Dari Senang Tidak Senang ke Baik Tidak Baik



Oleh Agus Ahmad Safei

BANGKAI. Alangkah tidak mengenakkannya satu kata yang bernama bangkai ini. Ditilik dari sudut apa pun, bangkai hanya layak dibenamkan ke dasar bumi. Dalam pengertian apa pun—kualitatif maupun kuantitatif, hakiki maupun metafor—kata bangkai sama sekali tidak ada enaknya sama sekali.

Coba, Adolf Hitler yang gagah perkasa itu, ketika ia mengambil keputusan untuk menembak jidatnya sendiri dan kemudian karenanya ia menjadi bangkai di pelukan Eva Braun, ia hanya layak disembunyikan di dasar bumi. Mana sudi manusia mencium baunya.

Atau sebut sederet nama lain. Ketika mereka sudah menjadi bangkai, tak seorang pun sudi untuk mendekatinya, atau apalagi menciuminya—hatta orang-orang yang mencintainya sekalipun. Apalagi kalau semasa hidupnya punya kegemaran membikin susah orang lain. Bangkainya disumpahserapahi dan namanya menjadi pembuangan ludah masa depan orang-orang sesudahnya. Alangkah malangnya.

Diitilik dari sudut pengertian leksikal, makna bangkai tidak lain adalah tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi, baik karena sebab keracunan, ditikam belati, jatuh ke jurang, digigit ular, disrempet motor, dibelit keruwetan hidup yang tidak tertanggungkan, atau karena sebab-sebab lain yang musykil dijelaskan satu persatu.

Adapun bila ditinjau dari sudut pengertian yang lebih kualitatif, maka yang namanya bangkai adalah tidak sekedar tubuh yang sudah ditinggalkan nyawanya saja, melainkan bahkan tubuh yang masih  ditunggui nyawanya, namun tidak berfungsi sebagaimana seharusnya ia berfungsi.

Sangat boleh jadi, 75 persen  waktu kita, kita jalani sebagai bangkai. Manusia hidup adalah manusia yang menjalankan segala sesuatunya berdasarkan kehendak inti subyektifnya melalui pertimbangan  yang matang atas realitas kosmos yang ada.

Coba tengok, anak-anak SMA yang kebut-kebutan di jalanan itu, apakah mereka melakukan hal itu  berdasarkan kehendak inti subyektif hati nuraninya? Tidak. Mereka melakukan itu karena takhayul-takhayul gengsi, mode, trend, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat dehumanisasi.

Atau coba tengok ibu-ibu kita yang berbelanja di supermarket, mal, pasaraya, maupun di pusat-pusat perbelanjaan lainnya, yang tangannya meraih apa saja untuk dibeli. Apakah ibu-ibu kita itu melakukan hal itu benar-benar didorong oleh pertimbangan atas apa yang mereka butuhkan? Apakah barang-barang itu mereka beli karena mereka benar-benar membutuhkannya? Pada dasarnya tidak. Mereka melakukan hal itu lebih banyak didorong oleh tahayul-tahayul iklan dan gaya hidup konsumtif.

Marilah kita tengok pula mahasiswa-mahasiswa kita itu. Apakah mereka memilih fakultas dan jurusan yang dimasukinya itu berdasarkan pembacaan atas realitas kosmos yang ada dan kemaslahatan? Tidakkah banyak dari mereka yang memilih jurusan ini itu lebih karena alasan gengsi, ikut teman, atau alasan-alasan lain  yang tidak timbul dari kehendak inti subyektifnya sendiri?

Maka, apakah mereka masih bisa disebut sebagai manusia hidup? Pada dasarnya, mereka adalah bangkai.

Betapa banyaknya waktu kita yang terbuang untuk melakukan sesuatu semata atas pertimbangan senang-tidak senang, enak-tidak enak, dan tidak atas baik-tidak baik atau maslahat-tidak maslahat. Betapa kita ini adalah manusia-manusia bayi, yang hanya bisa menangis ketika mendapat kepedihan dan tertawa ketika mendapatkan kesenangan. Mari kita hitung sendiri apa-apa yang kita lakukan selama ini: banyak mana antara yang dilakukan atas pertimbangan  enak-tidak enak dengan pertimbangan baik-tidak baik.

Alkisah, suatu ketika datanglah seorang anak muda yang hidup di penghujung abad 20 kepada seorang kiai untuk bertanya suatu hal. Pak Kiai, begitu anak muda milenium itu memulai pembicaraannya, apakah Pak Kiai senang dengan perempuan cantik?

 Dengan senyum dikulum Kiai kita menjawab; Nak, lelaki mana  yang tidak senang dengan perempuan, apalagi jika perempuan itu cantik macam Madona. Sebagai lelaki, sekalipun  sudah berusia di ujung senja, tak ada alasan bagi saya untuk tidak menyukai perempuan. Bukankah itu sudah menjadi kecenderungan alam?

Baik, Pak Kiai, kata anak muda itu lagi. Apakah Pak Kiai juga senang dengan minum-minuman keras, putau atau bahkan inex? Lagi-lagi, dengan suara bagai seorang begawan, kiai kita itu menjawab; Nak, pada dasarnya, manusia sangat menyukai apa pun yang  menyenangkannya. Itu sudah kodrat alam, termasuk minum arak atau menenggak ekstasi yang bisa membawa peminumnya ke alam mimpi nan elok.

Tapi, nak, saya tidak melakukan  sesuatu atas dasar enak-tidak enak atau senang-tidak senang. Meminum arak memang enak, bermain perempuan memang menggairahkan. Dan saya melakukan sesuatu tidak karena senang atau tidak senang, melainkan karena menurut pertimbangan akal, hati, dan keimanan saya baik atau tidak baik.

Maka, saya tidak main perempuan karena itu tidak baik. Saya tidak meminum minuman keras karena itu tidak baik. Saya juga tidak menenggak ekstasi, putau, shabu-shabu, inex dan sebangsanya karena itu juga tidak baik.

Maka anak muda itu pun tercengang, takjub dengan logika kebenaran yang amat bersahaja yang dipertunjukkan Pak Kiai.

Ala kulli hal, kini jelas sudah semuanya, betapa amat seringnya kita melakukan sesuatu hal tidak atas dasar baik atau tidak baik, melainkan lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan senang tidak senang atau enak tidak enak.

Maka cukup sudah segala alasan bagi kita untuk menudingkan telunjuk ke dahi  kita sendiri, bahwa selama ini ternyata kita tak lebih dari sekadar bangkai-bangkai berjalan, yang belum beranjak jua menjadi manusia hidup yang perilakunya dikendalikan oleh kehendak hakiki nurani kita.

Maka sebuah pertanyaan retoris pun Tuhan ajukan:   Fa ayna tadzhabun? Ke arah manakah wajahmu hendak engkau hadapkan? Semoga bulan Rayagung  yang agung ini bisa kita manfaatkan untuk memulai belajar menjadi manusia hidup.***


0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post