Situs Tergusur Waduk

Oleh DHIPA GALUH PURBA

ORANG Sunda sangat tabu mengatakan: waduk. Sebab, waduk artinya kotoran, dan tergolong pada kata yang sangat kasar. Tidak heran kalau kata waduk biasanya digunakan sebagai ungkapan ketidakpuasan pada sesuatu hal.

Orang yang sering berbohong, suka ingkar janji, gemar mengumbar omong kosong biasanya dijuluki Si Tukang Ngawaduk. Berbeda dengan di Jawa, waduk bukanlah kata yang menjijikan, karena waduk dalam bahasa Jawa artinya bendungan.

Akhirnya kata waduk diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang tentunya mengambil waduk dari bahasa Jawa; waduk adalah bendungan. Persoalan waduk dalam tulisan ini pun adalah seputar masalah bendungan.

Setelah tertunda sejak tahun 1963, proyek raksasa pembangunan waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang rencananya akan dimulai tahun ini. Ada sekitar 36 desa dari lima kecamatan yang diperkirakan terendam waduk, yaitu kecamatan Jati Gede, Jati Tunggal, Darma Raja, Wado, dan Cisitu.

Bagi warga yang tempat tinggalnya tergusur waduk, tentu harus meninggalkan bali geusan ngajadi-nya, karena tidak mungkin menjalani kehidupan di dalam air seperti halnya sebangsa Deni Manusia Ikan.

Untuk membangun waduk Jatigede, maka sungai Cimanuk akan dibendung (Muara sungai Cimanuk terletak di ujung Indramayu, yang pada jaman dulu menjadi pelabuhan kerajaan Sunda paling timur).

Gugurlah orang yang punya cara hidup seperti air yang mengalir. Sebab, kini air tidak akan dibiarkan mengalir. Justru akan dibendung, seraya merendam rumah-rumah penduduk, hamparan sawah yang produktif, pun jejak leluhur Sunda.

Banyak situs berupa makam kuna yang dipastikan bakal tergusur waduk. Menurut data dari berbagai sumber, di Jatigede terdapat Situs Leuwiloa, Situs Nanggéwér, Situs Témbongagung, Situs Pasir Limus, Situs Muhara, Situs Marongpong, Situs Nangkod, Situs Sawah jambé, Situs Lameta, Situs Betok, Situs Tanjungsari, Situs Munjul, Situs Keramat Érétan, Situs Ciptawenang, Situs Cigangsa, Situs Gagak Sangkur, Situs Tulang Gintung, Situs Kiaramat Gunung penuh, Situs Karamat Buah Ngariung, Situs Curug Mas (di sini terdapat Situs Komplék Makam Embah Dalem Panungtung Haji Putih Sungklangkrang, Curug Mas, jeung Sumur Bandung.), Situs Cadasngampar, Situs Tanjakan Embah, Situs Sukagalih, Situs Karamat Aji Putih (di sini terdapat Makam Ratu Ratna Inten Nawangwulan, Makam Prabu Aji Putih, Makam Resi Agung), Situs Astanagedé Cipeueut (di sini terdapat Makam Prabu Lembu Agung, makam Embah jalul, jeung makam istri Prabu Lembu Agung.) .

Sungguh peninggalan bersejarah yang tentunya penuh makna, menanti sentuhan tangan para pakar sejarah. Ini juga merupakan masalah serius, yang tidak boleh disepelekan. Sebagai bangsa yang berbudaya, sudah sepatutnya kita memikirkan solusi yang bijak.

Jika pembangunan waduk tetap dipaksakan, maka tidak ada jalan lain, kecuali memindahkan situs-situs tersebut. Sayang sekali, situs Ciptawenang tidak mugkin dipindahkan, karena situs tersebut berupa mata air.

Penulis sempat berbincang-bincang dengan Warma Ali Ajis (68). Beliau adalah juru kunci Situs Ciptawenang. Menurut Warma, mata air tersebut merupakan jejak Nyai Ratu Asih Ranca Omas. Beliau adalah seorang putri kerajaan Nunuk, Majalengka, yang mengasingkan diri ke wewengkon tersebut, demi menjaga perdamaian di tatar Sunda.

Ada beberapa kerajaan yang melamar Ratu Asih, untuk dijadikan permaisuri. Jika Ratu Asih menerima salahsatu di antaranya, beliau khawatir akan terjadi palagan antar kerajaan. Maka, putri jelita dari kerajaan Nunuk memilih untuk berkelana. Pada suatu hari, di tengah perjalanan, Ratu Asih merasa haus.

Sedangkan di tempat tersebut tidak ada air. Namun atas pertolongan Yang Maha Kuasa, tiba-tiba Ratu Asih menemukan mata air yang sangat jernih. Mata air itulah yang sampai saat ini dikenal dengan nama ciptawenang.

Mata air Ciptawenang sangat erat hubungannya dengan para petani. Sebab, pada saat para petani akan mulai menanam padi (usum nyambut), sawahnya suka disiram dulu dengan mata air Ciptawening.

Sebelumnya mereka membuat tumpeng dan berdo’a bersama di sekitar situs Ciptawening. Tentu saja mereka tidak mengkultuskan mata air, karena tetap memanjatkan do’a kepada Alloh SWT. Dengan melaksanakan tradisi seperti itu, kabarnya sawah-sawah menjadi subur dan bebas dari serangan hama.

Jika pembangunan bendungan terwujud, mata air Ciptawaning dan hamparan sawah yang produktif tersebut, akan berubah menjadi waduk Jatigede. Bukan itu saja, tradisi do’a bersama pada usum nyambut tentunya ikut terendam.

Artinya, selain perubahan radikal pada lingkungan, akan terjadi pula perubahan budaya. Waduk Jatigede tentunya diciptakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, tetapi ribuan masayarakat harus angkat kaki dari tanah leluhur yang mereka cintai.

Ada ganti rugi! Dilihat dari namanya saja sudah ‘ganti rugi’. Artinya mengganti kerugian. Berarti kita sepakat bahwa masyarakat telah dirugikan. Apakah tidak ada lagi pembangunan yang tidak merugikan masyarakat?

Mari kita saksikan beberapa waduk di Jawa Barat, kini airnya mulai surut. Ini menandakan ketidak berdayaan waduk menghadapi musim kemarau. Sebagai contoh, kekeringan melanda Puwakarta, yang notabene lokasinya berada di sekitar waduk Cirata dan waduk Jatiluhur.

Apa yang bisa dilakukan waduk untuk membantu krisis air? Boleh saja kita tetap merasa bangga, karena keberadaan waduk sangat berjasa untuk Pembangkit Listrik tenaga Air (PLTA). Namun, bukankah banyak tenaga lain yang bisa digunakan sebagai pembangkit listrik?

Jika di beberapa daerah jawa Barat dilanda kekeringan, sangat kontras dengan musibah banjir di Sulawesi dan beberapa daerah lain di Indonesia.

Saya kira, kekeringan dan banjir merupakan salah satu akibat dari rusaknya alam. Segelintir orang merusak alam seraya mengeruk keuntungan, sementara yang menjadi korban adalah masyakat luas.

Pasca musibah tsunami di Nangroe Aceh Darussalam, negeri kita hampir tiada henti dirundung duka dengan berbagai musibah yang melanda. Meledaknya gunung sampah Leuwigajah, meletusnya gunung Merapi, gempa bumi Yogyakarta, gempa dan tsunami di Pangandaran, banjir di mana-mana, dsb.

Rasanya ini bukan lagi sekedar cobaan, tetapi sudah merupakaan peringatan dari Yang Maha Kuasa. Peringatan agar manusia segera berhenti merusak alam. Bagaimanapun juga, membangun waduk Jatigede merupakan salah satu ‘usaha’ merusak alam.

Rakyat Indonesia mencintai persatuan. Ketika terjadi musibah di sebuah daerah, aksi solidaritas pun mengalir. Banyak elemen masyarakat yang menggalang bantuan untuk korban bencana.

Pada suasana duka tersebut, pemerintah menyiapkan dana lebih dari 2 triliun untuk membangun waduk Jatigede. Persoalan akan semakin betambah, kalau dana tersebut dipinjam dari luar negeri. Artinya, rakyat Indonesia harus bersiap-siap untuk membayar tambahan utang negara.

Mari kita belajar pada Situ Lengkong Panjalu, Situ Ciburuy, atau Situ Patenggang. Situ tersebut tidak menggusur masyarakat, tidak menyisakan utang negara, karena terbangun secara alami.***

Tulisan ini dimuat di rubrik Wacana HU. Pikiran Rakyat, pada 1 Agustus 2006

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post