Bahasan: Tentang Bahasa Sunda



Oleh DHIPA GALUH PURBA

Pengertian Bahasa Sunda
Menurut Yayat Sudaryat, bahasa Sunda adalah bahasa ibu (mother tonge; firs language) orang Sunda, yang masih digunakan oleh masyarakatnya, baik di tatar Sunda maupun di luar tatar Sunda, seperti Madura, Majenang, Dayeuhluhur, Manggung (Jawa Tengah), dan di daerah transmigrasi asal Jawa Barat, seperti Lampung dan Bengkulu (2003: 10). Sunda merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia, di samping suku-suku lainnya, seperti Batak, Dayak, Ambon, dsb. Tempat tinggal asli suku Sunda berada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten.

Sebaliknya Mikihiro Moriyama berpendapat bahwa bahasa Sunda umumnya dipakai di propinsi Jawa Barat. Namun, di di propinsi Jawa Barat juga ditemukan penduduk yang berbahasa Jawa, yaitu di bagian utara daerah Banten dan Pantai Utara, tepatnya sebelah barat Karawang dan Indramayu. Selain itu, bahasa Sunda pun digunakan di pinggiran Jakarta, di wilayah propinsi Jawa Barat dan Banten, seperti Bekasi dan Tanggerang (2005: 11). Dalam Ensiklopedi Sunda dipaparkan bahwa bahasaSunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan kehidupan mereka (2000: 620)

Berkenaan dengan kata ”Sunda”, G.P. Roufaer memaparkan bahwa kata ”Sunda” berasal dari bahasa Hindu (India), sama halnya dengan nama tempat-tempat lain di Indonesia, seperti Bali, Banten, Bima, madura, Sumatera, dan Sumbawa (dalam Yayat, 2003: 10).

Jika menelusuri asal-muasal kata ”Sunda” secara lebih jauh, maka dapat ditemukan dalam bahasa Sansakerta, Kawi, Jawa, dan Sunda Buhun. Di dalam bahasa Sansakerta, kata ”Sunda” berasal dari Sund, yang artinya terang benderang. Menurut hipotesis Prof. Berg, kata ”Sunda” berasal dari cuddha,  yang artinya putih, yaitu warna Gunung Sunda dipandang dari kejauhan, yang diapit oleh Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu.

Di dalam bahasa Kawi, kata ”Sunda” artinya air, bisa juga diartikan menumpuk, menyusun, atau waspada. Di dalam bahasa Jawa, kata ”Sunda” artinya tempat penyimpanan. Sedangkan di dalam bahasa Sunda buhun, kata ”Sunda” berasal dari sonda, yang artinya bagus, unggul, senang, dan puas. Bisa juga berasal dari sundara, yang artinya cantik atau bisa juga tampan. Selain itu, kata ”Sunda” pun bisa diartikan indah (Yayat, 2003: 10-11).

Sejarah Bahasa Sunda
Bahasa Sunda sudah digunakan sejak jaman kerajaan Salakanagara (130-362 M). Pada saat itu, bahasa Sunda digunakan sebagai bahasa kerajaan, dan bertahan sampai pada jaman kerajaan Sunda, Galuh, dan Pajajaran (Yayat, 2003: 13).

Sedangkan dalam Ensiklopedi Sunda dijelaskan bahwa tidak diketahui kapan bahasa Sunda lahir, tetapi bukti tertulis tertua berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14 (2000: 620)

Prasasti yang dimaksud adalah yang ditemukan di Kawali, Ciamis, yang diperkirakan dibuat pada zaman pemerintahan Wastukancana (1397-1475). Prasasti tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda (kuno) pada batu andesit berbentuk segi empat tidak beraturan, tersimpan melintang dari arah utara ke selatan, yang berbunyi: nihan tapak wa-/ lar nu siya mulia tapa (k) i/ na parbu raja wastu/ manadeg di kuta kawa/ li nu mahayu na kadatuan/ surawisesa nu marigi sa/ kulilin dayoh nu najur salaka/ desa aya nu pa (n) dori pakena/ gawe rahayu pakon hobol ja/ ya di buana. Jika bunyi prasasti tersebut terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya: Inilah tanda be/ kas beliau yang mulia/ prabu raja wastu/ yang memerintah di kota kawa/ li yang memperindah keraton/ surawisesa, yang membuat parit/ sekeliling ibu kota yang memakmurkan seluruh/ desa semoga ada penerus yang melaksanakan/ berbuat kebajikan agar lama jaya di buana. Jelas, suatu pesan dan harapan leluhur Sunda yang begitu mulia (Pikiran Rakyat/20/05/06).

Dapat dipastikan bahwa bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda, jauh sebelum masa kerajaan Sunda Galuh yang dipimpin Wastukancana. Mungkin bahasa Kw’un Lun yang disebut orang China sebagai bahasa percakapan di Jawa Barat abad ke-10 adalah bahasa Sunda Kuno.

Bukti penggunaan bahasa Sunda (kuno) banyak ditemukan dalam bentuk tulisan pada daun lontar, enau, kelapa, dan nipah (abad ke-15 sampai dengan 18). Bahasa Sunda pada masa itu banyak dipengaruhi struktur bahasa India dan Sansakerta. Namun sejak abad ke-16, ketika orang Sunda banyak yang menganut agama Islam, maka kosakata bahasa Arab pun mewarnai bahasa Sunda.

Selanjutnya sejak akhir abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19, bahasa Sunda banyak dipengaruhi oleh bahasa Jawa, sebagai dampak pengaruh Mataram yang memasuki wilayah Sunda. Pada masa tersebut, bahasa Sunda terdesak, karena bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi di lingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa (undak-usuk basa) dan kosakata Jawa masuk ke dalam bahasa Sunda, serta mengikuti pola bahasa Jawa (unggah-ungguh basa), sehingga terjadi stratifikasi sosial secara nyata.

Pada akhir abad ke-19 mulai masuk pengaruh bahasa Belanda, baik dalam hal kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara latin, sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi.Selain itu, bahasa Melayu pun merasuk ke dalam bahasa Sunda, terutama setelah bahasa Melayu dinyatakan sebagai bahasa komunikasi antar etnis dan bahasa persatuan, dengan nama bahasa Indonesia pada tahun 1928, dalam peristiwa Sumpah Pemuda (2000: 620-621).

Mikihiro memaparkan bahwa pada mulanya bahasa Sunda masih diragukan eksistensinya; apakah bahasa Sunda itu merupakan bahasa atau dialek? Dalam A Comparative Vocabulary of the Malayu, Javaan, Madurese, Bali, and Lampung Languages, karya Raffles (Letnan Gubernur Jawa), bahasa Sunda tidak diberi tempat tersendiri dalam senarai kata-kata, malah dimasukan ke dalam kolom ”Javaan”. Berarti bahasa Sunda hanya dianggap bagian dari bahasa Jawa. Rafles terlalu rendah memperkirakan jumlah penutur bahasa Sunda.

Boleh jadi, ia hanya menghitung penutur bahasa Jawa pegunungan (Bergjavaans) di wilayah-wilayang pegunungan (highland) dan tidak memperhitungkan para penutur bahasa Sunda halus atau Jaware yang tinggal di dataran tinggi (upland plains). Selanjutnya Andries de Wilde, seorang Belanda penguaha perkebunan kopi di Sukabumi, menerbitkan studi etnografi tentang daerah Priangan pada tahun 1829.

Andries menganggap bahasa Sunda sebagai bahasa tersendiri, atau berbeda dengan bahasa Jawa dan Melayu. Pada tahun 1841, bahasa Sunda baru diakui secara resmi, dengan ditandai penerbitan kamus bahasa Sunda yang pertama: De Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek (Kamus Bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, serta disusun oleh Roorda, seorang sarjana bahasa-bahasa Timur yang paling berwibawa (2005: 20-23).   


Pustaka

Ajip Rosidi, dkk. 2000. Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya, Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Mikihiro Moriyama. 2005. Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Yayat Sudaryat. 2003. Pedaran Basa Sunda. Bandung: Geger Sunten.

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post