Cerpen: Kuliah




Cerpen DHIPA GALUH PURBA

KABARNYA ibuku mengadakan acara syukuran di kampung, sebagai tanda suka cita atas kelulusanku. Kambing jantan kesayangannya pun, akhirnya jadi juga disembelih. Entah karena (pada akhirnya) aku mau menuruti pesan mendiang ayahku, yang sangat mengharapkan agar aku kuliah di IAIN. Atau mungkin juga dikarenakan hanya akulah satu-satunya yang menjadi harapan keluarga, untuk menyandang gelar sarjana. Ketiga saudaraku sudah tak mungkin lagi kuliah. Di samping sudah terlalu sibuk dengan urusan keluarganya masing-masing, ditambah lagi dengan tidak adanya minat atau ambisi lagi untuk itu. Sehingga akhirnya, tatkala usiaku hampir mencapai seperempat abad, ibuku masih begitu bangganya. Padahal kawan-kawan seumurku, kebanyakannya justru sudah selesai atau bahkan ada yang sudah bisa menikmati hasil kuliahnya.

            Percaya atau tidak percaya, aku harus percaya. Kedua kakiku telah mencium tanah kampus, yang kata orang adalah kampus religius.  Benar atau tidaknya, aku belum terlalu tahu. Baru juga selesai mengikuti kegiatan pengenalan kampus, yang lebih dikenal dengan sebutan ta’aruf. Tapi sepertinya ibu saya sudah tidak sabar lagi. Tadi malam, beliau menginterlokal. Selain menanyakan kabarku, beliau juga bertanya, Kapan aku diwisuda?. Bahkan aku pun agak merinding, ketika beliau menanyakan, apakah  aku sudah punya pacar, mahasiswi IAIN? Mulanya tak kuhiraukan. Namun aku takut menyakiti hatinya. Sehingga kujawab saja, “Mak, saya akan segera diwisuda, kalau uang bayaran kuliahnya lancar. Dan saya sedang bingung memilih mahasiswi. Hampir semua mahasiswi, mengharapkan saya untuk menjadi pacarnya…” Memang terlalu berdusta. Tapi aku pernah mendengar sekilas, bahwa dusta pun ada yang suci.

*

AWALNYA aku tertarik untuk masuk ke Fakultas Tarbiyah, sebab Neng Lina menginginkan seorang suami yang punya  profesi seorang guru. Kebetulan, pada suatu kali, aku pernah ditawari untuk menjadi seorang guru honorer Bahasa Sunda di sebuah SMA. Aku pun segera mengabarkannya kepada Neng Lina. Sayang sekali, Neng Lina sangat teguh pada pendiriannya. Apapun yang terjadi, dia hanya mau menikah dengan seorang guru MI. Dan hal itu benar-benar terjadi. Terbukti dengan pernikahannya, satu bulan sebelum aku daftar kuliah. Neng Lina telah dipersunting oleh seorang guru MI, teman sebangku waktu SD. Sesekali, dia suka nyontek ulangan padaku. Wajahnya tidak terlalu cakep. Cuma memang kulitnya agak putih, kalau dibandingkan dengan warna kulitku.

“Sabar, Kasep…” begitulah kata ibuku dengan air mata yang berlinang. Membuat aku benar-benar pusing. Di satu sisi, ibuku suka memanggil Kasep. Tapi Neng Lina tak pernah mengatakan itu. Apakah aku ini Kasep atau tidak? Tapi yang membuatku heran, kenapa Neng Lina begitu teganya menikah dengan laki-laki lain. Padahal dia pun begitu tahu, kalau aku ini (kata ibuku juga) terlalu suci untuk disakiti. Tapi mungkin juga hal itu dikarenakan aku belum pernah mengungkapkan rasa cinta kasihku yang tulus kepada Neng Lina.

            Maka dari itu, aku bertekad untuk masuk ke fakultas adab, agar aku bisa belajar bahasa Arab. Sebab akupun bercita-cita untuk menjadi seorang TKI di Arab Saudi. Tapi ibuku mengirim surat dengan panjang lebar. Katanya, aku harus mengambil fakultas Syari’ah, sebab direktur Bank Jabar adalah tetangga dekat, bahkan kalau diselusuri lagi, beliau itu masih saudara. Mungkin aku bisa agak KKN untuk diterima bekerja di sana. Tapi aku tidak sempat menanyakan tentang Mang Ukro. Kata tetangganya tetangga pamanku, Mang Ukro itu adalah kerabatku juga. Hampir setiap hari, aku naik becak Mang Ukro. Tapi aku tidak berani menanyakan asal-usulnya. Sebab ibuku kelihatannya kurang senang terhadap Mang Ukro. Jangankan mau menelusuri tali kekerabatan. Kalau aku bercerita sedikit saja menyerempet pada Mang Ukro, wajah ibuku suka berubah menjadi masam. Entah kenapa. Yang pasti Mang Ukro bukan tipe orang yang tidak baik.

            Aku tidak mau bekerja di Bank, sebab aku sering kesiangan bangun. Sehingga pada satu hari menjelang usainya batas waktu pendaftaran, aku sudah optimis untuk masuk ke fakultas Ushuluddin. Sebab pamanku mengatakan bahwa aku cukup berbakat untuk mendalami Aqidah-Filsapat. Tapi ketika baru saja mau mendaftar ke fakultas tersebut, tiba-tiba kakekku ngirim SMS dari kampung. Isinya tiada lain menyuruhku agar masuk ke fakultas Dakwah. Dalam isi SMS-nya yang tidak terlalu panjang itu, kakekku mencurahkan keinginan hatinya. Beliau ingin mempunyai seorang cucu yang pandai berdakwah. Beliau menginginkanku untuk  menjadi seorang da’i  ternama, seperti; KH. Zaenuddin MZ atau AA.Gym. Bahkan kakekku juga mengancam, seandainya aku tidak mau masuk fakultas Dakwah, maka aku tidak akan diberi lagi jangjawokan untuk memikat perempuan.

            Aku sempat dibuat bingung beberapa saat. Sehingga nafsu makan pun agak bertambah. Untungnya aku teringat pada pepatah guru ngaji. Kalau tidak salah, Mama Iking pernah berkata, jika merasa bingung dalam menentukan satu pilihan, cobalah untuk melaksanakan sholat Istikharoh. Maka dari itu, tanpa banyak membuang waktu lagi, malam harinya aku sholat Istikharoh, tepat jam duabelas. Tidak kuhiraukan suara lolongan anjing, yang membuat bulu kuduk berdiri. Walaupun siraman air, terasa begitu menusuk-nusuk kulit tubuh, tekadku tidak bisa  diganggu gugat lagi. Hanya saja, aku agak terkejut ketika akan memulai sholat. Berhubung selama ini, aku belum pernah melaksanakan sholat Istikharoh, maka aku lupa bacaannya. Sehingga aku menggunakan Bahasa Sunda saja dalam hati, sebab kata Mama Iking pun, Tuhan itu bisa mengerti semua bahasa yang ada.

Alhamdulillah. Persis seperti yang dikatakan oleh Mama Iking. Ternyata aku benar-benar mendapat petunjuk dalam mimpi. Bahkan mimpinya pun cukup menegangkan. Dalam mimpi itu, aku tiba-tiba sudah berada di kampung halamanku. Saat itu, sekitar tengah malam, tiba-tiba saja listrik aliran. Maksud aliran di sini adalah padam. Memang di kampungku suka disebut aliran. Sangat sulit untuk merubah trend seperti itu. Sehingga dari pada pusing, akhirnya aku pun ikut-ikutan menyebut aliran saja.

            Terlepas dari masalah aliran listrik. Aku mencoba untuk menafsirkan arti mimpi tersebut. Lalu kuhubungkan dengan fakultas dan jurusan yang ada di IAIN. Apakah ada yang berhubungan dengan aliran listrik? Ternyata agak sulit juga mencarinya. Sampai pada akhirnya aku menemukan Jurusan Jurnalistik. Tepat sekali. Sebab suku kata ‘listrik’, lebih mendekati ‘jurnalistik’. Bahkan tidak menutup kemungkinan, kalau jurnalistik pun berasal dari kata ‘jurnal-listrik’. Itulah sekelumit kisah perjalanan, yang menuntunku untuk memilih jurusan jurnalistik, yang sesuai dengan petunjuk dalam mimpi.

            Sebelum mengikuti kuliah ta’aruf, aku pun tidak lupa untuk berbisik kepada kawan yang kebetulan ada disebelahku. Bukan apa-apa. Sekedar menanyakan apa bahasa Sundanya ta’aruf?. Alhamdulillah, belum mulai kuliah pun, aku sudah hapal artinya ta’aruf.  Bahkan aku juga bisa hapal Bahasa Sundanya ‘ana’ dan ‘antum’. Mungkin aku tidak berlebihan, jika berharap satu tahun mendatang, sudah fasih menggunakan bahasa Arab.

Ketika sedang mengikuti ta’aruf, sebenarnya aku ingin sekali ikut bicara  pada forum dialog. Namun setiap kali ada acara itu, aku tidak pernah ditunjuk untuk maju ke depan. Padahal aku tidak pernah mengacungkan tangan. Dan memang aku tidak suka mengacungkan tangan, kalau masih ada kawan-kawanku yang ngacung. Tapi kutunggu-tunggu, yang ngacung itu tidak ada hentinya. Aku mencoba untuk bertahan pada prinsip. Walaupun ada kalanya, kalau aku tidak tahan untuk mengacungkan tangan, maka organ tubuh bagian bawah, ada yang suka mendului ngacung.

            Tapi aku tidak terlalu kecewa. Justru aku merasa bangga terhadap kawan-kawan seangkatan. Hampir semuanya begitu pandai dan kritis. Pasti aku bisa belajar banyak pada mereka. Tak lupa, dalam benakku juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada mereka. Berkat kekritisan kawan-kawanku, maka aku bisa datang kesiangan, tanpa dikenakan sanksi. Bahkan aku pun bisa mengikuti ta’aruf sambil merokok dan minum air kofi. Hal itu sangat membantuku. Sebab aku suka mendadak sakit, kalau telat merokok atau minum kofi.

Lagi pula, aku agak malu untuk turut bicara pada forum. Ada suatu perasaan minder, dikarenakan usiaku yang mungkin agak tua, dibanding para peserta lainnya. Aku dilahirkan pada 77 tahun yang lalu, eh…maksudku lahir tahun 1977. Walaupun kabarnya ada juga sih mahasiswa baru yang lahirnya tahun 1960-an. Jadi lebih tepatnya, sebut saja aku ini agak tua. Tapi memang aku lebih senang dikatakan agak tua, dari pada disebut agak gila.

Yang keduanya, aku tidak berani bicara di forum itu, karena khawatir disebut propokator. Terutama setelah melihat pamplet-pamplet yang bertuliskan: Awas Propokator yang mengatasnamakan mahasiswa baru!. Bukan apa-apa. Hanya saja wajahku memang bisa dikategorikan tipe wajah propokator. Banyak yang ngomong gitu. Buktinya pada suatu kali, aku pernah terpilih untuk memerankan tokoh propokator pada sebuah pagelaran teater. Walaupun jujur saja, beberapa waktu yang lalu, ada seorang mahasiswi senior yang tertarik padaku. Namanya tidak usah disebutkan.  Pokoknya dia cantik jelita. Menurut kawan-kawan dari komunitas Sofhia, dia Pernah aktip juga di surat kabar kampus. Penting atau tidak penting, dia sering menemaniku berbincang-bincang, “Akang sangat gagah dan dewasa…” begitulah yang dikatakannya ketika terakhir kali bertemu, sambil memberikan sepucuk surat undangan pernikahannya.

*

            SEKALI lagi, aku merasa bangga dan sangat salut terhadap semua kawan-kawan mahasiswa baru angkatan 2002 (Kecuali kepadaku). Disaat beberapa Perguruan Tinggi lain masih melakukan tindakan perpeloncoan dan pembodohan, dalam kegiatan pengenalan kampus. Tradisi seperti itu, di kampusku sudah berhasil dihapuskan. Tak ada kekerasan. Tidak juga perpeloncoan. Apalagi pembodohan. Rambutku juga tidak usah dipotong.

Tapi di sisi lainnya, aku juga agak sedih. Terutama ketika menyaksikan sikap dan tindakan sebagian kawan-kawan, yang kelihatannya kurang menghargai panitia ta’aruf. Apapun alasannya, beliau-beliau lebih senior di kampus ini. Kalaupun para beliau mengatakan: sama kita sama. Tapi itu hanyalah gambaran dari sebuah kerendahan hati. Seperti teriakan Uuuuh…! pada saat ada panitia yang sedang berbicara. Serta tindakan-tindakan lainnya, yang—kalau kata Gus Dur—mirip murid Taman Kanak-Kanak. Walaupun itu sangat sepele, tetapi perlu dijadikan sebuah kajian untuk pelaksanaan ta’aruf tahun yang akan datang. Ternyata terlalu dibebaskan pun, akibatnya menjadi kurang mendidik.

Tentu saja hal itu tidak luput juga dari kesalahan para panitianya sendiri. Bagaimanapun juga, kewibawaan itu akan diperoleh dari sebuah ketegasan. Bukan harus melakukan tindakan kekerasan. Bukan juga perpeloncoan dan pembodohan. Tegas disini, artinya sangat luas. Tegas dalam menentukan waktu. Tegas dalam menyusun jadwal acara. Tegas dalam membuat peraturan. Dan berbagai ketegasan lainnya, yang bersifat positif. Termasuk sinkronisasi dengan pihak akademis.

Kata hati ini, sama sekali tidak bertujuan untuk mencari perhatian dari panitia atau mencari simpatik dari seseorang.  Itu sangat pasti. Sebab aku sudah punya kenalan baru, yang katanya mau jadi pacarku. Tapi dia minta sarat yang cukup berat. Katanya jangan dulu ada kontak fisik, sebelum resmi menikah. Cukup kontak bathin saja. Tapi ketika aku mengajaknya untuk melaksanakan nikah mut’ah, dia menolaknya dgan tegas. “Saya tidak mau nikah kontrak-kontrakan. Saya hanya mau menikah sekali, untuk seumur hidup.” Begitulah ucapnya dalam mimpiku tadi malam. Bahkan kalau tidak salah, dia pun mengatakan bahwa rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warohmah.

Namun sayang sekali, ada sarat lainnya yang tidak bisa kulakukan. Dia memintaku untuk berhenti merokok dan minum kofi. Sungguh malang nasibku ini. Tapi aku tidak akan mengatakan “nasib memang kejam, tak mengenal perasaan!” Takut senasib dengan Desy Ratnasari. Yang pasti menurut kakekku, Insya Alloh pada suatu saat nanti, aku akan kauntun tipung, katambang beas, laksana kapiduriat dengan salah seorang gadis cantik yang usianya sepuluh tahun di bawahku. Tapi aku tidak terlalu memikirkan dulu hal itu. Ungkapan-ungkapan di atas, hanya untuk membuktikan bahwa aku adalah seorang laki-laki normal. Aku pun ingin belajar menuliskan sebuah kejujuran. Percaya atau tidak, niat aku kuliah di IAIN adalah tolabul ilmu. Aku ingin kerahayuan dunia dan akhirat. ***


1.      Kasep : Panggilan kesayangan orang tua terhadap anaknya, seperti : Ujang, Enceng, Mongmong, dsb. Kasep artinya cakep, ganteng.
2.      Kauntun tipung, katambang beas, laksana kapiduriat: Pribahasa Sunda, artinya: tercapai apa yang diinginkan, berhubungan dengan asmara.
  1. Kerahayuan : Keselamatan. Rahayu sama dengan selamat.


0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post