Oleh DHIPA GALUH PURBA
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183).
SUATU hari di Bulan Ramadhan tahun 2007, saya menerima sepucuk undangan dari Masjid Al-Ikhlas, Buahbatu, Bandung.
Sungguh membuat saya kaget, karena dalam undangan tersebut tercantum nama “Ustad Drs. Dhipa Galuh Purba”. Saya belum merasa pantas menyandang gelar “ustad”, karena ilmu tentang keislaman yang saya pahami belum seberapa.
Saya juga masih harus banyak belajar dan belajar hingga akhirnya suatu saat saya berani menerima sebutan “ustad”. Untuk kali ini, saya belum berani disebut “Ustad”. Selain itu, saya pun tidak memiliki gelar “Drs”.
Undangan dari Masji Al-Ikhlas saya terima dengan gembira, seperti kegembiraan saya menyambut bulan Puasa.
Saya jarang menolak jika mendapat undangan, karena saya senang bersilaturahmi. Namun mengenai tema diskusi yang dicantumkan di undangan “Puasa dalam Tradisi Arab dan Masyarakat Sunda”, saya sudah menjelaskan kepada Kang Ustad Asep Salahudin, bahwa saya tidak sanggup membahas tradisi puasa di Arab.
Masalahnya saya belum pernah ke Arab. Kurang apdol kalau saya hanya mengandalkan studi pustaka.
Sepertinya Kang H. Usep Romli HM., akan lebih pas untuk membawakan tema tersebut.
Akhirnya saya dan Kang Ustad Asep sepakat, bahwa saya hanya akan membahas masalah tradisi Sunda dengan segala keterbatasan saya.
Bagi orang Sunda, istilah “puasa” atau “shaum” di bulan Ramadhan itu sama. Puasa dianggap sebagai bahasa pertengahan (tidak kasar, tidak halus), sedangkan shaum dianggap sebagai bahasa yang halus.
Jika berbicara kepada orang yang lebih tua, kata shaum yang digunakan, dan jika berbicara kepada teman sebaya, maka kata puasa yang terasa lebih pas. Namun, jika berbicara kepada anak kecil, kata shaum-lah yang biasanya dipilih.
Masyarakat Sunda umumnya menyambut bulan Puasa (Ramadhan) dengan bergembira. Menurut Haji Hasan Mustapa dalam buku Adat Istiadat Sunda (Alumni, 1985), bagi orang Sunda, bulan puasa merupakan bulan yang lebih diistimewakan dibanding bulan-bulan lainnya, dan dirayakan secara besar-besaran.
Di pedesaan, tradisi ngadulag masih turut menghangatkan suasana bulan Puasa. Itu adalah salah satu contoh ekspresi kegembiraan masyarakat Sunda dalam menyambut bulan Puasa.
Rupanya masyarakat Sunda sudah mengerti, bahwa meskipun selama satu bulan harus digembleng bak digodok di kawah candradimuka, tetapi bulan puasa sangat istimewa dan sudah selayaknya disambut dengan kegembiraan.
Rosulullloh SAW bersabda: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkahan, AIlah mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan do'a. Allah melihat berlomba-lombanya kama pada bulan ini dan membanggakanmu kepada para malaikat-Nya, maka tunjukkanlah kepada Allah hal-hal yang baik dari dirimu. Karena orang yang sengsara ialah yang tidak mendapatkan rahmatAllah di bulan ini. " (HR.Ath-Thabrani)
Menjelang hari pertama bulan puasa, ada tradisi munggah yang sampai saat ini masih dipelihara baik di desa maupun di kota. Munggah berasal dari kata “unggah”, yang artinya mengawali sebuah pekerjaan (dari bawah ke atas, dari kecil menuju besar, dari hitungan 1 sampai…).
Kata munggah memang sangat akrab dengan Islam, seperti juga dapat ditemui pada ibadah munggah haji.
Biasanya pada malam munggah, anggota keluarga yang merantau pun menyempatkan diri untuk pulang dan berkumpul bersama sanak keluarga.
Munggah bukan sekedar sahur bersama. Di sana ada silaturahmi, berdo’a bersama, saling mengingatkan untuk membersihkan diri, dan ada pula yang mengamalkan sidekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan Puasa).
Tentu sedekah di Bulan Ramadhan merupakan perbuatan mulia, sebagaimana menurut riwayat Al-Baihaqi, dari Aisyah radhiallahu 'anha, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, jika masuk bulan Ramadhan membebaskan setiap tawanan dan memberi setiap orang yang meminta.”
Di Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur, ada tradisi papajar. Mungkin maksudnya adalah menyambut pajar di awal bulan Puasa.
Dalam papajar, selain menyucikan diri dan bersalaman saling memaafkan, ada pula acara botram dan nadran.
Botram adalah makan bersama di suatu tempat selain di rumah. Sedangkan nadran, menurut Kamus Basa Sunda karya R.A. Danadibrata (Kiblat, 2006) berasal dari kata tadran, yang artinya berziarah ke kuburan.
Namun ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa nadran bukan berasal dari kata “tadran”, melainkan dari "Nadra", maksudnya Dewi Nadra, sosok dewi yang menguasai ruh manusia di alam kubur menurut mitologi Hindu.
Kiranya perbedaan itu tidak perlu diperdebatkan, karena yang paling penting adalah itikad dan maknanya. Sebagai bahan perbandingan, di Jawa Tengah ada tradisi nyadran, yang artinya pun berziarah ke kuburan.
Seorang sahabat pernah menceritakan tradisi masyarakat di kampung halamannya pada saat bulan Puasa. Tepatnya di Kampung Pasirloa, Desa Kadakajaya, Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, ada tradisi bernama mawakeun dan ngirim piring.
Mawakeun adalah mengunjungi kerabat dan tetangga sambil mengirim makanan yang dikemas dalam rantang.
Tradisi ini berlangsung tanpa mengenal status sosial, saling mengunjungi dan saling berkirim makanan.
Bahkan bagi seorang anak gadis yang tidak mawakeun kepada pacarnya, tidak mustahil hubungan cintanya akan diputuskan.
Tradisi ngirim piring pun adalah saling berkunjung dan saling berkirim makanan. Tapi biasanya hanya dilakukan dengan tetangga dekat.
Piringnya tidak diberikan. Piring hanya media untuk membawa makanan. Dan biasanya makanan yang dikirim tersebut merupakan buatan si pengirim. Meski makanannya dibawa dengan mangkuk, tetap saja namanya ngirim piring.
Selain tradisi yang dipaparkan di atas, masih banyak lagi kegiatan syarat makna yang dilakukan masyarakat Sunda di beberapa daerah dalam mengisi bulan Puasa.
Yang pasti, berbagai kegiatan yang berlangsung siang hari, biasanya dalam rangka ngabeubeurang dan ngabuburit. Jelas menunjukan adanya aktivitas yang positif.
Ngabeubeurang adalah melakukan suatu kegiatan menjelang siang hari. Sedangkan ngabuburit adalah melakukan kegiatan menjelang sore hari.
Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan agar ibadah puasa semakin bermakna, tidak sekedar menahan hanaang dan lapar semata.
Dari beberapa contoh tradisi masyarakat Sunda di bulan Puasa, lebih tegas lagi menunjukan adanya hubungan damai di antara sesama manusia.
Menjaga hubungan baik dengan keluarga dan tetangga, saling memberi, dan saling mendo’akan adalah perbuatan yang selaras dengan Islam.
Rosululloh Saw. bersabda “Zibril senantiasa berwasiat kepadaku supaya selalu menjalin hubungan baik dengan tetangga.”
Dengan adanya tradisi nadran juga, menunjukan karakteristik masyarakat Sunda yang tetap menghormati orang yang telah lebih dulu meninggal dunia.
Terlebih jika ia seorang yang berakhlak mulia. Masyarakat akan tetap mengenangnya dan bahkan tetap merasakan kehadirannya.
Meminjam ungkapan Kang Hawe Setiawan dalam tulisannya yang dimuat “PR” beberapa tahun lalu, bahwa ingatanlah yang telah menipiskan jarak antara orang hidup dan orang mati. Orang yang telah mati seakan tetap hidup selama kita masih mengingatnya. Sebaliknya, orang yang masih hidup seakan telah mati apabila terhadapnya kita tidak mau perduli.
Ungkapan Syarat Kritikan
BANYAK ungkapan yang merupakan semacam kritik yang berkenaan dengan puasa. Namun terkadang ungkapan-ungkapan tersebut terasa menggelikan.
Misalnya: puasa kendang (bagi mereka yang hanya puasa pada hari pertama dan terkahir), puasa ayakan (maksudnya singakatan dari: saaya-aya dihakan, mengaku puasa tapi kalau bertemu makanan, langsung dimakan), dan yang lebih menarik lagi ada sebuah peribahasa “Puasa Manggih Lebaran”. Sebenarnya peribahasa yang lengkapnya adalah “Kokoro manggih mulud, puasa manggih lebaran”.
Peribahasa tersebut ditujukan kepada orang yang serakah dan suka mangpang-meungpeung (menggunakan aji mumpung).
Secara harfiyah, kokoro adalah miskin. Sedangkan yang dimaksud Mulud adalah bulan Rabiul Awal. Mulud berasal dari bahasa Arab, Maulud, yang artinya kelahiran.
Hal itu berkenaan dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw. pada bulan Rabiul Awal, sehingga bulan tersebut disebut Mulud. Tentunya sebagai penghormatan orang Sunda terhadap sosok panutan umat Islam.
Lantas, mengapa kokoro manggih Mulud diartikan serakah dan tidak tahu batas? Tentu akan berhubungan dengan tradisi muludan (memperingati maulud Nabi Muhammad Saw) yang biasa digelar oleh sebagian umat Islam.
Pada acara peringatan tersebut, banyak yang bersedekah dan membagi kebahagiaan dengan orang miskin.
Puasa Manggih Lebaran ditujukan kepada orang yang berpuasa hanya untuk menahan haus dan lapar belaka. Kritikan yang cukup pedas bagi yang berpuasa hanya mengurusi makanan atau minuman.
Maka pada saat tiba hari lebaran, terjadilah dendam pada makanan. Lebaran sendiri berasal dari kata lubar, yang artinya bebas. Jadi, maksudnya adalah lubar dari puasa.
Jika berbicara seputar makanan, lebaran memang merupakan hari kebebasan. Tapi bukan berarti bebas memakan makanan yang dilarang untuk dimakan.***
Komentar