Pedaran Basa Sunda. Bandung : Geger Sunten.
[1] http://www.tribunnews.com/nasional/2014/10/02/popong-dihujat-dan-didukung-di-twitter
(diakses 20 Oktober 2014)
[3] dalam buku Antologi Puisi Sunda
Mutahir, Durma Kangka, Bandung ,
1980
[4] pada acara Dialog Sastra Sunda Taun 1999 di Paguyuban Pasundan
[5] Konferensi Internasional Budaya Sunda pertama, tahun 2000
Komentar