Catatan Malam DHIPA
GALUH PURBA
MOHON tidak berburuk
sangka dulu, karena saya tidak berniat menulis seputar
pornografi. Sengaja saya tulis dalam bahasa Indonésia, karena kata “momok”
dalam bahasa Indonésia tidak porno, berbéda dengan “momok” dalam bahasa Sunda,
terlebih ditambah kata “ngeunah”.
Ini adalah sekelumit
pengalaman seorang sahabat, Julian
Milie, seorang dosen di Monash University ,
Australia . Pada
tahun 2007, ia datang ke Indonésia untuk
menulis atau mentranskrip ceramah-ceramah da’i kondang , KH. A.F. Ghazali
(alm).
Dan kita tahu bahwa ceramah KH. A.F. Ghazali menggunakan bahasa Sunda.
Jadi, Julian tidak cukup hanya belajar bahasa Indonésia, melainkan wajib
mempelajari bahasa Sunda.
Untuk itu, ia bekerja keras belajar bahasa Sunda kepada
orang-orang yang ia kenal, seperti Kang Hawe Setiawan, Pak Dédé Kosasih, Dadan
Sutisna, Atép Kurnia, dsb.
Ia sangat gigih mempelajari bahasa Sunda, sehingga
sering berkunjung ke Jurusan Pensatrada UPI, redaksi Majalah Cupumanik, dsb.
Yang saya ingat, Julian
itu sangat merakyat. Ia mau bergaul dengan siapa saja yang mau diajak
bersahabat. Selain itu, ia cukup humoris dan yang tidak saya lupakan adalah keteguhannya
dalam memegang prinsip.
Sebagai contoh yang merupakan catatan penting, Julian sangat
setia kepada istrinya. Ia tidak pernah tertarik kepada wanita secantik apapun
meski sekedar untuk iseng-iseng. Ya, Julian tidak cunihin semisal Miftahul Malik.
Pada suatu hari,
Julian mampir ke sebuah warung. Ia memperhatikan semua makanan yang ada di
warung tersebut sambil terkadang melihat catatan yang selalu dibawanya.
“Oh… éta mah momok ngeunah…” jawab tukang
warung dengan serius, tanpa tertawa sedikit pun.
“Momok ngeunah…” gumam Julian sambil mencatatnya.
Setiba di rumah,
Julian langsung membuka kamus, mencari-cari kata “Momok Ngeunah”. Berulang kali kamus
dibaca dengan teliti, tetapi tidak ia temukan kata “momok”. Kemudian ia mencari kata “ngeunah”.
Dan kata “ngeunah” dengan mudah dapat ditemukan di
dalam kamus. (Ngeunah= énak, nikmat).
Jadi, pikirnya, memang nyambung karena yang ditanyakannya sejenis makanan.
Kalau makanan dinamakan “énak” ya tentu sangat pantas. Tapi… kata “momok” itu yang sulit dicari, sehingga menjadi
beban pikiran Julian saat itu.
dari kiri: Julian Milie, Deden Abdul Aziz, Dhipa Galuh Purba (Foto: Dadan Sutisna) |
Terdorong oleh
rasa penasaran, Julian langsung menuju kampus UPI Bandung, dan menuju ruangan Jurusan
Pensatrada. Di sana ada Pak Dédé Kosasih, beberapa orang dosen, dan kabarnya
ada juga seorang profésor. Para dosén
menyambut Julian dengan ramah dan bersahabat, karena hampir semuanya sudah mengenali Julian.
“Tos dugi kamana diajar basa Sunda téh? Tos
aya kamajengan? (Sudah sampai mana belajar bahasa Sundanya? Sudah ada
kemajuan?)” demikian tanya seorang dosen.
“Atos sakedik-sakedik, nanging aya nu teu
acan ngartos… (sudah sedikit-sedikit, tapi ada yang belum mengerti)” jawab
Julian.
“Naon anu teu ngartosna? (apa yang tidak
mengerti?)”
“Dupi momok ngeunah naon nya? (kalau
momok ngeunah itu apa ya?)?” tanya Julian dengan polosnya. Hening sesaat, tak
ada yang menjawab. Julian mengerutkan kening, tetapi untungnya Pak Dédé Kosasih langsung mengajak Julian ke
ruangan lain, tentu sambil menahan tawa.
“Saya kan sudah
bilang, hati-hati kalau menanyakan bahasa Sunda ke sembarang orang. Karena
orang Sunda itu terkadang suka bercanda…” demikian kata Pak Dédé. Mémang
sebelumnya Pak Dédé telah memperingatkan Julian agar berhati-hati. Dan kini,
kekhawatiran Pak Dédé menjadi kenyataan.
“Mémang artinya
apa?” tanya Julian.
Pak Dédé
mendekat, dan membisikan arti kata “momok
ngeunah” kepada Julian. Seketika wajah Julian memérah, kesal kepada tukang
warung, malu, pingin tertawa, berkecamuk dalam dada. Apalagi teringat bahwa di
ruangan dosén Pensatrada, ada beberapa orang dosén wanita.
**
Cuma sekelumit
romantika prosés belajar bahasa Sunda. Kini, Julian sudah
pasih berbahasa Sunda, disaat orang Sunda sendiri banyak yang merasa tidak
penting mempelajari bahasa Sunda.
Julian telah berhasil
membuat sebuah buku kumpulan ceramah KH. A.F. Ghazali, yang ia transkrip dari
kasét-kasét KH. A.F Ghazali, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Buku
tersebut diberi judul The People’s Religion
The Sermons of A.F. Ghazali, diterbitkan oleh CUPUMANIK. Buku tersebut ditulis
dalam dua bahasa, yaitu Sunda dan Inggris.***
Komentar