Dibalik Hadiah Sastra LBSS 2004-2005

Catatan DHIPA GALUH PURBA


SELAMAT kepada para sastrawan dan kolomnis Sunda yang dileler penghargaan bergengsi Hadiah Sastra LBSS (Lembaga Bahasa jeung Sastra Sunda) tahun 2004 dan 2005, yang penyerahannya berlangsung di Yayasan Pusat Kebudayaan (21/12/06). Mereka sangat layak mendapat penghargaan tersebut, berdasarkan karya-karyanya sepanjang tahun 2004-2005.

Penghargaan Hadiah Sastra LBSS (HSL) mulai berlangsung pada tahun 1957, diberikan kepada Rusman Sutiasumarga atas buku karangannya berupa antologi cerpen berjudul Papacangan (Balai Pustaka, Jakarta).

HSL II diberikan pada tahun 1959 kepada Rahmatullah Ading Affandi (RAF), atas buku karyanya berupa kumpulan cerpen yang berjudul Dongeng-Dongeng Enteng ti Pasantren (Tarate, Bandung). Sedangkan HSL III diberikan pada tahun 1961 kepada Wahyu Wibisana, sebagai pemenang saembara menulis cerpen Sunda yang digelar oleh LBSS dalam rangka menyambut Kongres Basa Sunda (KBS) IV.

Pada tahun 1962 sampai dengan 1988, LBSS tidak menyerahkan HSL dikarenakan tidak ada biaya. Baru pada tahun 1989, pasca KBS di Cipayung Bogor (1988), penganugerahan HSL kembali digiatkan.

Tulisan yang dinilai berupa prosa dan puisi yang dimuat media massa Sunda sepanjang tahun 1989, dan buku Sunda yang terbit tahun 1989. Juga memberikan penghargaan kepada penerbit yang dianggap berjasa dalam menerbitkan buku-buku sastra Sunda.

Tampak sekali bahwa pada saat itu ada semangat yang begitu menggelora untuk ngahirup-huripkeun sastra Sunda. Bisa dibayangkan ketika LBSS menyebarkan lembaran format A1, untuk pengarang dan karyanya sepanjang tahun 1989.

Dan lembaran format A2, untuk penerbit dan buku-buku terbitannya sepanjang tahun 1989. Dari informasi tersebut, LBSS bisa mendapatkan data karya selama setahun. Bahkan tidak hanya cukup itu, LBSS pun masih mencari sendiri karya-karya yang berserakan di media massa (Salumar Sastra, Geger Sunten)

Dengan sikap yang pro-aktif seperti itu, LBSS mendapatkan data yang akurat mengenai jumlah pengarang beserta usianya, jumlah tulisan yang diajen, dan jumlah buku yang terbit. Dari 582 tulisan dan 32 judul buku hasil karya 140 pengarang, LBSS menetapkan enam nominator kategori A (berusia 21-35 tahun) dan 15 nominator kategori B (berusia 36-50 tahun).

Proses panjang itulah yang akhirnya HSL jatuh ke pangkuan Etty RS sebagai pinunjul kategori A atas sajak-sajaknya, dan Yoseph Iskandar sebagai pinunjul kategori B atas karyanya dalam bentuk cerpen Sunda, serta penerbit Rahmat Cijulang atas jasanya dalam menerbitkan buku sastra Sunda.

Dari waktu ke waktu, LBSS tetap konsisten dan bersemangat menganugerahkan HSL kepada pengarang dan kolomnis Sunda. Baik memberdayakan dana dari pemerintah, atau dengan bekerja keras mencari sponsor.

LBSS seakan ingin menunjukkan bahwa tanpa bantuan pemerintah pun, HSL tetap dilangsungkan. Pada tahun ini, LBSS bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Barat. Drs. H. Taufik Faturohman, ketua LBSS, dalam pidato penyerahan HSL mengatakan bahwa LBSS sanggup memberikan hadiah uang sebanyak tiga kali lipat, dengan cara mencari sponsor swasta. Pernyataan yang berani dan sangat optimis.

Alangkah lebih baiknya bercermin pada Hadiah Sastra Rancage (HSR), yang selama ini sangat tidak bergantung kepada pemerintah. Sejak tahun 1989 sampai sekarang, HSR diberikan setiap tahun kepada pengarang atas buku prosa atau puisinya yang dianggap pinunjul, tokoh yang berjasa dalam sastra, dan pengarang yang menulis buku pinunjul bacaan anak-anak.

Penghargaan yang dimotori Ajip Rosidi tersebut dianugerahkan kepada pengarang dan tokoh pinilih dari tatar Sunda, Jawa, dan Bali. Setiap pengarang dan tokoh pinilih, mendapatkan hadiah berupa piagam dan uang tunai Rp 5.000.000,-

Bisa juga mengikuti jejak “Carpon Pinilih Mangle”, sebuah penghargaan yang diberikan kepada pengarang atas karyanya berupa cerita pendek berbahasa Sunda terbaik, yang dimuat selama satu bulan di Majalah Mangle. Hadiahnya berupa uang tunai Rp 1.000.000,- dari Drs. H. Uu Rukmana, M.Si. Selain itu, ada juga :Barakatak Pinilih”, “Kolom Pinilih”, dan “Sajak Pinilih”, yang dianugerahkan setiap bulan. Penghargaan tersebut didanai oleh perorangan, tanpa harus mengharap belas-kasih pemerintah.

Oleh karena itu, masyarakat Sunda patut berterimakasih kepada LBSS yang telah meneruskan tradisi tanpa setengah hati. Kenapa tradisi? Sebab dalam keputusan KBS VIII di Subang, tidak tercantum kewajiban LBSS untuk menganugerahkan HSL kepada sastrawan atau kolomnis Sunda. Kendati demikian, LBSS tetap hideng dan bertanggung jawab mempertahankan tradisi anugerah HSL.

Sayang sekali, dalam proses penilaiannya tidak segigih LBSS tahun 1989. Sebagaimana yang ditulis dalam bejer pangajen, dewan juri hanya menerima tulisan-tulisan yang dimuat di Majalah Mangle, Cupumanik, Kudjang, Galura, dan sastra Sunda di HU. Pikiran Rakyat.

Sedangkan tulisan yang dimuat di media massa bahasa Sunda lainnya, sama sekali tidak dihiraukan. Misalnya Majalah Sunda Bina Da’wah, Seni Budaya, Iber, Sunda Midang, koran Giwangkara, dan Mandiri.

Padahal di media massa tersebut terdapat tulisan berupa carpon, sajak, dan esai. Masih untung para pengarang semisal Holisoh ME, Pipiet Senja, atau Fendy Sy. Citrawarga, selain menulis di Bina Da’wah atau Seni Budaya, mereka pun menulis di media massa Sunda yang diajen oleh LBSS. Bagaimana bagi para penulis yang baru sempat dimuat di Sunda Midang atau Giwangkara?

Dengan begitu, berarti ada karya-karya yang tidak mendapat kesempatan untuk diajen. Bisa jadi karya dalam media massa tersebut tidak bagus, tapi tidak pamohalan pula lebih berkualitas. Namun persoalannya bukan terletak pada bagus atau tidaknya, menang atau kalahnya, melainkan karya-karya tersebut merupakan bagian dari khazanah kesusastraan Sunda sepanjang 2004-2005.

Seandainya LBSS menyadari hal tersebut, maraknya media massa bahasa Sunda yang menghadirkan tulisan sastra merupakan bagian dari kesuksesan LBSS, sebagaimana yang tercantum dalam keputusan KBS VIII.

Pada KBS VIII, ada sebuah makalah berjudul “Basa Sunda Dina Media Massa”. Pada paragraf ke-3, disebutkan bahwa media massa Sunda (baca: media massa bahasa Sunda) yang sampai saat ini masih terbit hanya Mangle, Galura, Giwangkara, Kujang, Mandiri, ditambah oleh dua majalah yang berukuran kecil, yaitu Cupumanik dan Sunda Midang.

Tentu saja keliru. Silahkan tengok Majalah Bina Da’wah, yang terbit sejak tahun 1985 hingga sekarang menggunakan bahasa Sunda. Atau silahkan untuk membuktikan ukuran Majalah Sunda Midang dan Cupumanik. Sunda Midang berukuran kertas A-4 dan Cupumanik A-5. ***


Dimuat di Koran Tadjuk , Tahun 2006

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post