Zithermania - Menembus Fatamorgana

Zithermania


Catatan DHIPA GALUH PURBA
(Galeri Barak Bandung, 10 Agustus 2001)


Harapan dan impian tak selamanya hanya membuahkan angan-angan. Wujud alunan musik bisa menjadi sebuah curahan jiwa unlimited. Sehingga tak usah diragukan lagi apabila musik dapat mengandung makna yang cukup dalam.

Bahasanya universalnya dapat mendorong penciptaan beraneka ragam aliran musik. Dari musik-musik tradisi, modern sampai kontemporer.

Setelah bulan Juli 2001 lalu alunan musik Zithermania dapat menghiasi ketenangan air yang mengalir di Kalimas, dalam Festipal Musik Kalimas III Surabaya-Jawa Timur 2001. Dilanjutkan dengan penampilannya yang dapat menjadikan penghuni Galeri Barak Bandung dibuat terpukau dengan gema 'Aura' konser ensamble musiknya.

Suasana malam yang cukup dingin di Jalan Setia Budi 238 Bandung dapat berubah menjadi hangat dan semarak dengan suguhan musik Zithermania. Entah merupakan konser keberapa kalinya, yang jelas Zithermania tetap tampil dengan gaya khasnya yang sangat memikat.

Sampai pada saat pertunjukan berakhir, para penonton masih duduk pada tempatnya masing-masing dan seperti enggan untuk beranjak apalagi berpisah dengan Zithermania. Bisa jadi, semua itu adalah 'Aura' dari pancaran musik Zithermania yang cukup unik. Dengan racikan unsur-unsur musik etnik nusantara, seakan Zithermania ingin menampilkan sebuah dialog yang berbahasa universal.

Melahirkan sebuah musik kontemporer baru dan menjadi penemuan cerah dalam bidang seni musik. Bahkan tidak menutup kemungkinan kalau musik Zithermania (bisa) menjadi cikal bakal musik di masa yang akan datang.

Di kota Bandung, Zithermania sebelumnya menggelar karya dengan temanya yang berjudul Genta Panembrana (Pesta Penyambutan Untuk Orang-orang terhormat). Penampilannya disambut meriah oleh penonton yang memenuhi gedung CCF Bandung. Dan dalam pementasannya di Galeri Barak kali ini, tema konsernya berjudul Aura.

Menyajikan berbagai karya Zithermania antara tahun 2000 sampai 2001. Dari sekian banyak karya musik yang diraciknya, merupakan spesifikasi design yang lebih menonjolkan kekuatan akustik dan siklus struktur bunyi natural. Sehingga sangat logis apabila karya tersebut  (katanya) diilhami oleh fenonema folkloor seni tradisi Indonesia dan sifat dekompromi dari paradigma kontemporer.

Kekayaan musik etnik nusantara menjadi aset utama dalam mencari tembusan baru perjalan ritus musikalnya. Tentu saja semua itu dimaksudkan untuk lebih memperkaya image estetik dalam karya-karyanya. Bukti dari identitas Zithermania dapat terlihat atau terdengar dari alat-alat musik yang dipergunakannya. Dari mulai siter,  seruling, kendang, perkusi, talempong, sampai waditra (yang berada di luar konteks keseniannya) saluang, talempong, flute, perkusi latin, dan lain sebagainya.

Genggong Giring merupakan judul konser musik Zithermania yang pertama disuguhkan kepada hadirin yang memenuhi Galeri Barak. Dilanjutkan dengan musiknya yang berjudul ; Watas, Kidung Perawan, Ngigau, Latah, Jipang Jalu, Jaleuleu Blues dan Bodega. Ciri khasnya sangat dominan, terutama dalam tata cara penggabungan berbagai macam sistim skala nada dan pengembangan unsur-unsur ritmik & perkusif dalam orkestrasi. Dedy satya Hadianda (Sang Komposer) beserta tujuh personilnya (Yudi T Bekoy, Erlan Suganda, Iwa Pranawa, Riki Oktriyadi, Tamar J Rusli, Endul dan Nia), dapat bermain dengan mulus dan lepas. Suatu gambaran dari penggarapan yang dilakukan dengan penuh keseriusan.
Zithermania pada usianya yang menginjak tujuh tahun, telah melahirkan terobosan-terobosan baru dalam seni musik. Mencari dan mencari. Mungkin itulah kata yang tepat untuk  Zithermania dalam menciptakan karya musik. Setelah sukses menggarap rekaman musik berjudul Sukma Zithermania & Gautam Kumar Jha (Produksi Dian Record 1996), rencananya grup musik ini akan mengeluarkan album terbarunya.

Tunggu saja nanti pada saatnya, begitu yang dikatakan Dedy Satya Hadianda dengan nada yang sangat kalem (tenang) dan pembawaannya yang humoris. Seakan keseharian Dedy selalu dipenuhi oleh gurauan dan lelucon yang menyegarkan.

Dedy yang juga  merupakan salah seorang dosen di jurusan karawitan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung, sudah mendapat pengalaman cukup banyak dalam bidang seni musik. Lawatannya ke Bulgaria, Belanda, Prancis, Uni Soviet dan kota-kota besar di Indonesia, merupakan modal besar bagi dirinya untuk lebih mengenal alat-alat musik dari berbagai etnik.

Wawasannya tetang musik etnik nusantara menjadi kaya, berkat keuletannya dalam mempelajari, memahami dan menjiwai berbagai alat musik etnik. Menjadikan dirinya bisa lebih tajam lagi dalam mengolah wirasa musik.

Menengok Zithermania dalam konteks Seni-Budaya, ternyata Zithermania pun dapat dikatagorikan sebagai penyandang peran yang cukup besar. Pelestrian seni-budaya bangsa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya dengan mengolah atau meracik alat-alat musik tradisi menuju bentuk yang baru.

Ini sangat bermanfaat. Sebab dalam menyentuh alat musik etnik nusantara, tentu saja harus bisa mengenalnya terlebih dulu, dan secara mutlak harus bisa memainkannya sesuai dengan kemurnian yang dimiliki alat musik tersebut. Setelah semua itu dapat dilakukan dengan baik, maka barulah dapat menembus 'fatamorgana' musikal.

Secara tidak langsung, para musisi Zithermania dapat memelihara dan melestarikan alat musik etnik. Walaupun pada akhirnya Zithermania melahirkan  musik kontemporer. Tetapi tetap hasilnya akan terasa sekali.

Terutama disaat semua unsur estetika musik dapat dipadukan menjadi satu kesatuan bunyi yang saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Ada semacam kontak bathin musik yang tidak terbatas. Menghasilkan suatu keindahan yang tiada ternilai dapat dihadirkan dalam bentuk musiknya.

Maraknya aliran musik yang berasal dari Barat dan mengakar di bumi Indonesia, bisa menjadi ciri dari kemajuan musik yang cukup pesat. Tetapi dibalik itu ada sebuah 'ancaman' bagi kehidupan musik tradisi.

Para kawula muda sebagian besar telah termakan oleh daya pikat musik yang dianggap 'gaul' dan modern. Sehingga tidak perlu heran jika musik-musik tradisi sudah banyak yang menganggapnya 'kampungan'. Benarkah seperti itu? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab kekuatan ritus musik etnik tradisi memiliki daya aura yang besar.

Bahkan pada saat ini, banyak grup musik mencoba untuk 'back to bassic' pada nilai musik tradisi. Yang membedakannya adalah dari tata cara pengolahannya. Sehingga seorang komposer atau seorang musisi tak akan disebut 'kampungan' lagi dengan tampilan musiknya yang berlatar belakang musik tradisi.

Justru cermin dari sebuah kepribadian yang kokoh. Membuktikan manusia yang memiliki psyce  dari jenis anima intelektiva. Dan itu semua bukanlah angan-angan semata. Zithermania telah membuktikannya dengan kreatifitasnya yang gemilang. Bukan suatu halusinasi, bukan pula sebuah illusi.

Sebab fatamorgana pun dapat ditembus dengan musik ensamble Zithermania. Tinggal bagaimana alunan musik tersebut bisa menjadi angin segar  yang dapat memberikan pencerahan jiwa. ***




0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post