Oleh DHIPA GALUH
PURBA
(Pikiran Rakyat, 25
November 2013)
MESKI bermata satu,
kamera digital bukanlah semacam dazzal. Ia adalah gadget legal yang kini
harganya tidak terlampau mahal, bahkan banyak yang diobral. Ini sangat
menguntungkan bagi masyarakat yang hobi bergelut di bidang potografi dan
sinematografi. Sayangnya, tidak sedikit yang justru terjebak memproduksi aib
sendiri, atau sebut saja dengan istilah ”aibtografi”.
Pada satu sisi yang
begitu berarti, tidak dapat dipungkiri bahwa maraknya pengguna kamera digital
telah banyak menuai manfaat. Berbagai peristiwa penting berhasil diabadikan
oleh para pengguna kamera digital. Suatu gejala positif untuk lebih
meningkatkan eksistensi citizen journalism.
Peran kamera digital
cukup berpengaruh pula dalam membuat jera oknum-oknum aparat. Bukan hanya
kamera wartawan yang diwaspadai. Kamera yang dipegang siapapun sangat ditakuti
oleh para oknum. Sebab, dalam waktu singkat, foto atau video pelanggaran bisa
serentak menyebar di dunia maya, semisal melalui jejaring sosial atau blog.
Berbagai gambar sering tersiar karena kepiawaian pemilik kamera digital dalam
membidik suatu momen yang sarat mengandung kabar. Bahkan kabar yang begitu
akbar.
Bagi para insan
kreatif, kamera digital pun menjadi media pendukung yang sangat berharga. Toleh
misalnya anak-anak muda Ujungberung, Bandung ,
yang telah sukses merilis sebuah film dokumenter Burgerkill We Will Bleed The
Movie. Beber
apa adegan dalam film tersebut ternyata diproduksi dengan
menggunakan kamera telefon seluler. Luar biasa. Kreativitas yang begitu
insfiratif, sehingga layak menjadi salahsatu suri tauladan bagi para pengguna
kamera telefon seluler.
”Aibtografi”
Disamping menjadi
inspirasi bagi para insan kreatif, banyak pula pengguna kamera telefon seluler
yang tidak arif. Maraknya kasus foto dan video tidak senonoh, merupakan bukti
nyata ancaman menuju kehancuran moralitas generasi bangsa. Pesona mata kamera
begitu menggoda. Banyak di antaranya tak kuasa menahan syahwat untuk merekam
adegan atau peristiwa yang sangat pribadi.
Bermula dari
keisengan, kamera telefon seluler sudah berhasil mendobrak pintu kamar mandi
dan melampaui batas yang sangat privasi. Sekali terekam dalam memori telefon
seluler, maka bersiap-siaplah menghadapi badai digital. Menurut pengamat IT,
Dadan Sutisna, sekalipun file foto atau video dihapus atau diformat, lalu
ditimpa lagi dengan file lain, tetap saja file tersebut dapat dimunculkan
kembali sepanjang ruang memori masih tersedia. Jadi, menurut Dadan,
satu-satunya cara aman dalam menghapus file adalah dengan cara dipékprék memori
telefon selulernya hingga hancur lebur.
Namun jika mau
berpikir lebih sehat, cara yang lebih ampuh adalah dengan tidak merekam pose
atau adegan yang bisa menebar aib sendiri. Sayangnya cara praktis ini justru
dianggap sulit. Semakin hari, tak henti-hentinya menyeruak kasus-kasus
pornografi dan pornoaksi berbasis kamera telefon seluler. Perlu segera diramu
formula khusus untuk membasmi, atau sekurang-kurangnya meminimalisir kasus
”aibtografi”.
Dalam menghadapi
pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, titik fokusnya jangan
hanya meneropong peluang bisnis yang berlimpah ruah. Perlu diimbangi dengan
gerak cepat penyebaran pemahaman etika dan kiat bijak dalam memanfaatkan
teknologi digital. Karyawan dan para pejabat di instansi pemerintahan perlu
mendapat penyuluhan dalam memperlakukan kamera digital.
Perhatikan pula,
telefon seluler begitu cepat merambah pedesaan dan perkampungan terpencil
sekalipun, termasuk Kampung adat semisal Baduy yang juga tak kuasa
memfilternya. Masyarakat perlu mendapat pencerahan tata cara memperlakukan
teknologi digital. Alangkah lebih baik lagi kalau perusahaan telefon seluler
pun turut berperan serta mendukung gerakan pencegahan aibtografi. Misalnya, dalam
buku panduan telefon seluler turut dilampirkan ulasan singkat mengenai etika
dan estetika dalam memanfaatkan fitur kamera digital.
Adapun prioritas
utama bimbingan penggunaan kamera telefon seluler tentu saja di lembaga
pendidikan. Sejak duduk di bangku SD, pemahaman kamera telefon seluler perlu
diajarkan. Lebih baik lagi kalau dibuat mata pelajaran ”Produksi Film Telefon
seluler”, meski bukan di sekolah berbasis broadcast atau sinematografi.
Maraknya film pendek berbahasa daerah yang diunggah di situs berbagi video
youtube, merupakan gejala positif bagi penguatan karakter bangsa. Ironisnya
unsur terpenting dalam kebudayaan, pendidikan Bahasa Daerah, malah ditiadakan
dalam Kurikulum 2013.
Pendidikan yang
berkarakter mestinya berbasis kebudayaan, sesuai dengan nilai luhur bangsa Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Dihapusnya pelajaran Bahasa Daerah
dalam Kurikulum 2013 menunjukkan ketidakpahaman pemerintah dalam menghadapi
pesatnya gelombang kemajuan teknologi. Karena teknologi
hanyalah suatu alat yang sangat haus akan konten. Dalam hal teknologi boleh
kalah dalam percaturan dunia, tetapi untuk kontennya sendiri, bangsa Indonesia
lebih kaya raya.
Kamera digital
bukan lagi pekakas yang royal. Tapi jika dioperasikan dengan binal, akibatnya bisa
sangat fatal. Ada semacam kegatalan saat menggenggam kamera digital. Gatal
ingin merekam segala hal. Dari berpose di tebing terjal hingga adegan nakal
memeluk bantal. Seperti kasus tubuh sintal seorang oknum PNS yang baru-baru ini
menghebohkan jagat digital.***
Komentar