Film dan Lembaga Sensor Film (LSF)

Catatan SUDAMA DIPAWIKARTA

Biasanya Undang-undang atau peraturan pemerintah itu disusun untuk merespon situasi dan kondisi yang terjadi di zamannya. Misalnya dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan respon pemerintah atas makin akutnya penyakit korupsi di birokrasi.

Demikian halnya dengan film. Dibuatnya peraturan tentang perfilmna, sangat bisa dipastikan sebagai respon adanya karya seni film. Di Indonesia, peraturan mengenai perfilman pertama kali dibuat pada tahun 1919, ketika Belanda sedang menguasai tanah air Indonesia.

Hal itu dilakukan untuk merespon berkembangnya bioskop di Indonesia.  Adapun bioskop pertama di Indonesia berdiri pada tanggal 5 Desember 1900, yang dirintis oleh Nederlandsche Bioscope Maatschappij, yang beroperasi  di sebuah rumah,  tepatnya di Kebon Jae, Tanah Abang (Manage), sebelah pabrik kereta (bengkel mobil) Maatschappij Fuchss.
         
  Sedangkan film cerita yang diproduksi di Indonesia, baru disebut-sebut pertama kali dibuat pada tahun 1926. Namun di luar negeri, pada tahun 1919 telah banyak sineas yang memproduksi film. Misalnya film Jepang karya Akira Kurosawa, berjudul Broken Blossoms; The Girl and The Yellow Man. Sebuah film yang masih menggunakan kamera hitam-putih dan belum dilengkapi audio, atau masih disebut film bisu.   

            Meski film yang cerita yang diproduksi di Indonesiabaru terjadi tahun 1926, tetapi  kemampuan bangsa Indonesiadalam membuat cerita sudah ada sejak tahun 1914, sebelum Ordonansi Film dikeluarkan oleh Hindia Belanda. Fakta dari telah mahirnya orang Indonesia dalam membuat cerita, ditandai dengan terbitnya novel pertama di Indonesi yang berjudul “Baruang ka Nu Ngarora”, karya D.K. Ardiwinata. Novel berbahasa Sunda, yang sampai saat ini tetap menarik untuk dibaca.

            Maka, jelas  gejala-gejala menuju karya sinematografi sudah terlihat sejk lahirnya novel ”Baruang Ka Nu Ngarora”. Tidak heran jika kemudian, pada tahun 1916, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Film Nomor 276, tentang Pengawasan Pertunjukan dan  Ordonansi  Film Nomor  277  tentang  Pengawasan  Pertunjukan  di Batavia, Semarang, Surabaya dan Medan.

            Selanjutnya, pada tahun 1919, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan lagi Ordonansi Film Nomor 377 tentang Bioskop dan  Ordonansi  Film  Nomor  378  tentang  Hukum  dan Meterai Bioskop, serta  Ordonansi  Film  Nomor  742  tentang  Batasan  Usia Penonton.

            Ada yang cukup menarik dari diberlakukannya Ordonansi  Film  Nomor  742. Malasahnya, pembatasan usia itu tentu saja dimaksudkan agar masyarakat menonton film yang sesuai dengan usianya. Misalnya, film yang banyak mengandung adegan seks, tentu anak-anak tidak diperbolehkan menonton. Hal itu dilakukan pada saat  Pemerintah Hindia Belanda khawatir kehilangan kekuasaannya di tanah air Indonesia.

            Terbukti pada tahun 1925, pemerintah Hindia mengeluarkan Ordonansi  Film  Nomor  668  tentang  film-film  yang  boleh dipertunjukkan di bioskop. Ini makin jelas menunjukkan kekhawatiran Belanda terhadap pengaruh film. Kemungkinan besar, bukan khawatir rusaknya akhlak dan moral masyarakat Indonesia, melainkan pengaruh ”negatif” yang bisa menggerakan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Pengaruh negatif yang justru bagi bangsa Indonesia merupakan pengaruh positif.

            Pada tanggal 1 Januari 1926, diberlkukan  Ordonansi  Film  Nomor  7  tentang  Perubahan  Ordonansi Film 1925, yang dikenal dengan Vide Staadblad No. 7.  Pembaharuan yang dimaksud diantaranya  dari regional menjadi sentral bagi seluruh Hindia Belanda. Komisi beranggotakan 15 orang, termasuk 4 wanita Eropa, 1 wanita pribumi, dan 4 orang berkebangsaan bukan Eropa.

Tahun 1926 adalah tahun kelahiran film cerita pertama yang diproduksi di Indonesia, berjudul “Lutung Kasarung”. Film tersebut digarap oleh  L.Heuveldorp dan G. Krugers, yang diproduksi NV Java Film Company.  Penggarapnya memang masih orang asing. Namun, penulis cerita film “Lutung Kasarung” adalah Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah V. Tokoh Lutung Kasarung dimainkan oleh Martonana. Sedangkan tokoh Guruminda, sebagai penjelmaan Lutung Kasarung, diperankan oleh Oemar. Film tersebut mulai diputar di bioskop Elita (Bandung).

            Selanjutnya, pada tahun 1930, diberlakukan Ordonansi  Film  Nomor  447  tentang  Perubahan  dan Penyempurnaan Ordonansi Film 1926 (vide Staadblad No. 447).  Setelah itu, 10 tahun kemudian,  tahun 1940, dibuat lagi Ordonansi  Film  Nomor  507  (vide Staadblad No. 507) tentang  Perubahan  dan Penyempurnaan  Ordonansi  Film  1930, terutama  yang berkaitan  dengan  Tugas  Komisi  Film  dan  Susunan Keanggotaan Komisi Film.

            Pemerintah Hindia Belanda memiliki perhatian yang sangat besar terhadap pengaruh film, sehingga dari waktu ke waktu tidak pernah melewatkan untuk merevisi ordonansi film. Rupanya sudah disadari oleh Hindia Belanda, bahwa pengaruh film itu sangat luar biasa. Bukan sekedar tontotan untuk hiburan, melainkan bisa menggerakan masyarakat.

            Tidak heran ketika kekuasaan tanah air beralih kepada pemerintah militer Jepang, masalah perfilman tidak luput menjadi perhatian. Pada tahun 1942, Pemerintah Militer jepang mengubah Komisi Film (de Film Commissie) menjadi Hodohan  Nippon  Sidosho (Pusat Kebudayaan dan Propaganda Pemerintah Militer Jepang di Indonesia). Jepang menganggap film menjadi media yang sangat efektif dalam mempengaruhi masyarakat Indonesia agar berempati kepada Jepang.

            Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946, Pemerintah  Republik  Indonesia  membentuk Badan Sensor Film, yang  berada  dalam  lingkungan  Departemen Pertahanan  Negara  dan  bertanggungjawab  kepada  Menteri Penerangan.

            Selanjutnya, Tahun 1948 Pemerintah  Republik  Indonesia  memindahkan Badan Sensor  Film  ke dalam  lingkungan  Departemen  Dalam Negeri dengan nomenklatur Panitia Pengawas Film.

Namun pada masa itu, pemerintahan Indonesia masih dirongrong oleh Belanda, yang kembali lagi dengan membonceng Tentara Sekutu/ NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Peperangan mempertahan kemerdekaan Indonesia terus berlangsung. Sementara itu, Belanda memberlakukan lagi  Film Commissie pada tahun 1948, yang tetap mengacu pada  Film Ordonnantie 1940 yang disempurnakan, serta dimuat dalam Staadblad No. 155, yang menyatakan bahwa urusan pengawasan film dilakukan oleh Panitia Pengawas Film di bawah Directeur van Binnenlandsche Bestuur


            Pada tahun  1950 , Pemerintah  Republik  Indonesia  melakukan perubahan berkenaan penempatan Badan  Sensor Film (BSF). Untuk selanjutnya BSF masuk dalam lingkungan Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK).

Selanjutnya, terbit Instruksi Presiden No. 012/ 1964, yang menyatakan bahwa urusan film dialihkan dari Kementerian PP dan K kepada Kementerian Penerangan. Sejauh menyangkut Panitia Pengawas Film, pada tanggal 21 Mei 1965, ditindaklanjuti dengan SK Menteri Penerangan No. 46/SK/M/65, yang didalamnya mengatur penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia melalui suatu lembaga yang bernama Badan Sensor Film (BSF).

Anggota BSF  terdiri dari 33  orang , yang diangkat  dan diberhentikan  oleh  Menteri  Penerangan,  dengan  masa jabatan 3 (tiga) tahun. Pada saat itu, sekretaris  BSF  merangkap  jabatan  sebagai Kepala  Tata  usaha dengan jumlah pegawai sebanyak 23 orang.

            BSF melakukan penyensoran  film  dengan  memperhatikan segi  keagamaan,  kesusilaan,  perikemanusiaan, kebudayaan,  adat  istiadat,  pendidikan,  keamanan, ketertiban umum, dan  situasi politik.

             Memasuki masa pemerintaha orde baru, pada tahun 1968, terbit SK  Menpen  No.44/SK/M/1968  yang menetapkan Badan Sensor Film berkedudukan di Jakarta dan bersifat nasional, beranggotakan  25  orang, termasuk  Ketua  dan Wakil  Ketua.  Namun, bedanya, Sekretaris  Badan Sensor Film tidak  lagi  merangkap sebagai  anggota, melainkan hanya  memimpin  sekretariat  sebagai unsur pelayanan administrasi dengan 24 karyawan.

            Hampir seperempat abad, tidak ada perubahan apapun mengenai Badan Sensor Film. Baru kemudian pada tahun 1992 , diterbitkan  Undang-undang  Nomor  8  tahun  1992 Tentang Perfilman. Nama Badan Sensor Film diubah menjadi Lembaga Sensor Film atau LSF.

            Dan untuk menindklanjuti UU No. 8 tahun 1992 tersebut,  pada tahun 1994  ditetapkannya  Peraturan  Pemerintah  Nomor  7, Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film. Diterbitkan juga  Surat  Keputusan  Menteri  Penerangan  Republik Indonesia Nomor  216/Kep/Menpen/1994 , tentang  Tata Kerja  Lembaga  Sensor  Film  dan  Tata  Laksana Penyensoran.

            Seiring dengan memasuki masa pemerintahan reformasi, pada tahun 1999, Departemen Penerangan RI dibubarkan dalam susunan Kabinet  Reformasi.  Selanjutnya, Presiden  RI, KH. Abdurrahman Wahid menempatkan Lembaga  Sensor  Film  dalam  lingkungan  Departemen Pendidikan Nasional RI.

            Satu tahun kemudian,  pada tahun 2000, Pemerintah Republik Indonesia menempatkan Lembaga Sensor  Film  dalam  lingkungan  Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Lalu, pada tahun 2005, status Kementerian kebudayaan dan Pariwisata berubah menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namun Lembaga Sensor  Film tetap berada di lingkungan Depbudpar.

            Selanjutnya, pada tahun 2009, status Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berubah menjadi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata . LSF pun  tetap  berada  di  lingkungan  Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

            Pada tahun 2009, diteritkan Undang-Undang  Perfilman  yang  baru, yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Namun, UU No. 33 Tahun 2009 yang berkenaan dengan Lembaga Sensor Film, masih dalam proses penggodokan. Pemerintah baru menerbitkan PP No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, sebagaimana yang diamanatkan dalam  Pasal 66 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. PP No. 18 Tahun 2014 itu, baru ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal  11 Maret 2014.

            Selanjutnya, pada bulan Agustus 2014, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan perekrutan bagi calon anggota LSF. Sesuai dengan UU Perfilman 2009,  Bab VI, Pasal 63, disebutkan:

(1) Menteri mengajukan kepada Presiden calon anggota lembaga sensor film yang telah lulus melalui seleksi.
(2) Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh panitia seleksi yang dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri.
(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari pemangku kepentingan perfilman.
(4) Panitia seleksi dalam memilih calon anggota lembaga sensor film bekerja secara jujur, terbuka, dan objektif.
(5) Calon anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi syarat-syarat:
a. warga negara Republik Indonesia berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun dan paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memahami asas, tujuan, dan fungsi perfilman;
d. memiliki kecakapan dan wawasan dalam ruang lingkup tugas penyensoran; dan
e. dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu.

Kemudian, pada Pasal 64 disebutkan:
(1) Anggota lembaga sensor film berjumlah 17 (tujuh belas) orang terdiri atas 12 (dua belas) orang unsur masyarakat dan 5 (lima) orang unsur Pemerintah.
(2) Anggota lembaga sensor film memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3) Anggota lembaga sensor film diangkat oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Pengangkatan dan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Presiden.

mengantri tiket bioskop di Braga21, Bandung



Proses seleksi calon anggota LSF sudah berlangsung hampir satu tahun. Dimuali pada bulan Agustus 2014, seleksi tahap pertama dan kedua di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Prof. Kacung Marijan, dari hasil seleksi administrasi, dinyatakan lulus 49 orang. Lalu, 49 orang tersebut dipanggil untuk mengikuti seleksi tahap kedua, yaitu seleksi wawancara, yang menghasilkan 24 orang.

Panitia seleksi sudah menyerahkan 24 nama tersebut kepada Presiden RI, pada tanggal 15 Oktober 2014. Jumlah 24 nama tersebut ditambah dengan 10 orang dari unsur pemerintah, sehingga jumlahnya menjadi 34 orang. Dari 34 orang tersebut, akan dipilih 17 orang, sesuai dengan amanat UU Perfilman 2009. 12 orang dari unsur masyarakat dan 5 orang dari unsur pemerintah.

Pada bulan Juni 2015, Komisi 1 DPRRI sudah memanggil 34 kandidat anggota Lembaga Sensor Film. Kalau mengacu pada UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, calon Anggota LSF itu diangkat oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 64, ayat (3)). Kemudian dalam penjelasannya dikatakan bahwa "berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat" dalam ketentuan ini bukan merupakan uji kepatutan dan kelayakan. Maka penentu akhir tetap Presiden, karena selain melampirkan 17 orang calon yang direkomendasikan DPR, ada pula nama-nama cadangan yang bisa menjadi alternatif calon anggota jika presiden menghendaki. 

Sebagai salahsatu dari 34 orang yang dipanggil Komisi 1 DPR-RI,  saya siap melaksanakan tugas dengan penuh semangat jika saya terpilih menjadi Anggota LSF Periode 2015-2019. Kalau pun tidak terpilih, saya tetap mendukung apapun yang keputusan Presiden RI, seraya mengucapkan selamat bertugas kepada rekan-rekan yang terpilih menjadi Anggota LSF Periode 2015-2019.***
           



Bahan Bacaan:

Laila Mahariana. 2010. Peranan Lembaga Sensor Film (LSF) Dalam Menegakkan    Perlindungan Konsumen Di Indonesia. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009, tentang Perfilman

Peraturan Pemerintah Nomor 18, Tahun 2014, tentang Lembaga Sensor Film

https://natsirjeremias.wordpress.com/2015/03/25/film-broken-blossoms-1919/ (Diakses pada 1 Juli 2015)

http://www.lsf.go.id/# (Diakses pada 30 Juli 2014)


0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post