Dadan Sutisna, Sastrawan dan Pakar IT

Dadan Sutisna



Catatan DHIPA GALUH PURBA

Persahabatan itu memang harus diuji oleh berbagai terpaan ujian. Terutama ujian yang berkaitan dengan kesulitan. Disaat kita sedang terpuruk, apakah sang sahabat itu tetap ada di sebelah kita atau malah meninggalkan?

Untuk ujian dalam masa kesenangan, rasanya tidak terlalu sulit membuktikannya. Banyak orang yang akan mendekat jika kita banyak uang atau sedang dalam puncak-puncaknya suatu karier.

Seorang sahabat yang sulit dicari itu adalah seseorang yang tetap menemani dalam kondisi apapun, apalagi pada saat sedang terpuruk. Percayalah kehidupan itu berputar. Ada saatnya kita diatas, pun jangan kaget jika tiba-tiba terperosok ke lembah kesengsaraan.

Saya termasuk orang yang sudah banyak menghadapi berbagai kesulitan hidup. Semuanya dapat saya hadapi dengan ditemani para sahabat.

Saya mau bercerita tentang sahabat-sahabat saya yang telah teruji oleh bertubi-tubi terpaan gelombang kehidupan. Teman saya banyak. Hampir di setiap daerah, saya punya teman. Namun, sahabat yang selalu menemani dalam suka dan duka tidaklah banyak.

Dadan Sutisna, Hadi Seta (Shinse Ling), Miftahul Malik, Agus Bebeng, Irvan Senjaya, Nasrullah, Kang Hawe Setiawan, Kang Enjang AS, Kang Erwan Juhara, Kang Agus Ahmad Safei, Kang Romel (Asep Syamsul M. Romli), Dani Yogasmara, Suci, dan beberapa nama lainnya akan saya tulis satu persatu.

Saya mulai dengan Dadan Sutisna. Seorang sahabat yang saya kenal sejak tahun 2000. Jauh hari sebelumnya saya sudah mengenali lewat tulisan-tulisannya di Majalah Mangle. Namun, saya baru berkenalan pada tahun 2000.

Dadan Sutisna, lahir di Sumedang, 22 Februari 1978. Orang desa yang sejak duduk di bangku SMP sudah mulai berproses menjadi penulis. Saya mulai membacanya ketika saya duduk di bangku SMA.

Tulisannya bagus. Ada karya cerita humor dan cerpen berbahasa Sunda yang bernilai sastra. Saya menikmatinya ketika membaca karya Dadan Sutisna di majalah Mangle. Bahkan saya pun terpancing untuk mencoba mengikuti gayanya.

Cukup ketat saat itu persaingan penulis di Majalah Mangle. Saya mengirimkan tulisan sejak SMA, tetapi baru ada yang dimuat pada tahun 1998, dalam rubrik Carpon Lucu. Masih jauh untuk mampu menulis Cerpen Sunda.

Pada tahun 2000, saya memberanikan diri berkunjung ke Majalah Mangle untuk menemui Dadan Sutisna. Sebab, saya melihat di box redaksi, nama Dadan Sutisna tercatat sebagai redaktur.

Dari pertemuan pertama di Majalah Mangle, sepertinya kami merasakan adanya chemistry ketika ngobrol atau ngopi. Pertemanan mengalir begitu saja, tanpa ada rekayasa apapun, dan tentu bebas dari kepentingan apa-apa.

Saya sering main ke rumah Dadan Sutisna di Pasirloa, Kadakajaya, Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Demikian sebaliknya Dadan Sutisna pun sering mampir ke Panyileukan. Saat itu, saya sedang sangat bersemangat membina para remaja di Bumi Panyileukan untuk berkesenian. Terutama seni longser. Berbagai garapan seni longser dipentaskan, dan Dadan Sutisna biasanya ada di tengah kesibukan itu.

Saya banyak berguru teknik atau cara menulis yang benar kepada Dadan Sutisna. Sering kali saya ke Pasirloa untuk mendalami ilmu menulis. Saya tidak punya komputer. Sementara di rumah Dadan Sutisna ada komputer. Jadi, saya sering numpang mengetik di sana.

Komputer atau PC itu merupakan barang mahal. Kalau tidak salah, waktu itu komputer pentium 1. Ketika menyalakan komputer, kemudian ada suara lantunan "bismillah" dari komputer, rasanya perkembangan teknologi sudah begitu maju.

Jika sedang mengetik, dengan terpaksa harus bergantian. Sangat produktif.  Tidak banyak gangguan. Tekun menulis, karena kalau saya sedang mengetik, Dadan Sutisna sudah menunggu giliran dengan tak sabar.

Menghubungkan komputer ke internet masih merupakan angan-angan semata. Bahkan rasanya masih sangat jauh. Itu sebabnya, kebiasaan kami adalah begadang di warnet Jatinangor semalam suntuk, untuk menjelajah dunia maya. BiruNet nama warnetnya.

Mungkin sejak saat itu Dadan Sutisna mulai menekuni dunia IT. Saya kaget sekaligus bangga pada kemajuan pengetahuannya dalam bidang IT yang begitu pesat. Kemampuannya di bidang IT sangat sulit untuk saya ikuti. Dan memang sepertinya saya tidak cukup punya bakat dalam hal itu.

Saya dan Dadan Sutisna meerbitkan buku Ukur Banyol (PT. Mangle Manglipur, 2000) dengan sponsor tunggal kakak saya, Tuti Sunarti, yang saat itu bekerja di CV. Djatnika, Bandung.

Kemudian, kami berjuang bersama-sama untuk mencari penerbit yang mau menerbitkan buku. Atau mencari peluang apapun untuk mempertahankan hidup. Tentu saja itu dijalani dalam kondisi serba kekurangan. Tak jarang harus tidur di sembarang tempat atau masjid, karena tidak mampu menyewa kost apalagi hotel.

Bukan hanya di Bandung, karena sesekali ke Jakarta naik motor berboncengan. Ban gembos di tengah perjalanan Bandung-Jakarta. Uang pas-pasan, sehingga makan, merokok dan pengeluaran apapun benar-benar harus dikendalikan.

Pernah ada satu peristiwa yang sulit saya lupakan, disamping banyak peristiwa lainnya yang tak cukup ditulis dalam satu artikel.

Kami pernah berniat untuk mengikuti sebuah saembara menulis roman sejarah berbahasa Indonesia. Waktunya tinggal sehari lagi. Kami benar-benar belum menulis apapun. Dan pada malam terakhir itu, kami menulis bersama-sama di Pasirloa.

Tentu dengan satu komputer, bergiliran. Malam itu bahkan komputer menjadi bahan rebutan.  Saya menulis seperti kerasukan penghuni Nusalarang, karena saya menulis roman Situ Lengkong Panjalu. Tapi kalau Dadan kelihatannya tetap santai, sambil sesekali minum kopi dan merokok.

Roman itu selesai dalam satu malam. Kira-kira 100 halaman. Lalu bersama-sama mengirimkannya melalui kantor pos. Hasil dari lomba menulis itu, Dadan Sutisna Juara 1 dengan roman berjudul "Purnama di Marongge" dan saya Juara 3, dengan judul "Geger Situ Lengkong Panjalu".

Sebenarnya saya yang beberapa kali berziarah ke Marongge. Bahkan saya suka menginap di dekat pelataran makam Nyai Gabug itu. Dadan sepertinya tidak pernah. Dia agak berbeda kalau untuk masalah yang satu itu. Saya sering berkeliling untuk berziarah ke makam-makam para wali dan orang-orang saleh, tanpa ditemani Dadan. Ada sahabat lain yang klop untuk masalah ziarah.

Tapi saya benar-benar kagum ketika membaca "Purnama di Marongge". Meskipun saya sering berziarah ke sana, rasanya kalau menulis cerita Marongge tak mungkin sebagus tulisan Dadan Sutisna.

Begitulah, ada banyak persamaan hobi, tetapi tidak semuanya sama. Natural, wajar, dan mengalir saja tanpa rekayasa.

Berbagai kesulitan dilalui bersama, dan selalu saja menemukan jalan keluar. Yang pasti, kami tidak pernah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain.

Prestasi Dadan Sutisna dalam dunia kepenulisan, terutama sastra Sunda sangat mentereng.  karya-karyanya dimuat di Majalah Manglé, Galura, Cupumanik, Pikiran Rakyat, Kompas, Républika, dan lain-lain.

Dadan Sutisna pernah mendapat Hadiah Sastra LBSS, Hadiah D.K. Ardiwinata, Hadiah Jurnalistik Moh. Koerdi, Carpon Pinilih Manglé, dan masih banyak lagi.

Pada tahun 2002 dan 2004, Dadan Sutisna mendapat Hadiah Samsoedi dari Yayasan Kebudayaan Rancagé untuk buku bacaan anak-anak yang berjudul Nu Ngageugeuh Legok Kiara (Kiblat Buku Utama, 2001) dan Misteri Haur Geulis (Kiblat Buku Utama, 2003).

Buku-buku lainnya yang ditulis Dadan Sutisna diantaranya Rasiah Kodeu Biner (Kiblat Buku Utama, 2017), Novel Sabalakana (Pustaka Jaya, 2013), dan saya lupa judul-judul lainnya.

Buku 7 Langkah Mudah Menjadi Webmaster karya Dadan Sutisna



Dan inilah buku-buku yang ditulis Dadan Sutisna, yang cukup membuat saya kaget,  berjudul 7 Langkah Mudah Menjadi Webmaster (Mediakita, 2007), Belajar Mudah Menggunakan Internet: Kiat Cepat Memahami Dunia Maya (2007), Jurus Profesional Membangun Aplikasi Web (2010), dan Internet untuk Pendidikan (2010).

Buku-buku tentang IT yang ditulis Dadan sangat laku di pasaran. Sebagai penulis yang memiliki basic penulis cerita, ia sangat piawai dalam membangun kalimat yang mudah dicerna dan tentu tidak membosankan.

 Pada tahun 2019, Novel Dadan Sutisna berjudul Hikayat Lembayang disebut-sebut oleh Juri Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Meski tidak menjadi pemenang, novel  Hikayat Lembayang disebut sebagai novel yang menarik perhatian juri.


Dadan Sutisna (kanan) dan Dhipa Galuh Purba (kiri)

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post