Oleh M SUDAMA DIPAWIKARTA
FILM iklan yang berkenaan dengan obat-obatan tidak dapat disensorkan langsung
ke Lembaga Sensor Film (LSF), tanpa mendapat persetujuan dari Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM). Dalam hal ini, iklan obat harus diteliti dan dinilai
terlebih dahulu oleh tim ahli BPOM sebelum iklan tersebut diproduksi. Setelah
konsep iklannya mendapat persetujuan dari BPOM, maka iklan obat dipersilahkan
untuk diproduksi, dan selanjutnya dapat disensorkan ke LSF.
Obat yang dapat diiklankan
secara bebas ke masyarakat melalui media cetak dan elektronik hanyalah obat yang
termasuk dalam daftar obat bebas dan obat bebas terbatas. Sementara obat yang
termasuk dalam daftar ”G” atau obat yang hanya dapat diserahkan dengan resep
dokter, hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media
cetak ilmiah farmasi.
Iklan obat adalah setiap
keterangan atau pernyataan mengenai obat dalam bentuk gambar, tulisan, atau
bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan/ atau
perdagangan obat (Pasal 1, Poin 2, Peraturan BPOM RI No. 8, Tahun 2017). Iklan
obat memang penting untuk mendapatkan pengawasan yang ketat, karena
dikhawatirkan dapat menyesatkan masyarakat dalam mengkonsumsi dan atau
penggunaannya. Dampak negatif informasi yang menyesatkan dari iklan obat, akibatnya
dapat secara langsung maupun tidak langsung dirasakan. Hal terburuk bisa terjadi keracunan hingga membahayakan jiwa ketika keliru mengkonsumsi dan atau menggunakan obat.
Pada tahun-tahun sebelumnya, BPOM mencatat cukup
banyak pelanggaran iklan obat, terutama pada iklan Obat Tradisional (OT).
Umumnya jenis pelanggaran adalah klaim yang berlebihan atas obat yang
diiklankan. Tentunya hal ini sangat merugikan konsumen. Untuk itulah, BPOM sangat teliti dalam meloloskan
iklan obat, dengan melibatkan berbagai kalangan dan berbagai lembaga untuk
pengawasan obat, yang diantaranya dengan LSF.
Tim ahli yang memeriksa, meneliti, dan menilai
konsep iklan obat (termasuk obat tradisional dan suplemen makanan) terdiri dari
farmakolog; klinisi; ahli bidang farmasi; psikolog; perwakilan dari Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI); perwakilan dari Lembaga Sensor Film (LSF);
perwakilan dari Badan Pengawasan Perusahaan Periklanan Indonesia; Kepala Biro
Hubungan Masyarakat dan Dukungan Strategis Pimpinan; Kepala Pusat Data dan
Informasi Obat dan Makanan; Direktur Registrasi Obat; Direktur Registrasi Obat
Tradisional; Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik; Direktur Standardisasi Obat
Narkotika, Psikotropika, Prekusor, dan Zat Adiktif; Kasubdit Pengawasan Ekspor
Impor Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor; Kasubdit Pengawasan Obat,
narkotika, Psikotropika, dan Prekusor;
Kasie Pengawasan Mutu Obat, narkotika, Psikotropika, dan Prekusor; dan
Kasie Pengawasan Promosi dan Informasi Obat, narkotika, Psikotropika,
dan Prekusor.
Penilaian iklan obat dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dari dari informasi yang tidak obyektif dan menyesatkan dalam iklan
obat. Tentunya selaras dengan fungsi LSF sebagai perlindungan terhadap
masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film
dan iklan film yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman
Indonesia, yang diantaranya tujuan perfilman itu adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa. Iklan obat yang diproduksi, khususnya untuk ditayangkan di media
elektronik, biasanya dibuat dengan kandungan struktur dramatik sedemikian rupa untuk
meyakinkan iklan obat yang ditawarkan kepada masyarakat penonton.
Konsep iklan obat yang dibuat harus memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan oleh
BPOM. Adapun kriteria yang dimaksud, sebagaimana terlampir dalam Peraturan
Kepala BPOM No. 8, Tahun 2017, adalah sebagai berikut:
- Obyektif:
Memberikan informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak
boleh menyimpang dari sifat kemanfaatan dan keamanan obat sesuai dengan
penandaan terakhir yang telah disetujui.
- Lengkap: Harus mencantumkan informasi lengkap sesuai
persyaratan dalam pedoman ini.
- Tidak Menyesatkan: Informasi obat yang berkaitan dengan
hal-hal seperti sifat, harga, bahan, mutu, komposisi, indikasi, atau
keamanan obat tidak menimbulkan gambaran/persepsi yang menyesatkan.
Dalam pembuatan iklan obat,
ada 25 macam larangan informasi yang harus dihindari agar konsep iklan dapat
diloloskan. Larangan informasi yang dimaksudkan sebagaimana terlampir dalam
Peraturan Kepala BPOM No. 8, Tahun 2017 adalah sebagai berikut:
1. Iklan tidak boleh memuat pernyataan
anjuran atau rekomendasi Obat dari tenaga kesehatan, petugas laboratorium,
instansi pemerintah, organisasi profesi kesehatan, tokoh agama, guru, atau
pejabat publik.
2. Iklan tidak boleh memberikan pernyataan
garansi tentang khasiat/ keamanan Obat, seperti penggunaan kata “pasti”.
3. Iklan tidak boleh memberikan pernyataan
superlatif, seperti Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti
“paling”, “nomor satu”, ”top”,
“tepat”, atau kata-kata berawalan “ter“, dan/ atau
yang bermakna sama.
4. Iklan tidak boleh menstigmatisasi,
menghina, merendahkan, atau melemahkan orang atau sekelompok orang.
5. Klaim penghargaan dan sejenisnya yang
diperoleh tidak boleh digunakan dalam iklan obat, meskipun didukung pernyataan
tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang lain.
6. Iklan tidak boleh memberikan pernyataan
komparatif terhadap Obat atau produk lain kecuali klaim tersebut bermanfaat
bagi konsumen, tidak menyesatkan serta tidak mengesankan Obat tersebut lebih
baik dari Obat atau produk lain.
7. Iklan tidak boleh mencantumkan informasi
yang dapat mendorong penggunaan berlebihan dan penggunaan terus menerus seperti
penggunaan kata “selalu”, “rutin” dan kata-kata lain yang bermakna sama.
8. Iklan tidak boleh mencantumkan klaim
“aman”, “tidak berbahaya”, “bebas/ tidak ada efek samping”, “maksimal”, dan/ atau
klaim lainnya yang semakna tanpa disertai keterangan yang memadai.
9. Iklan tidak boleh memberi informasi dan/ atau
kesan bahwa penggunaan Obat dapat menimbulkan energi, kebugaran, vitalitas,
fit, prima, pertumbuhan, kecerdasan/kepintaran/prestasi, mengatasi stress,
meningkatkan/mengembalikan mood, peningkatan kemampuan seks, keharmonisan rumah
tangga, dan/atau klaim lainnya yang semakna.
10. Iklan tidak boleh menghubungkan dengan
ibadah atau kegiatan keagamaan lainnya.
11. Iklan tidak boleh terkesan preventif atau
menganjurkan untuk menggunakan, mengkonsumsi Obat sebelum melakukan
aktivitasnya, sebelum sakit, atau untuk pencegahan penyakit terkecuali sesuai
dengan indikasi yang disetujui.
12. Iklan obat tidak boleh mengklaim dan/atau
menggambarkan sifat yang dapat mengarah
pada penggunaan obat seperti produk pangan, misalnya klaim segar, nikmat, lezat,
dan enak.
13. Iklan tidak boleh mengeksploitasi
takhayul, menyalahgunakan kepercayaan, dan kekurangtahuan masyarakat.
14. Iklan tidak boleh mendorong atau
membiarkan bentuk diskriminasi apa pun termasuk yang berdasarkan etnis,
kebangsaan, agama, gender, usia, penyandang cacat, atau orientasi seksual.
15. Iklan tidak boleh menyalahgunakan
istilah-istilah ilmiah, statistik dan grafik untuk menyesatkan masyarakat atau
menciptakan kesan yang berlebihan dan tak bermakna.
16. Iklan tidak boleh mencantumkan informasi
bahwa Obat tidak mengandung bahan tertentu yang dapat menyesatkan, tidak
relevan, dan/atau tidak bermanfaat bagi konsumen.
17. Iklan obat tidak boleh menjanjikan
pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa yang dikaitkan dengan penjualan
obat.
18. Tanda bintang (*) pada iklan tidak boleh
digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan, atau membohongi
khalayak tentang kualitas, atau harga, atau apapun tentang suatu obat.
19. Iklan tidak boleh mencantumkan
persyaratan-persyaratan yang sudah seharusnya dipenuhi (misal CPOB, teruji
klinis).
20. Iklan tidak boleh mencantumkan
persyaratan-persyaratan yang tidak ada hubungannya dengan mutu obat (misal
ISO).
21. Iklan tidak boleh menonjolkan sebagian
kandungan tertentu dalam obat sebagai keunggulan Obat.
22. Iklan tidak boleh mencantumkan klaim
dan/atau visualisasi yang mengesankan obat seperti obat herbal/tradisional.
23. Iklan tidak boleh ditujukan kepada
anak-anak langsung dan/atau menampilkan anak-anak tanpa adanya supervisi orang
dewasa.
24. Iklan tidak boleh mempromosikan efek
samping obat. Efek samping obat dapat dicantumkan sebagai informasi namun tidak
untuk diangkat sebagai kelebihan dari produk yang diiklankan.
25. Iklan tidak boleh mencantumkan nama sarana
yang tidak memiliki izin apotik, izin toko obat, atau sarana lainnya yang tidak
memiliki penanggung jawab tenaga kefarmasian.
Dengan adanya MoU antara BPOM dan LSF tentang
penilaian iklan obat sebelum diproduksi, diharapkan dapat lebih mempermudah
para pembuat iklan obat. Sebab, “penyensoran” pra produksi di BPOM meliputu
naskah skenario (termasuk story board) iklan obat yang akan diproduksi. Dengan
begitu, dapat dinilai pula tema, dialog atau monolog, seting lokasi, dan
rancangan adegan. Dalam hal ini, LSF tetap berpegang pada UU No. 33 Tahun 2009,
Tentang Perfilman, terutama Pasal 6, mengenai pelarangan kandungan dalam film,
yaitu materi-materi film tidak boleh/ dilarang:
a. mendorong khalayak umum melakukan
kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya;
b. menonjolkan pornografi;
c. memprovokasi terjadinya pertentangan
antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;
d. menistakan, melecehkan, dan/ atau menodai
nilai-nilai agama;
e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan
melawan hukum; dan/atau
f. merendahkan harkat dan martabat manusia.
Komentar