Oleh DHIPA GALUH PURBA
(Dimuat di Harian Tribun Jabar, 27 Februari 2014)
UNDANGAN itu ditujukan kepada para penulis pemula yang sedang bersemangat untuk belajar mengarang. Tidak berupa undangan resmi yang dicetak dengan desain artistik. Tidak pula melalui SMS atau BBM, berhubung tahun 1970-an alat telekomunikasi masih sangat terbatas.
Sebut saja undangan dari hati yang begitu peduli akan pentingnya regenerasi kepengarangan. Undangan itu datang dari seorang sastrawati yang karyanya sudah membumi di jagat sastra Sunda: Aam Amilia.
Di tengah kesibukannya sebagai penulis dan redaktur surat kabar, tidak serta merta mengikis rasa peduli yang tertanam dalam dirinya. Aam masih bisa meluangkan waktu untuk membimbing para penulis pemula.
Membantu untuk lebih maju, dan terhindar dari kebuntuan. Itulah yang dilakukan Aam, mengundang para pengarang menghadap meja kerjanya. Lalu membimbing, mengarahkan, membina, dan menumbuhkan semangat para pengarang muda untuk melahirkan karya yang berkualitas. Tanpa ada rasa ketakutan untuk tersaingi. Tanpa menyodorkan tarif pula.
Aam pernah menjadi anggota redaksi Majalah Mangle (1966-1968), redaktur majalah Hanjuang (1968-1970), s.k. Sipatahunan dan pembantu tetap Ming¬guan Pelajar (1970-1971), dan pada tahun 1980 menjadi redaktur HU. Pikiran Rakyat hingga pensiun. Aam selalu mengamati setiap kiriman tulisan yang masuk ke meja redaksi.
Di situlah Aam membaca dan menganalisa satu persatu tulisan. Ada potensi tersembunyi yang terbaca oleh Aam dari setiap kata yang ditorehkan para penulis. Ada karangan yang cara menulisnya acak-acakan, tetapi idenya cemerlang. Ada yang sudah cukup rapi, tetapi masih lemah dalam mengatur konflik. Atau berbagai kelemahan lainnya yang sangat membutuhkan masukan atau bimbingan secara langsung. Demikian sebagaimana dipaparkan Aam.
Biasanya Aam mengajak pengarang yang bersangkutan untuk berdiskusi dengan santai. Mengomentari karya pengarang tersebut, memberikan saran atau masukan, dan mengembalikan karangan tersebut untuk diperbaiki terlebih dahulu.
Jika sudah direvisi, barulah karangan itu bisa dimuat di media cetak. Mengembalikan karya disertai saran dan masukan, agar karyanya diperbaiki terlebih dahulu, untuk kemudian dikirimkan kembali. Ada yang sekali revisi sudah layak muat, dan ada pula yang harus direvisi berkali-kali.
Tidak cukup di meja redaksi, Aam membuka pintu rumahnya bagi para pengarang yang benar-benar ingin menimba ilmu kepenulisan. Dibantu oleh suaminya, Abdullah Mustappa, Aam semakin gigih menularkan ilmunya kepada para penulis muda. Tidak perlu lagi undangan. Calon pengarang, laki-laki dan perempuan, banyak berdatangan bak memasuki rumah ibunya sendiri. Dari belajar mengarang sampai ada pula yang menumpang makan.
Selain upaya pendekatan personal, Aam juga aktif membina para pengarang pemula melalui ”Paguron Ngarang” yang berdiri dibawah naungan Caraka Sundanologi, bersama para sastrawan lainnya seperti Adang S, Abdulah Mustappa, Hidayat Susanto (alm), Eddy D. Iskandar, dan Duduh Durahman (alm). ”Paguron Ngarang” lainnya adalah Durmakangka, HPPM (Himpunan Penulis Pengarang Muda) Nurani, dan Panglawungan 13 yang berdiri di Majalah Mangle tahun 2013 atas inisiatif Karno Kartadibrata dan Abdulah Mustappa.
Metode yang dilakukan Aam terbukti sangat ampuh. Berkat kegigihannya dalam membina para pengarang pemula, lahirlah nama-nama pengarang terkemuka. Sebut saja misalnya Holisoh ME, Tatang Sumarsono, Hermawan Aksan, Yus R. Ismail, Rosyid E. Abby, Usman Supendi, S. Nataprawira, dan masih banyak lagi.
Para pengarang tersebut lahir berkat adanya campur-tangan Aam dalam membina sebuah regenerasi kepenulisan. Tidak berlebihan jika Aam mendapat julukan Ibu Sastrawan Sunda
Aam Amilia lahir di Bandung, 21 Desember 1946. Mulai menulis sejak tahun 1961. Ratusan cerpen berbahasa Sunda dan Indonesia telah ditulisnya. 50 judul di antaranya terkumpul dalam antologi Panggung Wayang (1992).
Selain itu, Aam juga menulis novel Samagaha (Gerhana, 1969), Asmara Ngambah Sagara (Asmara Mengarungi Lautan, 1970), Lalangsé (Tirai, 1970), Puputon (Buah Hati, 1979), Buron (1980), Sanggeus Halimun Peuray (Setelah Kabut Menyingkir), Kalajengking (1980), Tempat Balabuh (Tempat Berlabuh, 1994), Sekar Karaton (Kembang Keraton, 1994), Jago-jago Bandung Selatan (1970, cerita anak-anak), Karena Kasih Sayangmu (1971, cerita remaja), Di Ujung Bayang-bayang (1989), dan lain-lain.
Cerpen Sunda “Halimun Peuray” (dimuat dalam majalah Manglé, 1970), diangkat menjadi film layar lebar oleh DFN (1980). Dari 25 buku yang ditulis Aam, diantaranya ada pula buku biografi tokoh-tokoh ternama.
Pada tahun 1967, Aam mendapat Piagam Moh. Ambri dari Paguyuban Pengarang Sastra Sunda (PPSS) untuk cerita pendeknya ”Di Sindulang Aya Kembang”. Aam juga pernah meraih Juara Pertama dalam sayembara mengarang IKAPI Jabar (1968), pada katagori bacaan dewasa berbahasa Sunda. Demikian sebagaimana yang dipaparkan dalam Ensiklopedi Sunda (Pustaka Jaya, 2000).
Atas produktivitas dan prestasinya dalam menulis, serta kegigihannya dalam membina regenerasi pengarang, maka sudah selayaknya Aam Amilia yang kali ini dikirimi undangan untuk mendapatkan Anugerah IKAPI Jabar pada Pesta Buku Bandung 2014.***
Dhipa Galuh Purba, Juri Anugerah IKAPI Jabar 2014, mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Komentar