Cerpen DHIPA GALUH PURBA
UNTUK menuju
kampusnya, aku harus melalui gang sempit yang cukup rumit. Tapi tidak usah
khawatir, sebab di manapun letaknya, pasti akan kucari sampai kutemukan.
Keraguan yang kadang merasuki hati, segera kusingkirkan jauh-jauh. Kalau
diibaratkan dalam peperangan, pilihanku hanyalah hidup atau mati. Memang
keterlaluan. Tapi mudah-mudahan saja semua orang akan segera memaklumiku
setelah memperhatikan ekspresi sang bintang, saat menatapku dengan sangat
sangat tajam di gerbang kampus Kista.
“Kamu?” tampaknya ia masih tidak percaya pada penglihatannya.
“Ya, saya. Emmm… maaf, saya berani datang ke mari…” jawabku agak
salah tingkah, sehingga hampir tidak kusadari ketika tanganku merogoh saku
baju, mengambil sebatang rokok.
“Jangan merokok di sini!” larangan yang cukup sewot dan harus
kutaati. Aku memang hampir melupakan pakaian yang membungkus tubuhku,
putih-abu-abu, seragam SMA. Aku sangat dungu, jika memaksa untuk merokok. Ya,
meski bukan di lokasi kampusku, tapi aku tetap harus menghargai kampusnya.
“Oh, iya, hampir lupa. Oh ya, sudah mau pulang kan ? Ayo kita sama-sama!” aku hampir tidak
percaya saat bibirku mengucapkan itu. Betapa beraninya aku. Dan sungguh luar
biasa, kata-kata itu sanggup menggerakan kakinya, berjalan berdampingan, pun
sesekali memperhatikan seragamku.
“Kamu anak sekolahan ya?” pertanyaan itu memang patut diajukan,
sehubungan dengan beberapa hal yang pasti masih membuatnya bingung.
“Ya. Aku seangkatan sama kamu, Wi…” aku berusaha tenang, menjawab
setiap pertanyaannya.
“Siapa namamu? Kalau gak salah, aku belum tahu namamu…” pertanyaaan
itu pun sangat wajar. Ia memang belum tahu namaku, atau bisa jadi sebelumnya ia
tidak berminat untuk mengetahui namaku. Ya, untuk apa mencari tahu namaku,
meskipun aku sering mengantarnya pulang.
Sebaliknya, aku begitu mengenalinya, Dewi, bintang Panyileukan yang
menerangi kampus Kista. Sekali lagi, aku sering mengantarnya pulang. Bahkan
sekali waktu aku pernah mengantarnya jam duabelas malam. Ia mengenal wajahku,
tetapi tidak pernah tahu namaku.
“Nama saya Among…”
“Di mana sekolahanmu?”
“Di Jalan Kebon Jati…”
“Kenapa ngambil sekolah yang jauh?”
“Saya tidak punya banyak waktu untuk tidur. Makanya saya sekolah di
tempat yang jauh, biar bisa nyuri waktu buat tidur,”
“Maksudmu?”
“Ya, begitulah, perjalanan bisa sampai satu jam. Biasanya saya naik
bis kota . Saat
saya naik di Bunderan Cibiru, bis kota
masih kosong. Saya bisa leluasa memilih kursi, lalu tidur sambil duduk, atau
duduk sambil tidur. Nikmaaaat, tahu-tahu udah nyampai di Alun-Alun. Kemudian
saya jalan kaki ke Kebon Jati, olahraga kan …”
“Waktu tidur di bis kota, kamu tidak pernah terjaga?”
“Enggak…”
“Berarti kamu orang yang egois. Bahkan kamu tidak peduli pada
nenek-nenek yang berdiri berdesakan dan copet-copet yang bergentayangan…” ia
mencibir sambil menahan senyum. Hatiku berdebar-debar saat ia meraih tanganku
dan mengajak duduk di halte.
“Jangan GR, Mong. Aku cuma gak suka sama dia!” ucapnya sambil
melirik ke arah seorang pemuda yang berdiri di ujung halte. Pemuda perlente
yang matanya agak nakal.
“Kalau kamu mau, saya sanggup menghajarnya…” aku begitu yakin pada
keberanianku.
“Sudahlah, Among. Aku tahu siapa kamu, tapi di sini bukan habitatmu.
Jadi, kamu gak usah so jagoan, jika hanya mau carmuk di depanku…” jawabnya
dengan datar. Cukup untuk membungkam mulutku dan sebagai peringatan agar aku
tidak bicara sembarangan.
Dewi tahu siapa aku. Ya, kalau sekedar tahu, memang sangat mudah
untuk menge
naliku—bagi orang yang tinggal di Panyileukan. Setiap hari, aku
nongkrong di gerbang Panyileukan, kadang jadi calo angkutan kota atau penambang becak. Hidupku di
jalanan, panas dan penuh resiko. Pergaulan di jalanan yang sangat keras, telah
membentuk watakku menjadi keras pula. Di jalanan, tidak boleh ada rasa takut,
karena hukum rimba masih berlaku. Tak jarang aku terlibat tawuran yang hampir
membuatku celaka.
Tidak banyak yang tahu, bahwa propesi yang kujalani itu kukerjakan…
sepulang sekolah. Sejak pertama kali duduk di bangku SMA, aku terpaksa harus
menapkahi diriku sendiri; hidup di jalanan mencari rezeki yang halal, hanya
untuk makan dan biaya sekolah. Namun, aku juga tidak bisa menahan gejolak
hatiku saat pertama kali memandang Dewi. Aku sering mengantar sampai pekarangan
rumahnya… dengan becakku. Tentu saja aku dibayar sesuai tarip yang berlaku,
kadang Dewi mengikhlaskan uang kembaliannya.
Masa remajaku habis di jalanan. Tapi aku tidak pernah
menyesali—apalagi menyesali keluargaku yang miskin, sangat tidak! Sebab, justru
latar belakang hidupku yang membuat Dewi akhirnya jatuh dalam pelukanku.
Sungguh, Dewi bagaikan tokoh cerita dalam lakon fiksi. Ia mencintaiku dengan
tulus. Dewi mengakui, bahwa cintanya mulai bersemi sejak pertemuan pertama di
kampusnya. “Seandainya kamu bukan anak sekolah, aku tidak akan pernah
menyukaimu. Namun seandainya kamu bukan penambang becak, belum tentu juga aku
mencintaimu. Sisi lain dalam hidupmu yang membuat nuraniku tergugah…” kata-kata
itu ditulisnya saat membalas suratku, surat
cinta.
Tidak terkecuali anak jalanan, saat diterpa rasa cinta serasa jadi
pujangga. Semuanya tampak begitu indah. Benar sekali filosopis yang mengatakan;
At the touch of love, every one becames a
poet. Buktinya, kami sepakat menyingkat kampus itu dengan KISTA, Kian
Santang, ya, SMEA Kian Santang. Selain itu, KISTA juga merupakan singkatan
dari: Kita Saling Cinta.***
Ranggon Panyileukan, 1995
(Dimuat di HU. GALAMEDIA, Sabtu, 21 Januari
2005)
Komentar