Oleh DHIPA GALUH PURBA
INILAH salahsatu kebudayaan yang membumi di Ciamis.
Digelar secara konsisten setiap tahun dan melibatkan masyarakat Panjalu. Tradisi
Nyangku selalu menarik perhatian, baik warga Panjalu yang berdomisili di Panjalu
maupun yang merantau di kota-kota besar. Bagi warga Panjalu, nyangku sudah
menjadi hari besar yang biasanya tidak dilewatkan begitu saja. Selain hari raya
Iedul Fitri, acara Nyangku pun menjadi momen para perantau untuk pulang
kampung. Tentu, masyarakat yang lebih luas pun segera merespon kegiatan ini.
Ribuan masyarakat selalu membanjiri kota kecamatan Panjalu setiap kali digelar
upacara tradisi nyangku.
Seperti pada tahun ini, seminggu menjelang
digelarnya Nyangku, suasana Panjalu terasa semarak. Ratusan umbul-umbul berjejer
rapih sepanjang jalan yang melintasi pusat kota. Demikian pula dengan Alun-alun Panjalu yang telah
ditata untuk pelaksanaan Upacara Ritual Nyangku pada hari Kamis, 11 Maret 2010.
Rencananya, Alun-alun Panjalu akan diberi nama Taman Budaya Borosngora. Kendati
demikian, tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan Alun-alun telah mengurangi
aura Panjalu. Alun-alun Panjalu nan hijau dan sejuk, kini kesannya menjadi gersang.
Kontropersi pembangunan Alun-alun Panjalu tidak
mempengaruhi agenda Nyangku. Kegiatan ini tetap berlangsung setiap bulan Mulud,
pada minggu terakhir. Itulah sebabnya Nyangku di Panjalu merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tentu selaras,
karena Nyangku pun merupakan syukuran warga Panjalu dalam memperingati pertama
kalinya Prabu Boros Ngora melakukan syi’ar Islam di tanah Panjalu. Oleh karena
itu, Nyangku menjadi agenda penting bagi Yayasan Borosngora sebagai pewaris
historis dari leluhur Panjalu yang telah turun-temurun melestarikan kegiatan
yang telah menjadi citra budaya Ciamis di tingkat nasional.
Menurut sesepuh Panjalu, RH Atong Cakradinata, kata ”nyangku” berasal dari kata “yanko” (bahasa Arab), yang artinya
membersihkan. Prosesi ritual Nyangku secara lahiriah adalah membersihkan dan
merawat benda-benda pusaka peninggalan raja-raja Panjalu yang disimpan di Bumi
Alit. Sedangkan secara batiniah, Nyangku adalah cermin untuk
merevitalisasi kembali prilaku hidup yang berpedoman kepada amar ma’ruf nahyi munkar.
Kegiatan Nyangku biasanya
berlangsung sehari-semalam. Pada malam hari menjelang nyangku, dilaksanakan
acara muludan dan pengajian, yang dilanjutkan dengan membaca sholawatan diiringi
tetabuhan gembyungan semalam suntuk di Bumi Alit. Di Bumi Alit tersimpan berbagai benda-benda pusaka peninggalan
leluhur Panjalu. Letak Bumi Alit berdampingan dengan kantor Yayasan Borosngora,
tidak jauh dari Alun-alun Panjalu.
Besoknya, benda-benda pusaka yang ada di
Bumi Alit akan dibawa menuju Nusa Gede, Situ Lengkong Panjalu yang berjarak sekitar 600 meter dari Bumi Alit. Para tokoh sesepuh dan
kawula muda membawa pusaka, menyeberangi
Situ Lengkong, menuju Nusa Gede. Di sana, rombongan melaksanakan acara tawasulan
di area makam Dipati Hariang Kancana. Selepas itu, lalampahan dilanjutkan menuju Alun-alun Panjalu untuk melaksanakan
ritual penyucian pusaka di menara bambu yang berdiri setinggi dua meter. Sebelum dicuci, seluruh pusaka
dibariskan di atas kasur khusus diatas panggung.
Nyangku di Panjalu (Foto: Agus Bebeng) |
Kemudian, balutan kainnya dibuka dan satu persatu
benda-benda tersebut di diperkenalkan kepada pengunjung, sekaligus dipedar pula riwayatnya disertai penjelasan
bahwa benda-benda itu bukan untuk disembah, tetapi untuk dipelihara karena
mengandung nilai sejarah. Selanjutnya, maka pusaka-pusaka
utama yang terdiri dari Pedang, Kujang, dan Gentra (goong kecil) itu mulai
dicuci di atas menara bambu oleh tokoh sesepuh dan kawula muda yang sudah
berpengalaman.
Momen
inilah yang ditunggu-tunggu para penonton. Penyucian pusaka merupakan puncak
sugesti. Pengaruhnya mampu membuat warga berdesak-desakan berebut air cucian
yang jatuh dari atas menara. Baik untuk di bawa pulang atau dibasuhkan langsung
ke wajah sebagai ekspresi dari keyakinan ngalap
berekah. Fenomena seperti ini memang selalu ada dan sulit untuk dihilangkan
walau sudah dihimbau oleh para petugas bahwa air tersebut jangan dipergunakan
untuk hal lain. Namun, sebagian warga tidak peduli. Kenyataan seperti itu tidak
berbeda dengan Pelaksanaan Upacara Panjang Jimat di Cirebon dan Sekatenan di
Yogyakarta, ketika air bekas ngumbah
pusaka selalu diperebutkan karena dianggap memiliki barokah tertentu.
Setelah dicuci, dikeringkan dengan asap, dan dikemas
kembali (dibungkus), maka benda-benda pusaka itu disimpan kembali ke Bumi Alit.
Hal itu sekaligus menandai bahwa prosesi
ritual nyangku telah berakhir.
Terkait dengan tradisi Nyangku, untuk menunjang
momen puncak itu, kabarnya Pemdes Panjalu juga melaksanakan Festival Budaya
Nyangku yang dimulai pada dua minggu sebelum puncak acara. Festival Budaya
Nyangku biasanya ditengarai dengan hadirnya pasar malam dan bazar rakyat.
Puluhan pedagang bersimbiosis dengan komidi putar, ombak banyu, dll, yang menjadi
hiburan dan sajian menarik bagi masyarakat Panjalu, khususnya remaja dan
anak-anak.
Selain pasar malam, dalam
festival ini di selenggarakan pula berbagai kegiatan keagamaan, kesenian, dan
olah raga. Untuk tahun ini, kabarnya rangkaian kegiatan dimulai sejak 1 Maret
dengan diselenggarakanya pertandingan volly ball antar kampung; 7 Maret,
diselenggarakan jalan santai; 9 maret pertunjukan musik Religi; 10 Maret Pagelaran
Longser Wayang dan ceramah keagamaan’ dan 11 Maret ritual Nyangku, yang
dimeriahkan pula oleh pertunjukan seni Debus.***
Komentar