Oleh DHIPA GALUH PURBA
KETIKA Miing “Bagito” berbicara tentang Sunda, tak seorang pun tertawa.
Sebaliknya, ramailah orang berdebat tentang nasib Ki Sunda. Banyak orang yang
khawatir Ki Sunda punah. Sejumlah orang lainnya lebih tegas menghendaki agar
kehidupan orang Sunda tetap dipertahankan. Tentu saja, kekhawatiran itu
merupakan ekspresi dari kecintaan mereka terhadap nilai-nilai kesundaan yang
saat ini terasa kian pudar, seperti yang terbukti dari penggunaan bahasa Sunda
di lingkungan masyarakat luas yang kian hari kian memprihatinkan.
Ajip Rosidi pernah memprediksikan kemungkinan hilangnya bahasa Sunda
dari muka bumi ini. “Menurut perhitungan para ahli, saat ini di dunia ada kl.
6.000 bahasa. Pada akhir abad ini, akan tersisa kl. setengahnya. Jadi, akan ada
3.000 bahasa yang mati pada akhir abad ke-21. Artinya, 30 bahasa dalam setahun.
Artinya, dua setengah bahasa dalam sebulan akan mati. Kira-kira setiap 10 hari,
ada satu bahasa yang hilang dari dunia. Bahasa Sunda ada dalam antrian yang
akan mati, sebab orang Sunda sudah tidak mau berbicara menggunakan bahasa
Sunda),” tulis Ajip dalam majalah Cupumanik (No. 11, Juni 2004, hal.
23).
Pernyataan Ajip, lebih tampak sebagai ungkapan kekhawatiran yang justru
bisa dihindari, jika segera ada usaha untuk mengantisipasinya. Pernyataan itu
bukanlah penegasan bahwa bahasa Sunda akan mati. Bahkan di balik pedaran
itu, tersimpan banyak harapan agar bahasa Sunda tetap lestari keberadaannya.
Begitu pula halnya dengan pernyataan Dedi “Miing” Gumelar, ketika
berdiskusi di kantor redaksi koran Galura (12/05). Miing pun
mengungkapkan ekspresi keprihatinannya terhadap kalumangsungan budaya
Ki Sunda, setelah melihat dan merasakan berbagai indikasi yang jelas-jelas bisa
menghantarkan Ki Sunda pada jurang kepunahan.
Berarti pernyataan Miing bukanlah semacam “ketuk palu” yang menegaskan
Ki Sunda sudah punah. Miing hanya memprediksikan bahwa kehidupan Ki Sunda
berada di ambang kepunahan. Artinya, masih ada harapan untuk mencegahnya, jika
kita berhasil mengatasi berbagai indikasi yang selama ini sudah disadari oleh
banyak kalangan.
Adapun opini berjudul “Ki Sunda Mustahil akan
Mati”, yang ditulis oleh Mira R.G. Wiranatakusumah (“PR”/25/05), pada dasarnya
mengungkapkan pula harapan bagi hirup-huripna Ki Sunda. Bahkan Mira
juga memperkuat prediksi Miing pada alinea ke-14 dalam artikelnya: “Meski
kenyataannya, memang sampai hari ini belum ada satu Ki Sunda pun yang mau
memperhatikan sisi fisik atau mengubah penampilan luar, agar Ki Sunda tampil
lebih menonjol sekaligus meredakan kegelisahan eksistensi Ki Sunda.”
***
SEBENARNYA saya juga sangat sependapat dengan Mira bahwa Ki Sunda
mustahil mati. Namun Ki Sunda mana yang dimaksudkan? Menurut hemat saya, Ki
Sunda terbagi dua, yakni Ki Sunda yang diterawang dari sisi Sunda sebagai fakta
genetis (keturunan, seke seler), dan Ki Sunda sebagai sosok orang
Sunda yang masih berpegang teguh dan menjunjung tinggi nilai-nilai kesundaan.
Nah, untuk Ki Sunda pada tipe pertama, saya setuju jika Mira mengatakan:
“Mustahil Musnah”. Tetapi pada Ki Sunda tipe ke-2, saya terpaksa harus obyektif
dan melihat “tragedi” yang terjadi di lapangan; bahwa berbagai indikasi menuju
kepunahan memang sudah dan masih sedang terjadi.
Mira pun tidak usah repot-repot mencari contoh kasus. Buka saja “PR”
edisi yang memuat tulisan Mira, tepatnya di halaman 19. Di sana ada sebuah
berita yang berjudul: “Tergerus, Bahasa Sunda di Kalangan Anak Muda”. Pada
alinea pertama pun, kita sudah bisa meraba sebuah berita keprihatinan mengenai
Ki Sunda: “Walikota Cimahi, Ir. H. M. Itoc Tochija, M.M., merasa prihatin atas
makin tergerusnya bahasa dan budaya Sunda di kalangan generasi muda.” Sungguh
sangat tragis, jika memaknai kata “tergerus”. Dan tentunya kita harus bertanya,
siapa yang menggerus, serta mutu seperti apa yang digunakan untuk
menggerus?
Bandingkan pula dengan kahariwang yang disampaikan Letjen
Mashudi, pada sebuah acara Paguyuban Pasundan; “Kita pun tentunya sangat
prihatin dengan kondisi sekarang ini, di mana budaya Sunda hampir tidak
dikenali oleh masyarakat Sunda itu sendiri” (“GM”/23/05/04/hal 9).
Dari dua pernyataan keprihatinan tersebut, tentunya kita harus memahami
dan mengakui bahwa kondisi Ki Sunda sejak dulu sampa saat ini sedang gering
nangtung ngalanglayung. Semakin banyak orang Sunda yang tidak mau
menggunakan bahasa Sunda, gaya hidup yang sudah jauh dari nilai-nilai
kesundaan, generasi muda yang tidak mengenali warisan karuhunnya sendiri, dan
seabreg masalah lainnya akibat –meminjam istilah klise– pengaruh transpormasi
sosial-budaya.
Baik Ir. H. M. Itoc Tochija, M.M atau Letjen Mashudi, bukanlah orang
“baru” yang mengatakan Ki Sunda di ambang kematian. Jauh hari sebelumnya, tahun
1867, R.H. Moehamad
Moesa, telah mengungkapkan kekhawatiran akan punahnya Ki Sunda dalam buku Dongeng-Dongeng
Pieunteungeun. Sehingga kata Hawe Setiawan, orang yang berjuang
membangkitkan semangat Ki Sunda adalah orang-orang yang nangtang pati.
Karena itu pula, pertanyaan Mira; “Benarkah keprihatinan tentang
populernya kaus ketat dibanding kebaya yang dikenakan mojang priangan adalah
salah satu indikator kepunahan Ki Sunda?” Saya yakin, jawabannya
benar! Itu adalah salah satu indikasi menuju punahnya Ki Sunda. Dalam hal ini,
saya tidak akan mempersoalkan masalah kebaya atau bukan kebaya. Tetapi kesan
sensual dari kaus ketat itulah yang telah merusak nilai-nilai kesundaan pada wanoja
Sunda.
Kita tahu, wanoja Sunda dikenal memiliki karakteristik risi
memamerkan aurat, lembut, sopan, punya etika yang juga bisa kita
lihat pada figur Sunan Ambu. Lantas bagaimana tangtungan kebanyakan wanoja
Sunda kiwari? Saya melihat jati diri Ki Sunda yang melekat, hanya
sebatas fakta genetic belaka. Pasanggiri Mojang-Jajaka tidak
bisa dijadikan barometer untuk mengukur jati diri kawula muda Sunda, karena
ketika Mojang-Jajaka turun dari panggung, maka aksesoris kesundaannya
pun ikut-ikutan turun. Teh Mira, ternyata “Nyi Sunda” sudah mati lebih awal.
***
MENGENAI daya juang Majalah Nyi Mangle, atau pun tujuh
media massa Bahasa Sunda lainnya; Koran Kujang, Koran Galura,
Koran Giwangkara, Koran Mandiri (?), Majalah Cupumanik,
Majalah Sunda Midang, Majalah Seni Budaya Swara Cangkurileung,
saat ini tengah menghadapi tantangan yang sangat berat untuk bersaing di tengah
hiruk-pikuknya pers nasional dan dunia, di tengah perang komunikasi yang
semakin meruncing.
Semuanya sedang mencoba untuk bangkit kembali
dari keterpurukannya, setelah sekian lama terpasung di ruangan gawat darurat.
Setelah sekian lama hanya bisa bernostalgia, mengenang masa-masa kejayaannya.
Ya, sangat jaya, Teh Mira. Karena Mira pun tentu tahu, bahwa
dulu kita pernah mempunyai 36 media berbahasa Sunda (Derap Pembangunan Pers
di Jawa Barat, BPPP, 1987). Bahkan dua di antaranya adalah koran berbahasa
Sunda yang terbit harian: Sinar Pasoendan (1933-1942) dan Sipatahoenan
(1924-1942 di Tasikmalaya dan 1969-1985 di Bandung). Sedangkan majalah
Sunda yang paling tua adalah Parahiangan (1919) yang diterbitkan Balai
Poestaka Jakarta, di bawah asuhan oleh M.A. Salmoen dan R. Satjadibrata.
Mari kita saksikan kenyataan yang terjadi di era millenium ini.
Siapa yang akan menyangkal, jika saya berpandangan pers Sunda mengalami
kemunduran yang sangat tajam. Tentunya hal ini pun senada dengan kekhawatiran
yang yang ada di benak Miing atau Teh Mira; merupakan salah satu dari
indikasi terhadap punahnya Ki Sunda. Sedangkan kemunduran pers Sunda, tampaknya
bukan melulu terletak pada masalah SDM (Sumber Daya manusia), modal, atau pun
pemerintah. Melainkan akibat dari indikasi-indikasi lain yang saling
berhubungan, contohnya persoalan bahasa Sunda yang diungkapkan oleh Ajip
Rosidi; Mau membaca pers Sunda bagaimana, jika berbicara bahasa Sunda pun sudah
merasa malu?
Terlebih lagi pada kalangan generasi muda, tampaknya pers Sunda sudah
tidak memiliki daya tarik lagi. Saya akan flash back ke tahun 2001,
ketika berlangsungnya Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I
yang digelar pada bulan Agustus 2001 di Bandung. Lalu disambung pula bulan
November-nya, Kongres Bahasa Sunda (KBS) VII di Garut.
Dari tumpukan masalah kasundaan yang diperbincangkan pada saat
itu, pers Sunda ikut menimbrung, walaupun hanya menjadi topik yang kurang
dilirik. Pada KIBS I, Duduh Durahman yang menyajikan makalah “Pengolahan Media
Massa: Kasus Mangle”, hanya dihadiri 20 orang dari 500 peserta KIBS. Demikian
pula ketika Abdullah Mustappa menyajikan makalah Pers Sunda Kumaha Boa pada
KBS VII, peminatnya tidak lebih dari 19 orang, itu pun lebih dominan dari
(maaf) golongan tua.
Begitulah keberlangsungan pers kita. Teh Mira, Ki Mangle juga
ternyata telah mati lebih awal. Tetapi, apa pun adanya, Ki Sunda dan Nyi
Mangle tidak suka mengkambing hitamkan siapa pun, termasuk menyalahkan
pemerintah. Ki Sunda memiliki karakter yang mandiri, lantip dalam
berbuat, surti dalam memahami perasaan orang, dan asak hampura dalam
menghadapi kesalahan orang. Ki Sunda tentu akan setuju, jika kawula muda
bersama-sama memikirkan jalan ke luarnya dan melakukan action, dari
pada saling menyalahkan satu sama lain.
Teh Mira, sahabat tercinta, saya sangat bahagia dan bangga dengan hariring Cianjuran,
gema Nur Hidayahan, perjuangan kawan-kawan Fokalismas (Forum
Komunikasi Lingkung Seni Mahasiswa Sunda), dan gaung sandiwara Miss Tjitjih.
Namun seandainya Miss Tjitjih tiba-tiba harus berubah nama
menjadi Bi Tjitjih, tentunya kita akan menjadi orang suka melupakan
sejarah. Betapa tidak? Miss Tjitjih telah merintis perjuangannya sejak
tahun 1920-an. Tepatnya tahun 1928, Miss Tjitjih mulai mengibarkan
bendera Ki Sunda dengan digantinya nama group sandiwara Valencia Opera
menjadi Miss Tjitjih, termasuk merombak bahasanya; dari Melayu menjadi
Sunda. Kenapa Teh Mira, tidak meminta sebutan Bang Ali Sadikin diubah
menjadi Kang Ali Sadikin?
Sekali lagi, alangkah baiknya jika Teh Mira tidak terlena pada “kenikmatan”
Cianjuran dan Nurhidayahan, yang hanya bisa
dinikmati oleh segelintir orang, dari sekian juta masyarakat Sunda (Bukan
berarti Cianjuran dan Nurhidayahan tidak memiliki peranan
penting). Sedangkan indikasi akan musnahnya Ki Sunda semakin hari, kian tampak
dengan jelas. Lihatlah alam Pasundan kita yang rusak, Teh Mira. Parijs
van Java atau Swiss van Java, kiwari kari waasna. Bukankah Ki Sunda
sangat dekat dengan alam?
Berarti jika alamnya rusak, maka rusak pula Ki Sunda. Konsep hidupnya
pun tidak mungkin nyunda lagi. Karena itu, mari kita rambaterata
mengantisipasi punahnya Ki Sunda, dengan mengontrol emosi. Sebab, jika orang
Sunda mulai menyelesaikan masalah secara emosional, maka hal itu pun merupakan
salah satu indikasi yang akan menghantar punahnya Ki Sunda.***
Dimuat di HU.
Pikiran Rakyat, pada 30 Mei 2005
Komentar