Oleh DHIPA GALUH PURBA
BRIPTU Tisna
Ramdani mencari saya. Ia adalah anggota Reserse Kriminal Polda Jabar.
Tentunya saya terkejut. Setidaknya kenangan “sandiwara” pahit masa lalu,
kembali mewarnai ingatan. Saat itu, tepatnya tanggal 24 Agustus 1996, beberapa
orang oknum tentara menculik saya dan beberapa orang kawan demonstran lainnya.
Kami dianiaya tanpa perikemanusiaan di sebuah sudut Pasar Induk Gedebage,
Bandung.
Beruntung mereka tidak membunuh kami, karena selanjutnya
mereka menyeret kami ke kantor polisi, dengan tuduhan menghina ABRI atas
sebuah poster yang berbunyi: “ABRI Pilih Uang atau Rakyat Sengsara?” dan “Yang
Terinjak kini Makin Tersiksa”. Beberapa orang oknum polisi pun mempertontonkan
peran “antagonis” seolah-olah merasa tersinggung—saat itu polisi masih menyatu
dengan ABRI. Beberapa orang oknum polisi mencoba keampuhan pukulannya pada
wajah kami.
Selanjutnya kami bermalam di Polres
Bandung Timur, setelah diberondong bertubi-tubi pertanyaan seputar demontrasi tukang
becak. Saya dianggap sebagai pemimpin demontrasi, yang menolak masuknya angkot
Sekemirung-Panyileukan ke dalam Kompleks Bumi Panyileukan. Saya memandang lebih
efektip angkot Cicadas-Cibiru yang masuk Kompleks, pun tidak sampai malam
hari—kasihan tukang becak.
Polisi hampir tidak percaya, ketika
mengetahui identitas saya—saat itu—baru naik kelas III SMA di Pasundan 7
Bandung. Beberapa orang guru di sekolah menyarankan agar saya di-visum, untuk
mengajukan gugatan penganiayaan. Tapi saya lebih suka menuruti saran Neng Dewi,
siswi SMEA Kiansantang, sahabat dekat saya. Neng Dewi mengajari saya memupuk
kesabaran dan ketabahan, dalam menjalani “sandiwara” hidup ini. “Jangan ada
dendam, Dhipa. Serahkan semuanya kepada Alloh…” begitu kata Neng Dewi.
Hidup ini memang penuh sandiwara. Terkadang diwarnai tangis, haru,
gogonjakan, pertemuan, cinta, dan perpisahan. Detik-detik melaju menyekap jiwa,
yang berontak dipenjara waktu. Sandiwara belum berakhir. Seandainya Neng Dewi
masih ada, tentunya saya mau bertanya, “Wi, kenapa tahun ini pun saya
dicari-cari polisi? Ada apa kira-kira, Pak Tisna Ramdani mencari saya?”
**
TERNYATA Briptu
Tisna Ramdani bukan mau menangkap saya. Beliau hanya minta informasi mengenai
pertunjukan Sandiwara Sunda Gogonjakan (Sasagon). Sudah cukup lama beliau
menjadi fans berat Sasagon, tidak pernah terlewatkan nonton di layar kaca. Dan
beliau sangat berharap untuk menyaksikan secara langsung di Gedung Kesenian
Rumentang Siang (GKRS), Bandung.
“Karcisnya mahal, Pak…” ucap saya, untuk memastikan keseriusan
Tisna. Padahal saya sangat tahu, nonton langsung di GKRS tidak dipungut
bayaran.
“Berapa pun karcisnya, akan saya bayar..” rupanya Tisna memang
benar-benar tertarik mau nonton Sasagon, di tengah kesibukannya mengungkap
berbagai kasus kriminal.
Saya numpang mobilnya Tisna menuju
GKRS. Sepanjang jalan, saya disuguhi alunan kawih Mang Koko lewat tape
mobilnya. Akhirnya saya menyimpulkan bahwa Tisna benar-benar menyukai kesenian
yang berbau tradisional Sunda.
“Lho, koq tidak bayar?” Tisna mengerutkan
keningnya, ketika masuk ke dalam GKRS.
“Sama saya mah tidak usah
bayar, cukup beli rokok saja dua bungkus,” jawab saya.
“Rokok buat siapa?”
“Buat saya sebungkus, buat
persediaan sebungkus…”
“Persediaan gimana?”
“Iya, nanti, kalau rokok saya sudah
habis, biar tidak usah minta lagi,”
“Sialan…” Tisna tertawa dan langsung
mengerti gurauan saya.
Tisna Ramdani bukan satu-satunya polisi yang suka nonton Sasagon.
Ada juga beberapa orang polisi lainnya yang sengaja nonton langsung ke GKRS.
Antusias masyarakat pada pertunjukan Sasagon tampaknya cukup menggembirakan.
Setiap kali Sasagon manggung—sekaligus proses shooting—ruangan GKRS
selalu dipadati penonton. Bahkan ada yang rela berdiri, karena tidak kebagian
kursi.
Kehadiran Sasagon merupakan terobosan
baru yang sanggup mendobrak kebekuan Sandiwara Sunda selama ini. Sasagon lahir
di saat masyarakat sudah terpukau oleh berbagai pintonan di layar kaca.
Ia harus bersaing ketat dengan acara-acara menarik lainnya yang dipidangkeun
televisi. Dan ternyata Sasagon berhasil menyedot perhatian pemirsa, dengan daya
tarik tersendiri. Jutaan orang menertawakan Sasagon—dengan penuh kekaguman.
Ada tiga hal yang mendongkrak
kesuksesan Sasagon. Yakni kemasannya, personilnya, dan rutinitasnya. Ketiganya
saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lainnya.
Kemasan Sasagon yang ngindung ka
waktu, ngabapa ka jaman, sangat “pas” dengan “trand” tontonan zaman
sekarang. Tanpa harus kehilangan identitas kesundaan, Sasagon tampil dengan
konsep banyolan segar yang penuh kritikan sosial; mudah dimengerti;
menggelitik; mengundang tawa.
Masyarakat di “Nagara Sasagon”
dituntut untuk memiliki kemampuan ber-improvisasi (dialog atau adegan
sepontanitas). Artinya para pemain Sasagon harus cerdas, sebab tidak semua
aktor memiliki kemampuan ber-improvisasi. Saya yakin, konsep ceritanya memang
sudah di-plot dengan matang. Namun dialog dan pengadegannya sarat dengan
improvisasi. Bahkan hampir setiap manggung, selalu saja ada hal menarik yang
justru ke luar dari skenario—diakui dalam dialog aktornya.
Kehadiran pemain sasagon yang sudah
dikenal masyarakat, menjadi daya tarik tersendiri. Sebut saja Asep Taruna atau
Dadan Sunandar, yang dikenal sebagai dalang wayang golek. Masyarakat pun mulai
akrab dengan wajah Deni “Pohang”, Dadang “Daus” Usman, Popon Tembem, Anton, dan
sebagainya. Aktor sasagon telah berhasil membangun karakternya masing-masing.
Kata orang tua di kampung saya, lamun
hayang matih, kudu matuh. Hal itu terbukti juga pada proses perjalanan
Sasagon, yang menjalankan rutinitas
pergelarannya secara konsisten. Peran TVRI Jabar dan Banten, sangat besar dalam
memperkenalkan Sasagon. Logikanya, jika di GKRS hanya disaksikan ratusan
penonton, maka pemirsa televisi bisa mencapai jutaan orang. Saat ini, tayangan
Sasagon sudah menjadi tontonan favorit masyarakat Sunda, baik di kota atau
pedesaan. Kang Daus harus bersiap-siap dikerubuti fans Sasagon, kalau
suatu saat misalnya berkunjung ke kampung saya.
**
BEBERAPA waktu yang lalu, saya membaca sebuah kolom Holisoh M.E yang
berjudul “Ka mana Sandiwara Sunda?” (Swara Cangkurileung, edisi 163,
Juni 2005). Isinya cukup mengejutkan, karena semacam “curhat” kerinduannya pada
Sandiwara Sunda (SS), yang ditujukan kepada saya.
Ternyata beliau adalah seorang maniak SS, sejak usianya masih remaja.
Sekitar tahun 1964, Holisoh (Ceu Olis)
suka menonton SS di daerah Dangdeur. Bahkan pait-peuheur nonton SS
pernah dialami Ceu Olis. Beliau yang saat itu tinggal di Cileunyi, harus main
“kucing-kucingan” dengan orang tuanya, setiap kali mau nonton SS. Sebab, kalau
pun minta izin, pasti tidak akan dijurungkeun (maklum saat itu Ceu Olis
masih perawan).
Pada saat pulang nonton SS, Ceu Olis juga harus ngadedeluk
menunggu oplet. Beliau tidak berani
jalan kaki, karena zaman dulu, sepanjang
Jalan Rancaekek-Cileunyi sangat pikakeueungeun. Jauh berbeda dengan
keadaan zaman sekarang.
“Lamun entas lalajo
sandiwara, peutingna Teteh sok ngalamun bari ngabayangkeun jadi putri saperti
anu geus dilalajoanan tea; bajuna hurung-herang, mastaka make makuta emas, buuk
panjang pinuh ke kembang sedep malem. Mapah andalemi kalayan nyaritana oge
ancad laer, ngagedengkeun raja nu kasep tur gagah…” begitu di antara isi
tulisan Ceu Olis.
Kolom Ceu Olis sepertinya akan lebih apdol jika ditujukan
kepada Wa Kabul, Yayat Ras, Edeng Kertapriatna, Aji Kurnia, Maman
"Esex" Sutarman, atau Dadang Reza. Kendati demikian, tulisan Ceu Olis
membuka kembali memori saya tahun 1999, saat masih aktif di Paguyuban Sandiwara
Sunda Bandung (PSSB).
Saat itu PSSB terdiri dari SS; Ringkang Gumiwang, Dewi Murni, Sri
Murni, dan Victa. Saya sendiri bergabung dengan Ringkang Gumiwang. Kehidupan SS
sangat memprihatinkan, jauh berbeda dengan ilustrasi SS zaman Ceu Olis. Hampir setiap malam Minggu, SS digelar di
GKRS. Lakon yang disuguhkan memang
hampir mirip dengan SS zaman Ceu Olis, seputar cerita klasik atau pawayangan.
Saperti “Jaka Sundang”, “Jabang Tutuka”, “Hanoman Trigangga”,
“Palagan Galuh”, “Lutung Kasarung”, “Srikandi Kawisaya”, “Aji Setra Geni”, dsb.
Namun hampir setiap pergelaran, peminatnya bisa dihitung dengan jari. Memang
PSSB juga pernah ikhtiar untuk tampil di layar kaca. Sayang sekali, tidak
konsisten menjaga rutinitas tayangannya.
**
APA yang diceritakan Ceu Olis, tidak jauh berbeda dengan pengalaman
Aan Merdeka Permana (Pengarang dan wartawan Galura). Seandainya dulu Ceu Olis bertemu dengan Kang
Aan, tentunya akan menjadi balad nongton SS.
Hampir dua jam, saya mewawancarai Kang Aan, seputar SS zaman beliau
masih muda. Kang Aan ngalanggan nonton SS di Liberty, Cahaya, Taman
Gumbira, Bioskop Tripoli, dsb. Menurut Kang Aan, grup SS yang paling beken adalah Sri Murni.
Bahkan ada anggapan, Sri Murni merupakan tontonan kelas elit, sebab
karcisnya agak mahal. Meskipun mahal, Kang Aan tetap nonton, karena sudah kabungbulengan
SS. Selain Sri Murni, Kang Aan juga suka nonton SS Miss Euis Muda,
Sriwedari, dsb.
SS Sri Murni sangat populer, karena didukung oleh para pemain
yang “berkaliber”. Contohna Kang Usman (alm), yang pernah menjadi juara ibing
satatar Sunda. Banyak para penonton yang tergila-gila oleh Kang Usman, karena
selalu memerankan tokoh satria (dalam
lakon roman) atau jadi tokoh Arjuna (dalam cerita pewayangan). Tidak jauh
berbeda dengan Kang Aman, yang menjadi idola dari SS Miss Euis Muda.
Dari penuturan Ceu Olis dan Kang
Aan, bisa kapaluruh bahwa lakon SS yang sering dipentaskan
berkisar babad, pewayangan, dezig, dan roman. Cerita Misteri juga
merupakan tontonan favorit, seperti “Beranak dalam Kubur”, “Mistéri Kain
Kapan”, “Si Manis Jembatan Ancol”, “Kuntilanak Waru Doyong”, “Jembatan Sirotol
Mustaqim”, dsb.
Jika Ceu Olis suka mengumbar
imajinasi menjadi putri atawa
prameswari, maka Kang Aan bukan lagi menghayal. Kang Aan dan kawan-kawannya
suka mempraktekkan langsung dalam kaulinan barudak sasandiwaraan. Kang
Aan dan teman bermainnya, selalu berebutan untuk memerankan tokoh satria atau
Arjuna, seperti Kang Usman atau Kang Aman.
**
TANGGAL 07 Méi
2005, saya mengunjungi Gedung Kesenian Miss Tjitjih, yang terletak di Jln.
Cempaka Baru IV, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Saya sengaja memilih malam
Minggu, agar bisa menonton SS .
Saya sempat terkagum-kagum ketika pertama kali memasuki halaman
Gedong Miss Tjitjih.. Bangunan megah tersebut didirikan di atas tanah
seluas 4000 m2. Terdiri dari bangunan dua lantai, dengan panggung seluas
15 x 4 M2, Kursi lipat penonton,
berjumlah 234. Lengkap dengan fasilitas lainnya, seperti kamar rias,
toilet, dsb. Di belakang gedung
kesenian, dibangun juga asrama yang berjumlah 20 kamar, rata-rata berukuran 5 x
4 M2. Gedung kesenian yang menghabiskan
dana Rp 14 miliar ini, diresmikan oleh
Presiden (saat itu Megawati Soekarnoputri), tanggal 26 Maret 2004.
Malam Minggu yang cerah itu, Miss Tjitjih menggelar lakon SS “Setan Kridit”. Penontonnya tidak sampai limapuluh orang.
Meskipun karcisnya hanya Rp 10.000,-,
tetapi masyarakat sekitar tampaknya tidak begitu tertarik pada SS Miss
Tjitjih. Saya pikir wajar, karena gedung
kesenian tersebut berdiri di lingkungan masarakat Jakarta. Namun, apakah
penontonnya akan membludak, jika berdiri di Jawa Barat? Belum tentu juga.
Ada banyak hal yang perlu dibebenah
(lagi) oleh Miss Tjitjih. Di antaranya masalah publikasi dan pengemasan.
Meskipun Miss Tjitjih sudah memiliki ciri khas yang populer sekitar tahun
1920-1970, tetapi zaman sekarang belum
menemukan pola yang “pas” untuk menarik perhatian masyarakat.
Ada baiknya Miss Tjitjih berikhtiar
mengundang nonoman jebolan STSI Bandung, Hendra Permana alias
Oding, yang dikenal sebagai personil
Longser Antar Pulau. Namun masalah publikasi belum digarap dengan serius.
Setiap Miss Tjitjih mau manggung, masih mengandalkan cara yang konvensional,
yaitu menggunakan “hallow-hallow”,
seperti yang ditemui pada zaman Ceu Olis.
Ketika Miss Tjitjih menggelar SS, dengan didukung oleh artis; Dewi
Gita, Dedi “Miing” Gumelar, atau Maudy
Kusnadi, terbukti peminatnya sangat banyak. Oleh karena itu, tidak ada salahnya
jika Miss Tjitjih memikirkan lagi konsep pergelaran SS yang melibatkan para
artis, khususna artis asal Jawa Barat, saperti Rieke Diah Pitaloka. Bukan
berarti Miss Tjitjih tidak “PD”, tetapi
kenyataan zaman sekarang tidak bisa dipungkiri, bahwa mata masyarakat akan mendadak “awas”
kalau menyaksikan selebritis. Miss Tjitjih juga harus berusaha mencari jam
tayang rutin di layar kaca. InsyaAlloh masyarakat akan lebih cepat mengenal
kembali Miss Tjitjih.
Tidak adil
jika membandingkan penonton SS zaman dulu dengan zaman sekarang. Sebab, dulu
belum marak televisi swasta. Adapun tontonan TVRI sangat monoton dan kurang
menarik. Tentunya masyarakat akan mencari hiburan yang lebih menarik untuk
ditonton. Berbeda dengan zaman sekarang, disaat televisi berlomba-lomba
menyuguhkan kemasan acara yang mempesona. Masyarakat lebih memilih berbagai tontonan praktis; tidak usah ke luar rumah dan gratis. Sangat
wajar jika peminat SS berkurang.
Lantas kenapa tiba-tiba Ceu Olis merindukan SS yang seperti zaman
dulu? Saya yakin, bukan hanya Ceu Olis dan Kang Aan, yang memiliki nostalgia
Sandiwara Sunda. Namun yang lebih penting, saya pikir jangan-jangan kerinduan
Ceu Olis itu kahudang setelah menyaksikan pintonan Sasagon.***
Komentar