Oleh DHIPA GALUH PURBA
KERETA Api terlambat dua jam, orang Sunda tidak mau membaca pers bahasa rasa. Dengan ungkapan tersebut—yang akan diuraikan dalam artikel ini—izinkan saya menanggapi wacana seputar pers Sunda (baca: pers bahasa Sunda) yang belakangan ini kian menghangat.
Hampir semua tulisan yang tersebar di berbagai media massa menunjukkan keterpurukan pers Sunda, seolah-olah ia telah terpasung di ruang gawat-darurat setelah sekian lama hanya bernostalgia, mengenang masa-masa kejayaannya.
Bagaimanapun juga dialog tentang pers Sunda seperti barang asing di hadapan masyarakat Sunda, sebagaimana keasingan mereka terhadap media berbahasa Sunda.
Meski wacananya menghangat, tetapi nasib pers Sunda hanya menjadi kegelisahan beberapa orang saja, terutama kalangan sesepuh yang pernah berkecimpung dalam pers Sunda, atau mereka yang suka ngumbar panineungan (bernostalgia) ke masa silam. Dan dialog dari kegelisahan tersebut hanya membuahkan pemikiran lama tanpa ada realisasi yang lebih konkrit, sehingga sampai hari ini pers Sunda masih dikabungi suasana pesimistis.
Ketika pers nasional dan pers dunia berpacu dalam kecepatan, ketepatan dan keakuratan berita dengan memanfaatkan teknologi komunikasi, pers Sunda masih sibuk mengurusi dapur sendiri; bagaimana membenahi SDM, memperbaiki manajemen dan memikirkan hidupnya agar tidak hirup teu neut paeh teu hos (hidup segan mati tak mau).
Persoalan intern-ekstern yang menyebabkan pers Sunda gering nangtung ngalanglayung, tentu sudah dapat kita duga. Untuk sekedar mengulangi pemikiran lama, penyebabnya adalah kurangnya investasi (modal), lemahnya manajemen, kurangnya kesejahteraan karyawan (para pengelola pers Sunda), lemahnya SDM (berkorelasi dengan kesejahteraan), dan setumpuk persoalan lainnya. Selain itu ada juga pengaruh transpormasi sosial-budaya dan penyempitan bahasa Sunda di kalangan masyarakat Sunda yang menyebabkan penurunan oplah media cetak berbahasa Sunda.
Nasib pers Sunda semakin buram, ketika hampir tidak ada lagi yang bisa dinikmati masyarakat dengan adanya media berbahasa Sunda. Pers Sunda bisa dikatakan monoton, konvensional, tidak menarik perhatian pembeli. Apalagi saat ini masyarakat kita sudah terpukau oleh berita serba cepat, yang bisa didapat dari televisi tanpa harus membayar biaya langganan.
Kemunduran pers Sunda berawal dari tersisihnya bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasi masyarakat Sunda. Ada generasi yang terputus dalam pewarisan bahasa Sunda. Orang tua enggan mengajari putra-putrinya menggunakan bahasa Sunda, karena dianggap tidak penting.
Akhirnya para nonoman pun lebih bangga menguasai bahasa internasional daripada bahasa ibunya. Jika keadaannya sudah demikian, maka bahasa ibu pun bisa tergeser, dan akan semakin sulit mengenali bahasa Sunda.
Tentu saja ketika dihadapkan pada pers Sunda, tidak mustahil timbul anggapan bahwa bahasa jurnalistik Sunda sulit untuk dipahami, terlalu berbelit-belit atau sebatas permainan kata belaka. Maka antusias untuk membacanya menjadi menurun.
Apalagi jika kata "tidak perlu" ikut memperburuk kondisi tersebut. Tidak ada jalan lain, kebekuan tersebut harus segera dicairkan. Bahasa Sunda adalah bahasa rasa, yang bisa menyentuh mamaras rasa orang Sunda.
Mengamati kompleksnya permasalahan pers Sunda, timbullah pertanyaan dalam benak saya: apakah pers Sunda masih dapat diselamatkan? Sulit untuk membayangkan kondisinya 30 tahun yang akan datang. Ketika orang-orang tua yang dengan kesetiaannya memajang koran/majalah Sunda sebagai kebanggaan sudah meninggal, siapa pelanggan berikutnya? Dan ketika para redaktur kahot sudah pensiun, siapa yang akan mengelola pers Sunda?
Regenerasi merupakan bagian terpenting untuk mempertahankan kehidupan pers Sunda yang lebih panjang. Membikin regenerasi pers Sunda bukan pemikiran baru, namun sampai saat ini pemikiran tersebut hanya menjadi penghuni kepala orang-orang yang suka berpikir. Tidak ada upaya yang lebih konkrit untuk menciptakan generasi baru tersebut.
Di Jawa Barat, terdapat ratusan atau bahkan ribuan kawan-kawan mahasiswa yang mempelajari jurnalistik. Berapakah di antara mereka yang tertantang untuk menggeluti pers Sunda? Tentu jumlahnya sangat sedikit. Kalaupun ada kawan mahasiswa yang mengadakan job training di perumahan pers Sunda, hampir tidak ada yang tertarik untuk terus menekuninya. Mereka hanya menganggap pers Sunda sebagai tempat bereksperimen.
Kalau pers Sunda dapat merangkul mereka, menumbuhkan kecintaannya, ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh. Pertama, mereka lebih memahami kehendak generasi muda umumnya, sehingga pers Sunda mengetahui medan yang akan ditempuhnya kelak.
Kedua, idealisme mereka cukup tinggi, sehingga—untuk sementara—kesejahteraan bisa menjadi nomor dua. Ketiga, penguasaan mereka terhadap bidang lain yang berhubungan dengan pers, misalnya dunia cyber, desain grafis dan sebagainya, dapat membantu kemajuan pers Sunda di masa yang akan datang.
Kendati demikian, bukan berarti pers Sunda harus diformat sesuai keinginan generasi muda. Namun upaya menarik perhatian mereka, misalnya dengan mengadakan Lomba Menulis Artikel Pers Sunda, pengenalan pers Sunda di perguruan tinggi dan sekolah, dapat memberikan suasana baru.
Mereka juga seharusnya diberi keleluasaan untuk menggunakan bahasa Sunda yang demokratis, tidak dikekang dengan aturan itu-ini, tidak dibebani dengan tumpukan undak-usuk. Biarlah mereka menggunakan bahasa Sunda apa adanya, walaupun tidak "nyunda", daripada tidak sama sekali.
Memang orang-orang yang arogan dan menganggap bahasa Sunda mereka paling benar, akan menganggap upaya ini sebagai awal perusakan bahasa Sunda.
Namun, agar generasi muda kembali tertarik terhadap bahasa Sunda, diperlukan sebuah proses, dan tentu kita harus lebih memahami dunia mereka. Untuk itu, wahai generasi muda, gunakanlah bahasa Sunda yang kalian pahami, kelak kalian akan mengetahui bahasa Sunda yang baik dan benar, sebagaimana kalian memahami bahasa-bahasa lainnya!
Sekali lagi, kita sangat mengharapkan bayangan Otonomi Daerah dan penerapan Perda Jabar No. 5 tahun 2003 dapat memperbaiki nasib pers Sunda, demikian pula bayangan regenerasi. Benarkah Pers Sunda ketinggalan kereta? T
idak sepenuhnya benar, karena kereta api di negeri kita sering terlambat? Kalaupun benar-benar ketinggalan, masih ada kereta senja yang insyaAlloh akan segera tiba. Pers Sunda tidak boleh putus asa! Jalan panjang masih terbentang selama semangat juang masih bersarang.
Dan kelak, kalaupun pers Sunda harus disemayamkan, kita tetap bisa bangga karena sudah berikhtiar. Kematiannya akan khusnul khotimah, arwahnya akan tenang di alam sana, dan kehidupannya akan dikenang orang sebagai bagian dari peradaban manusia.***
Komentar