Catatan DHIPA GALUH PURBA
Ada sisi yang cukup menarik dalam menyoroti kehidupan seorang mubalig. Bagaimanapun, sosok mubalig akan selalu menjadi bahan perhatian umat. Sehingga tidak heran, jika para penulis begitu antusias dalam mengangkat kisah perjalanan atau pemikiran para mubalig besar.
Seperti biografi KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur), KH. Zaenudin MZ, KH. Totoh Abdul Fatah, KH. A.f Gojali, KH. Ismail Hasan Metarium, KH Miftah Farid, dsb. Tidak menutup kemungkinan jika Agus Ahmad Safei pun terilhami oleh biografi para mubalig sebelumnya sehingga terlahirlah sebuah buku yang memuat perjalanan seorang mubalig kondang; KH. Jujun Junaedi, yang sehari-harinya menjadi dosen di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
**
UNTUK menyusun sebuah biografi, bukanlah hal yang baru bagi Agus Ahmad Safei. Sebelumnya, Agus dikenal sebagai specialis penulis biografi. Dari ukiran tangannya, Agus telah melahirkan buku-buku yang memuat tentang riwayat atau pemikiran orang-orang besar.
Contohnya Ensiklopedi Pemikiran Amien Rais (Bandung, Alsina, 1999), From Jombang With Emha (Bandung, Wallohu'alam Presss), Ensiklopedi Pemikiran Goenawan Moehammad (Bandung, Wallohu'alam Press), Ensiklopedi Pemikiran Emha Ainun Najib (Yogyakarta, Qalam, 2002), Negeri Yang Malang, Ensiklopedi Pemikiran Emha Ainun Najib (Yogyakarta, Zaituna, Qalam, 2002), dan lain sebagainya.
Bisa jadi, keseharian Agus, selalu dipenuhi oleh pikiran tentang pemikiran orang-orang besar. Walaupun tidak berarti memposisikan karir kepenulisan Agus sebagai hasil dari 'jerih payah' pemikiran orang lain. Sebab untuk mendalami pemikiran orang lain pun perlu memiliki pemikiran yang tidak bisa dipikir hanya selintas.
Sebut saja, Agus ini adalah seorang penulis pemikir. Perjalanan KH. Jujun Junaedi memang pantas untuk diangkat menjadi sebuah buku. Kendati usianya yang masih muda, namun ia telah memperlihatkan kesuksesannya dalam meraih simpati masyarakat. Format dakwahnya yang merakyat, banyak mengundang perhatian masyarakat. Sehingga tidak usah heran, jika KH. Asep Saeful Muhtadi, MA, menjuluki Jujun sebagai wayang yang menjadi dalang (Dalam pengantar buku biografinya).
Ciri khasnya tidak banyak dimiliki oleh kebanyakan mubalig lainnya. Selain ceramahnya yang selalu menggunakan media bahasa Sunda, Jujun pun sangat pandai membuat guyonan yang menyegarkan. Bahkan tidak menutup kemungkinan, jika di antara masyarakat lebih tertarik pada cara Jujun berguyon. Memang banyak mubalig “Sunda” yang sama pandainya menciptakan suasana segar dalam berceramah, tetapi dalam cita rasanya tentu saja akan berbeda.
Seperti halnya jika dibandingkan dengan sosok Kang Ibing, seorang mubalig yang berlatar belakang pelawak. Keduanya sama-sama pandai berguyon. Namun keduanya juga memiliki daya tarik tersendiri. Baik Jujun atau Kang Ibing, sama-sama mempunyai kelebihan masing-masing.
Perjalanannya Jujun untuk menjadi seorang mubalig, tidak semudah membalikan telapak tangan. Sejak usianya baru empat tahun, Jujun telah mulai menapaki karirnya sebagai seorang 'Ajengan Cilik'. Bahkan cerita tentang lahirnya mubalig cilik, sempat menggegerkan tatar Pasundan. Sekitar tahun 1970-an, nama Jujun telah menarik perhatian umat Islam.
Gebrakannya cukup berhasil. Sehingga pada waktu itu, banyak masyarakat yang membicarakan Jujun sebagai 'anak ajaib'. Hanya saja, sangat disayangkan, dalam biografi ini tidak disertakan potret pada masa Jujun Cilik sedang ngalingling wiati, ngalanglang jomantara. Dan hal itu pun diakui oleh penulisnya. Menurut Agus, tidak disertakannya potret Jujun Cilik dikarenakan adanya suatu musibah yang mengakibatkan dokumentasi potret Jujun Cilik terbakar.
Untuk mencapai kepercayaan dari umat, penuh dengan liku-liku kehidupan. Berbagai halangan dan rintangan telah dilaluinya dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Keberangkatannya dari kota Intan Garut menuju Bandung merupakan salah satu perjuangannya Jujun dalam 'Hijrah Menuju Cahaya'.
Jujun bukan orang berpikiran kolot dan ketinggalan zaman. Dia adalah seorang yang terpelajar. 'Hijrahnya' ke kota Bandung adalah untuk nuntut élmu, nyuprih pangarti di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Gunung Djati Bandung. Masuknya ke Fakultas Ushuludin, jurusan Dakwah, lebih mengasah lagi ketajaman Jujun dalam menuntut ilmu keislaman. Sehingga tidaklah heran ketika Jujun telah menyelesaikan masa studinya, Jujun langsung bisa terjun dan secara beradaftasi dengan masyarakat.
Namanya semakin dikenal dan mengantarkan Jujun kepada kesuksesan. Dan satu hal yang tidak kalah mendukung keberhasilan Jujun yakni dengan memilih Asrama Gomlay (Gombong-Layang) sebagai tempat pemondokannya. Itu pasti. Sebab dari asrama yang dikenal 'Pondok Amal Bakti' tersebut telah banyak melahirkan para sarjana IAIN SGD Bandung yang berhasil dengan gemilang. Di Gomlay, para mahasiswa yang kos, tidak sekedar numpang tidur. Banyak kegiatan positif yang digelar secara rutin dan terbilang sistematis.
Tidak ketinggalan, biografi ini pun banyak menyoroti kehidupan Jujun dari sisi yang sangat pribadi. Salah satu contohnya adalah riwayat perkawinannya. Kendati tidak dijelaskan secara rinci, namun Jujun pernah mengalami kegagalan dalam membina mahligai rumah tangga dengan istri pertamanya; Ina Aryati, seorang gadis 'Asgar'.
Ia adalah adik kelasnya di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Garut. Entah apa penyebabnya.
Pada usia pernikahannya yang hanya berlangsung sekitar empat tahun, Jujun dikaruniai dua orang anak. Sayang sekali, anak pertamanya meninggal dunia ketika berusia delapan bulan. Dan dengan 'berbekal' seorang anak, pada akhirnya Jujun meminang seorang janda yang juga 'bermodal' tiga anak.
Sebut saja namanya Dra Hj. Ice Shofiyatulloh, putri KH. Abdul Gaus Saefulloh M, guru ngajinya sewaktu masih kecil. Bahkan Iceu juga merupakan salah satu sahabat Jujun di masa kanak-kanak.
Membaca sebuah biografi, ada kalanya dihadapkan pada sebuah pertanyaan: Objektip kah pemaparannya? Apakah tuturan buah penanya hanya merupakan 'pesanan dari sang tokoh tersebut'?. Jika mencermati isinya, Agus tidak hanya menuliskan sisi positif Jujun.
Dalam buku ini, Agus juga berani membongkar 'kegagalan' yang dialami Jujun. Bahkan Agus pun tak segan-segan untuk menguak tabir di balik kehidupan seorang mubalig. Bagaimanapun juga, Agus tidak memposisikan KH. Jujun Junaedi dengan segala kesuciannya.
Kendati KH. Jujun Junaedi menyandang gelar seorang mubalig, tetapi Jujun adalah seorang manusia biasa, yang tentunya tak pernah luput dari kesalahan dan kekhilapan. Dan justru kejujuran itulah yang menjadi daya tarik dari buku berjudul Hijrah Menuju Cahaya ini.***
Judul : Hijrah Menuju Cahaya.
Penulis : Agus Ahmad Safei.
Pengantar : KH. Asep Saeful Muhtadi, MA.
Tebal : 182 Halaman.
Penerbit : CV. Pustaka Setia (September 2002)
Komentar