Orang Miskin Berbaju Merah

Catatan DHIPA GALUH PURBA

TANPA warna, niscaya dunia ini tidak akan memiliki makna. Alam telah memiliki warna beserta segala maknanya. Ketika langit berwarna kelabu, kelam, jingga, atau putih berseri, maka di balik warna itu terdapat makna tersendiri yang menunjukkan suatu keadaan.

Sungguh sangat berarti warna bagi manusia. Tidak terkecuali bagi partai-partai, klub sepak bola, grup kesenian, siswa sekolahan, atau barisan tentara dan polisi.

Lantas, bisakah warna membedakan antara orang miskin dan orang kaya? Tentu saja bisa. Seorang raja Majusi pada zaman Khalifah Abu Jafar Al-Manshur,  pernah terserang penyakit telinga yang menjadikannya tuli. Bagaimana jadinya jika seorang raja mengalami penyakit tuli? Terlebih raja tersebut merupakan raja musyrik yang menyamakan Alloh dengan benda-benda lain.

Syahdan, meski telinga raja Majusi tuli, tetapi ia masih bisa mendengar jerit tangis rakyat miskin dan yang ratapan rakyat teraniaya. Solusinya tidak lain adalah: warna.

Raja Majusi memerintahkan agar rakyat miskin dan teraniaya mengenakan baju merah. Tentu saja, selain rakyat yang miskin dan teraniaya, tidak diperkenankan mengenakan baju merah. Hal itu dilakukan agar raja bisa menyaksikan sendiri keadaan rakyatnya, tidak hanya mengandalkan kabar dari perangkat kerajaan, apalagi yang bertipe penjilat. Hampir setiap saat, raja tersebut memantau keadaan rakyatnya, khawatir ada yang mengenakan baju merah.

Ketika program “baju merah” diluncurkan, kerajaan tidak harus repot-repot menyiapkan anggaran untuk dana pendataan rakyat miskin. Oleh karena itu, tidak pernah terjadi rumah pengurus kerajaan yang dilempari batu, dibakar, atau orangnya dianiaya akibat kurang cermat menentukan klasifikasi rakyat miskin. Tidak ada juga rakyat yang antri berdesakan di depan kas kerajaan, untuk mencairkan bantuan langsung tunai.

Di samping itu, ada kesadaran rakyat Majusi untuk mendukung program rajanya. Apa ruginya tidak berbaju merah bagi orang yang tidak merasa miskin dan teraniaya? Pun apa susahnya mengenakan baju merah bagi orang yang merasa miskin dan teraniaya?  Kerja sama antara pemerintah kerajaan dan rakyatnya berjalan dengan baik, tanpa harus menimbulkan huru-hara, tanpa harus mengada-ada.

Jika raja musyrik yang tuli saja masih punya akal sehat untuk mengentaskan kemiskinan,  apalagi seorang “raja” yang merasa dirinya tidak musyrik. Khalifah Abu Jafar Al-Manshur pernah marah besar, ketika beliau dikritik dan dituduh sebagai khalifah yang rakus.

Namun beliau segera merasa malu dan menyadari kekeliruannya, setelah pengkritik tersebut membandingkannya dengan kebijakan raja Majusi. Tentunya tidak harus ikut-ikutan menyuruh rakyat miskin dan teraniaya mengenakan baju berwarna merah. Masih banyak warna lain di dunia ini, selain warna merah. Untuk membedakan rakyat miskin dan tidak miskin, seorang raja dapat memerintahkan untuk mengenakan baju kuning, putih, biru, hitam, dan sebagainya.

*

PADA zaman sekarang, pemerintah terpaksa mengubah harga BBM untuk menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rakyat miskin. Sekali lagi, mengubah, bukan menaikkan harga. Padahal meskipun tidak mengubah harga BBM, pemerintah tetap harus bertanggung jawab mengurus fakir miskin dan anak terlantar, sesuai dengan amanat UUD 1945.

Sungguh aneh jika orang yang tidak tuli, kemudian pura-pura tuli. Sama anehnya dengan orang yang tidak miskin, kemudian pura-pura miskin. Lebih aneh lagi ketika Pak RT dianiaya, rumah Pak RW dilempari batu, kantor kecamatan dirusak, dan berbagai tindakan anarkis lainnya mewarnai kisah penyaluran BLT.

Sudah jelas penyaluran BLT malah menuai banyak masalah, karena kurang tepat sasaran dan tidak merata. Atau memang suasana seperti ini sengaja diciptakan untuk mengalihkan perhatian masyarakat? Agar rakyat tidak melakukan unjuk rasa? Jika bukan begitu, pemerintah sebaiknya mencari cara lain untuk membantu rakyat miskin.

Dengan berubahnya harga BBM, justru angka kemiskinan semakin meningkat. Menurut pakar ekonomi, yang bisa dikategorikan rakyat miskin adalah orang yang penghasilannya di bawah satu juta rupiah. Tapi saya yakin, orang yang punya penghasilan Rp  999.999,- tidak akan dimasukkan dalam daftar penerima BLT.

 Lagi pula, orang yang berpenghasilan sebesar itu, dapat dipastikan menolak jika dikategorikan  orang miskin. Lantas, ukuran seperti apa yang digunakan untuk menentukan kemiskinan?

Ketidakjelasan mengenai kategorisasi orang miskin, pernah diungkapkan Lili, seorang ketua RT di Kampung Simpar, Desa Panjalu, Kabupaten Ciamis. Menurut Lili, jatah BLT untuk lingkungan RT-nya, hanya untuk tiga orang saja.

Sedangkan orang yang pantas menerima BLT,  jumlahnya lebih dari tiga orang. Hal inilah yang seringkali menjadi pemicu masalah. Sebab, selain tiga orang penerima BLT, yang lainnya dilarang keras menjadi orang miskin, meski benar-benar miskin. “Untung saja masyarakat di sini cukup pengertian, sehingga pada umumnya berjalan dengan lancar, tidak sampai terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Masalah memang ada, tetapi Alhamdulillah bisa saya atasi …” begitu kata Lili sambil menarik napas panjang.  Meski tidak terjadi apa-apa, tetap saja Lili  merasakan cape hate.

Warna suram dari penyaluran BLT sudah dan sedang terjadi. Benar, rakyat miskin wajib dibantu. Namun, saya kira masih banyak cara lain yang lebih epektif dan mendidik dalam rangka mengentaskan kemiskinan.

Jangan biarkan orang miskin tetap miskin, apalagi semakin miskin. Berilah kesempatan kepada rakyat miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya. Seperti juga yang sudah diungkapkan oleh banyak penulis, pada intinya membuka lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.

Solusi untuk melawan kemiskinan adalah: Bekerja! Bekerja! Bekerja! Bukan mengharap pemberian cuma-cuma. Pasrah adalah puncak dari segala usaha.

Kalau saya boleh jujur, strategi penyaluran BLT sudah kalah total oleh berbagai acara realty show di layar televisi. Silahkan simak acara-acara seperti “Uang Kaget”, “Rezeki Nomplok”, “Tolooong”, “Bedah Rumah”, dan sebagainya. Lepas dari berbagai kepentingan berkenaan dengan acara-acara tersebut, saya tetap mengacungkan jempol.

Siapa yang akan menyangkal, jika acara tersebut dikategorikan sebagai gerakan membantu rakyat miskin? Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, jutaan rupiah, cukup untuk dijadikan modal usaha. Tidak ada rakyat miskin yang protes, tidak ada ketua RT yang dianiaya, tidak menimbulkan kerusuhan.

Bahkan banyak di antara penonton yang justru merasa terharu, menitikkan air mata. Itulah salah satu contoh bahwa untuk membantu rakyat miskin, tidak harus mengubah dulu harga BBM. Jika acara-acara tersebut mendapat sokongan dana dari para sponsor, apakah pemerintah tidak becus mencari orang-orang kaya untuk menjadi sponsor dalam menggalang dana bantuan rakyat miskin?

Andai saja pemerintah sudah mentok dalam mencari solusi mengentaskan kemiskinan, mungkin strategi “baju merah” ala raja Majusi bisa saja dicoba. Silahkan rakyat yang merasa miskin mengenakan baju merah! Selain rakyat miskin, pakailah baju selain warna merah. Tapi… saya kira, untuk saat ini cara tersebut belum tepat dilakukan. Sebab, saya yakin, presiden kita tidak tuli.***

Bandung, 2006


0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post