Hiduplah Sastra Sunda Raya


Catatan DHIPA GALUH PURBA


Sederhana saja. Jika suatu bahasa terancam punah, maka jangan bermimpi bisa ‘merayakan’ bidang sastranya. Seperti terjadi pada sastra semut, yang kini sudah tak tentu arah rimbanya. Padahal konon menurut cerita para orang tua, bahwa semut pun bisa berbicara dan mempunyai bahasa tersendiri.

Buktinya Nabi Sulaiman bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa semut. Sayang sekali, bahasa tersebut tidak bisa dipelihara dan dilestarikan keberadaannya. Saat ini bahasa dan sastra semut –mungkin- hanya milik kalangannya sendiri.

Tidak bisa dinikmati oleh bangsa lalat, nyamuk, cecak, dsb. Bahkan tak menutup kemungkinan, di dalam dunianya sendiri pun, bahasa semut sudah musnah. Terbukti oleh ‘kekurang koordinasian’ sesama semut. Contoh kecilnya, ketika seekor semut berhasil ‘meloloskan diri’ dari  genangan air kofi, ternyata besoknya masih ada semut-semut lain yang mencoba memasuki ‘kawasan rawan maut’ tersebut.

Antara semut dengan manusia, memang sangat berbeda. Tapi pada dasarnya, baik semut atau pun manusia, sama-sama makhluk Alloh SWT. Kendati manusia mendapat anugerah dari Alloh SWT sebagai makhluk yang paling mulia, namun semut pun tetap saja berhak mendapatkan suatu ruang untuk hidup.

Lalu apa hubungannya antara Sastra Semut dan Sastra Sunda? Yang tampak hanya sama hurup awalnya ‘S’ dan –sama-sama- terdiri dari lima huruf. Selebihnya tidak ada. Kendati ada sebuah syair lagu anak-anak yang berbunyi ‘Semut-semut nakal, saya mau tanya, apakah kau di dalam tanah, tidak takut mati? Oe…oe… itu jawabmu…’, kelihatannya jelas sekali hanya merupakan sebuah dialog yang tidak komunikatif.

Namun hal itu menunjukan bahwa pada dasarnya manusia pun ingin berkomunikasi dengan semut. Tidak menutup kemungkinan, jika beberapa abad mendatang bisa ditemukan (kembali) bahasa yang akan menjalin komunikasi antara semut dan manusia.

***

Sastra Sunda saat ini sedang ada dalam keadaan yang ‘mengkhawatirkan’. Sebab ‘Anak Tanah Sunda’ sendiri, sudah hampir tidak mengenal bahasanya. Baik di lingkungan masyarakat –apalagi- di lingkungan pendidikan, orang Sunda sudah merasa ‘gengsi’ berbicara menggunakan bahasa Sunda.

Kalaupun ada yang membantah tuduhan ‘gengsi’, maka jawaban yang –sudah klise- tiada lain; Takut salah, sebab dalam bahasa Sunda ada undak-usuknya. Takut dikatakan tidak sopan. Takut dicap tidak beradab.

Dan berbagai ketakutan-ketakutan lain, sehingga memilih untuk tidak menggunakannya sama sekali. Maka –jika hal ini dibiarkan- lambat laun, bahasa Sunda akan kian ditakuti. Lalu pada akhirnya niscaya akan terlupakan.

Kalau begitu, tak ada salahnya juga sekarang ini –sudah saatnya- memikirkan bagaimana menuntaskan masalah undak-usuk basa Sunda. Suatu format warisan Mataram, yang menjadikan urang Sunda terbagi menjadi beberapa tingkatan status sosial. Menak, agak menak,  cacah, agak cacah, dsb. Jelas, mesti ada terobosan baru untuk ‘membubarkan’ undak-usuk basa Sunda.

Bisa jadi, yang menyebabkan keadaan bahasa dan sastra Sunda seperti sekarang ini, lebih disebabkan para intelek sastra Sunda. Seperti pendapat yang dikemukakan Abdullah Mustapa –pada Saresehan Sastra Sunda, 31 Desember 1999 di Paguyuban pasundan-.

Menurut Abdullah, para tuturus yang mau menghidupkan sastra Sunda, seperti yang langlayeuseun. Kendati saat ini di sekolahan masih ada pelajaran bahasa Sunda, namun sastra Sunda sudah tidak dibaca lagi oleh anak-anak sekolah. Memang seperti itu adanya. Sangat berbeda dengan jaman dulu, ketika murid-murid sekolah 'dipaksa' oleh gurunya untuk membaca buku-buku sastra Sunda.

Ada semacam tradisi yang ‘terlupakan’ dalam menanamkan bahasa Sunda. Diakui atau tidak, yang sampai saat ini masih konsisten menggunakan bahasa Sunda, tiada lain berada di wilayah Pesantren Tradisional (Jawa Barat dan Banten).

Baik dalam bahasa pengantar pendidikan atau bahasa sehari-hari, di lingkungan pesantren lebih banyak menggunakan bahasa Sunda. Sedangkan di lingkungan formal pendidikan (sekolahan), penggunaan bahasa Sunda semakin berkurang kuantitas dan kualitasnya.

Maka dari itu, wajar saja jika saat ini Bahasa Sunda semakin tidak diminati oleh masyarakat Sunda-nya sendiri. Dan bagaimana nasibnya dengan sastra Sunda, jika bahasa Sunda-nya sendiri dalam kondisi ‘kriitis’ seperti itu?

Ajip Rosidi  pernah berkata –pada sambutan pemberian Hadiah Sastra Rancage 1989-, bahwa kehidupan sastra tidak bisa bisa diukur hanya dari salah satu unsur saja. Sebab kehidupan sastra Sunda hanya bisa dikatakan maju, jika semua unsur sudah memperlihatkan kemajuannya.

Para pembuat karya sastra Sunda –atau sebut saja pengarang- tulisannya semakin berkualitas. Para penerbit –baik berupa buku atau media massa- semakin banyak dan kian membuka peluang besar bagi para pengarang baru.

Dan yang ketiganya -tentu saja- para kuantitas pembacanya semakin bertambah banyak. Sebab sastra Sunda tidak akan bisa memasyarakat, jika tiga unsur tersebut tidak berjalan dengan dinamis. Apa lagi kalau salah satunya tidak ada.

Walaupun para pengarang semakin produktif membuat karya sastra, tapi kalau tidak ada yang menyampaikannya (buku atau media massa), mustahil ada yang akan membaca (Kecuali Pengarang-nya sendiri).

Begitu juga, kalaupun puluhan atau bahkan ratusan sampai ribuan buku Sastra Sunda diterbitkan setiap taun –pleus- ditambah dengan maraknya media massa Sunda. Tetap saja belum tentu bisa hidup, jika masarakat-nya sendiri kurang berminat terhadap karya sastra Sunda.

Lalu bagaimana sebenarnya kondisi sastra Sunda saat ini? Apakah masuk pada kategori maju, mundur, atau jalan di tempat? Tentu saja bisa langsung terjawab dengan cara meneropong tiga unsur yang telah disebutkan di atas.

Saat ini, Pengarang yang masih produktif menulis, kebanyakannya masih tetap itu-itu juga. Kalaupun ada yang bermunculan satu atau dua orang pengarang muda, selanjutnya melempem lagi. Media massa –yang menyediakan lahan- Sastra Sunda, sampai saat ini masih terbilang ada.

Sebut saja Majalah Mangle, Seni Budaya Cangkurileung, KSM Galura, Giwangkara, Kudjang, dsb. Namun dalam hal ini, redaktur sastra media tersebut, kurang aktif dalam mencetak para pangarang baru. Banyak pengarang Sunda entragan anyar yang 'prustasi' akibat karyanya tidak dipandang sebelah mata.

Atau bisa juga para pengarangnya yang pasif, dengan alasan –misalnya- karya sastra Sunda, belum bisa ‘dibayar’ oleh honor yang memuaskan. Paling juga hanya cukup untuk buruh mengetik dan membayar utang rokok ke warung saja.

Sehingga sangat lumrah, jika para Pengarang, tidak berjuang mati-matian untuk membuat karya sastra Sunda. Itu pasti, sebab tak dapat dipungkiri bahwa para pengarang tidak mungkin bisa hidup dengan idealisme.

Kendati ada yang tetap produktif berkarya pun, pasti hanya dijadikan sebagai sambilan (sampingan) saja. Tidak menjadi suatu pekerjaan yang terfokus. Kebanyakannya mereka (para pengarang, red) memiliki pekerjaan lain yang lebih diandalkan untuk mencukupi kehidupannya. Dan itu lebih baik, daripada pengarang yang menulis sastra Sunda sekedar tamba ngalamun. Sebab kualitasnya juga bisa terukur, jika menulis karya sastra, hanya sekedar dapon henteu.

Memperhatikan perkembangan terakhir kehidupan sastra Sunda sekarang, tampak ada suatu usaha untuk membangkitkan (kembali) gairah sastra. Contohnya Panglawungan Girimukti (PG), yang berusaha secara aktif menerbitkan buku-buku sastra.

Bahkan bukan hanya itu saja, PG secara kontinyu melaksanakan kegiatan –semacam- diskusi sastra Sunda atau bedah buku. Tahun 2002 juga ada semacam surprise dari Kelompok Pecinta Sastra (KPS) Bandung, yang mengadakan sayembara menulis carpon (carita pondok) mini, dengan hadiah jutaan rupiah.

Tak urung, aksi kepedulian Komunitas Tionghoa ini, bisa mewarnai gairah Sastra Sunda. Sebab hasil dari ajang sayembara tersebut, diterbitkan dalam sebuah buku antologi carpon mini. Kabarnya kegiatan semacam ini akan dilaksanakan setiap tahun oleh KPS. Berarti akan menambah daftar penghargaan sastra Sunda lainnya, seperti Rancage, Samsudi, LBSS, Paguyuban Pasundan, Carpon Pinilih Mangle, dsb.

Bagaimana dampaknya terhadap kemajuan sastra Sunda? Nampaknya belum terlalu memuaskan. Kendati ‘rayuan’ hadiah sastra  tersebut cukup menggiurkan, tapi pengarang yang muncul, tetap saja didominasi oleh nama-nama pengarang yang sama. Entah kualitas pengarang baru yang masih diragukan, atau memang kurang memberi lolongkrang  (kasempatan) kepada pengarang entragan anyar.

Semangat juang pengarang muda saat ini, patut diberi acungan jempol. Kendati para penerbit –lebih mengutamakan- pengarang lama, namun tidak menjadi suatu alasan untuk kehilangan akal.

Bahkan tidak kalah optimis dibandingkan dengan semangat pengarang –waktu itu- muda,  Eddy D Iskandar, Juniarso Ridwan, dan Yoseph Iskandar, yang sejak taun 80-an, para penyajak tersebut sangat optimis, jika sastra Sunda akan mekar, sesuai dengan perkembangan zaman (dalam buku Antologi Puisi Sunda Mutahir, Durma Kangka, Bandung, 1980). Dan untuk tahun 2000-an ini, sebut saja misalnya Oom Somara De Uci, yang menerbitkan buku antologi carpon Islami-nya (Astrajingga Gugat), dengan menggunakan modal sendiri. Atau juga Dian Hendrayana, yang menerbitkan buku ‘Lalakon Bingbang’ dengan modal sendiri pula.

Dan masih banyak pengarang muda lainnya, yang secara ikhlas mengorbankan materi, demi keberlangsungan sastra Sunda. Tanpa memikirkan resiko yang –sudah dipastikan- akan merugi. Tentu saja, sebab hampir semua jenis buku bacaan sastra Sunda, memang kurang laku di pasaran.

Menurut Ajip Rosidi, yang menyebabkan sulitnya laku di pasaran itu, dikarenakan toko buku-nya yang pasif. Tapi kalau diteliti lebih jauh lagi, ternyata bukan hanya toko bukunya saja yang pasif, justru calon pembelinya pun sama pasifnya.

Masuk pada masalah ‘masyarakat pembaca Sastra Sunda’, maka akan menimbulkan sebuah pertanyaan. Siapa atau golongan mana sebenarnya yang suka membaca sastra Sunda itu? Iya, siapa? Ahid Hidayat pernah memberikan jawaban yang  cukup ‘menyakitkan’ -pada acara ‘Dialog Sastra Sunda Taun 1999 di Paguyuban Pasundan-.

Dikatakannya bahwa yang membaca sastra Sunda itu adalah (hanya) pengarang dan redaktur sastranya saja. Benarkah seperti itu? Bisa jadi. Tapi kalau memperhatikan keadaan di lapangan, tampaknya tidak seburuk itu. Sebab sampai sekarang, masih banyak masyarakat pembaca, yang merasa enjoy membaca karya sastra Sunda pada buku Sunda atau media massa.

Pandangan Masyarakat Terhadap Sastra Sunda.
Salah satu kendala yang menyebabkan kurang berkembangnya Sastra Sunda, diantaranya bisa jadi diakibatkan masarakat-nya sendiri yang belum mengenal sastra. Seperti kata seorang pembaca -sebut saja namanya Jang Among- yang sehari-harinya menjadi kuli besi,  bahwa sastra sunda itu adalah carpon-carpon Godi Suwarna yang membuat jangar sirah.

Atau sajak-sajak Chye Retty Isnendes yang terdiri dari kata-kata araraheng. Berbeda lagi dengan ‘pandangan kritis’ Abah Tiktik (seorang dedengkot kasenian pantun Sumedang). Dikatakannya bahwa yang disebut sastra Sunda itu adalah bahasa-bahasa yang murwakanti (dan Abah Tiktik langsung membacakan contoh-contohnya).

Tapi tak usah dituliskan di sini. Sebab Neng Lina dipastikan tidak akan setuju. Menurut Neng Lina, sastra Sunda itu adalah karya besar dari penulis besar yang harus asli orang Sunda. Tentu saja dibantah dengan tegas oleh  Si Buruy, yang beranggapan bahwa Sastra Sunda itu tidak mutlak harus karya orang Sunda.

Bisa orang mana saja, yang penting berbahasa Sunda, dan pengarangnya mesti memiliki nama yang ada unsur ‘sastra’nya. Misalnya Soeria Di-sastra, Ardi Wi-sastra, Ahmad Sastra-atmaja, Santi Su-sastra, dan sebangsanya. Pendapat Si Buruy pun sangat kontradiktif dengan pandangan Cep Isud (yang sudah puluhan tahun mebaca carpon).

Menurut Cep Isud, sastra itu merupakan sebuah cerita yang –jika temanya komedi, maka pembaca akan tertawa. Kalau temanya romantis, maka pembaca akan terangsang untuk beromatis ria. Dan kalau temanya komedi, pembaca akan terbawa sedih pula.- Bahkan Cep Isud memberikan contoh-contohnya dalam carpon-carpon karya Holisoh ME atau Aam Amilia.

Artinya bahwa masyarakat umum akan memberikan pangajen kepada sastra dengan berbagai macam pandangannya. Tentunya juga tergantung pada pangaweruh-nya masing-masing. Kata Si A bagus, belum tentu kata Si B.

Bahkan yang diputuskan berkualitas oleh Dewan Juri Hadiah Sastra pun, belum tentu akan dianggap bagus oleh masarakat. Dan memang sampai saat ini, belum ada kesimpulan mengenai jenis karya sastra yang diminati oleh masarakat itu. Sebab dalam mengafresiasi karya sastra, tentu saja akan menjadikan multitafsir.

Terlebih lagi tingkat afresiasi masyarakat –kususnya Sunda- masih jauh berbeda dengan masyarakat di barat. Pengetahuan tentang sastra, bisa terukur dengan jelas. Contohnya selama ini, sangat terasa adanya jurang pemisah antara pengarang dan masarakat pembaca sastra. Bahakan dua unsur tersebut, seperti yang berjalan sendiri-sendiri.

Tidak ada koordinasi, apalagi kerja sama. Kapan bisa diadakan seminar yang (khusus) untuk para pembaca karya sastra? Paling oge antara sastrawan dengan sastrawan lagi.

Kendati demikian, sastrawan dan pembaca tak bisa dipersalahkan. Sebab keduanya memiliki hak untuk menentukan sikap. Pengarang punya hak membuat karya sastra bagaimanapun -tergantung pada daya imajinasinya sendiri-.

Lebih jauhnya, punya hak untuk membuat kreasi baru, agar berbeda dengan karya-karya sastra lainnya, untuk menghasilkan ciri khas sendiri. Dan pembaca pun memiliki hak pula untuk memilih karya mana yang disukai dan mau dibaca?

Termasuk para pembaca pun tidak mau dipaksa untuk membaca karya sastra yang sudah mendapat penghargaan sastra. Seperti ungkapan Sapardi Joko Djoko Damono, bahwa sastrawan memang tidak boleh punya anggapan bahwa karyanya akan diterima oleh seluruh golongan masarakat.

Sampai hari ini, belum pernah ada penelitian mengenai siapa dan golongan mana saja yang membaca sastra Sunda? Hawe Setiawan pun pernah bertanya; 'Naha karya sastra Sunda teh aya anu maca? (Apakah karya sastra Sunda ada yang membaca?)'.

Sepertinya diperlukan semacam penelitian terhadap para pembaca karya sastra Sunda. Tapi bukan berarti semacam pemberian penghargaan –seperti- memilih sinetron atau iklan terbaik di televisi. Anggap saja hal ini hanya sebagai 'tembusan' kepada pangarang, mengenai masarakat yang membaca karya-karyanya.

Sebab para pembaca karya sastra Sunda selama ini, hanya sebatas masyarakat yang berlangganan, membeli, atau meminjam media massa Sunda. Ditambah oleh masyarakat yang suka membeli buku sastra Sunda -yang jumlahnya sangat minim-.

Semacam Sodoran Solusi
Pengarang memang perlu memiliki pendirian, bahwa mengarang itu harus bernilai sastra, walaupun agak berbeda dengan selera masyarakat. Tapi harus dipikirkan pula, keadaan masyarakat yang masih awam terhadap sastra.

Jangankan bisa membeda-bedakan bermacam aliran sastra. Sekedar mengetahui maksud pengarang pun, masih banyak yang mengerutkan keningnya. Jadi, tingkat apresiasi sastra masyarakat dewasa ini, memang belum terlalu tinggi.

Terbukti dengan langkanya masyarakat yang sengaja menulis di koran atau majalah, mengenai karya sastra yang dibacanya. Mau mengerti atau tidak, nampaknya cukup dipendam dalam hati saja. Atau dengan enteng berkata; Emang gua pikirin…!.

Ada sebuah esai Sunda di majalah mangle -No. 1835-, ditulis oleh Dadan Sutisna. Isinya menceritakan tentang perkembangan Dongeng Sunda sekitar tahun 1980-an. Di Tatar Sunda pernah merebak dongeng-dongeng Sunda di radio.

Kejayaan dongeng Sunda, tak luput melahirkan ‘seniman pendongeng’ seperti Wa Kepoh, Mang Jaya, dsb. Ceritanya memang menarik, ditambah lagi dengan kemampuan cara mendongengnya.

Terlebih lagi pada saat itu, masyarakat (terutama di perkampungan) masih jarang yang memiliki pesawat televisi. Masyarakat lebih banyak yang tergila-gila oleh cerita dongeng. Bahkan seperti yang sangat kesal, jika sedang ramai-ramainya tengah cerita, tiba-tiba harus bersambung dikarenakan waktunya habis. Tak ubahnya dengan para peminat sinetron jaman sekarang.

Apakah mungkin, jika karya sastra Sunda berhasil seperti itu? Tentu saja jawabannya ‘bisa!’. Sangat bisa, jika sudah diminati oleh masarakatnya. Jadi, tinggal bagaimana caranya membuat karya yang bernilai sastra, dan bisa diminati oleh masyarakat.

Kalau sudah masyarakat sudah tertarik, maka akan banyak pula yang membaca sastra Sunda. Seperti diungkapkan oleh Aan Merdeka Permana (pada sebuah perbincangan), perlu disediakan suatu bacaan untuk menjembatani para pembaca dalam menuju bacaan sastra.

Betul sekali, artinya para pembaca harus diperhatikan. Sebab yang berperan penting dalam perkembangan karya sastra Sunda, tiada lain adalah para pembacanya (tapi bukan berarti pengarang dan penerbit tidak penting).

Alasan disebut lebih penting, dikarenakan para pembaca –sepertinya- tidak akan merasa diuntungkan atau dirugikan. Pembaca tidak akan bangkrut, kalaupun penerbit Sunda semuanya ‘mati’. Belum tentu merasa sedih, kalaupun para pengarang Sunda tidak mau lagi membuat karya sastra. Namun sebaliknya, jika pengarang dan penerbit sudah kehilangan para pembaca, bagaimana jadinya?

Kesimpulannya, jika terus menerus pakeukeuh-keukeuh, mau kapan Sastra Sunda akan mengalami kemajuan?. Bukankah tujuan ‘kita’ adalah untuk mengembangkan karya sastra (Sunda)? Supaya bisa hirup dengan huripnya. Ya, salah satu caranya, harus bisa ‘merayu’ dulu para pembaca.

Harus bisa ‘mengerti’ keinginannya (Selama tidak bertentangan dengan agama dan darigama). Jika masyarakat pembaca sudah tertarik, barulah diajak untuk memasuki dimensi sastra Sunda. Jika masarakat sudah menyukai karya sastra Sunda, maka…hiduplah sastra Sunda raya.***

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post