Oleh SUDAMA DIPA
TERUTAMA di
pedesaan, pada tahun 1980-an televisi masih sangat jarang. Hanya orang-orang tertentu yang di
rumahnya mempunyai televisi. Itupun rata-rata masih hitam putih. Maka menonton tayangan televisi menjadi
pengalaman yang langka dan “mahal”. TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi
yang bisa dinikmati. Jadi, meski tidak banyak yang punya pesawat televisi,
tetapi jadwal tayangan begitu melekat di hati.
Anak-anak akan berembuk menentukan pintu rumah siapa
yang akan diketuk, untuk bersama-sama menonton serial boneka Unyil atau klip lagu-lagu anak.
Menonton bersama dengan bergembira, sesuai dengan klasifikasi usia tontonan.
Anak-anak menonton tayangan yang cocok dikonsumsi oleh anak. Maka anak-anak pun
mendendangkan lagu yang liriknya sesuai dengan usia anak. Lagu-lagu anak, yang
kini disebut ”lagu odong-odong”, karena sampai hari ini diputar dengan volume
tinggi pada kendaraan mainan balita. Itulah lagu lama anak-anak yang sulit
tergantikan, karena kurang terjaganya re-generasi kreator lagu anak-anak.
Kini, hampir semua rumah dilengkapi televisi,
termasuk di pedesaan. Berwarna pula. Ratusan stasiun televisi bersaing
menawarkan berbagai mata acara yang menggairahkan mata. Mata anak-anak hingga
mata lanjut usia. Lembaga Sensor Film (LSF) melakukan penyensoran terhadap
berbagai mata acara yang akan disiarkan televisi. Untuk tayangan yang lolos
sensor, sekaligus ditentukan pula klasifikasi usianya, yang mengacu pada UU
Perfilman Tahun 2009, terutama Bab III, Pasal 7. Yakni, tayangan untuk Semua Umur (SU), 13 Tahun Keatas, 17 Tahun
Keatas, dan 21 Tahun Keatas.
https://www.youtube.com/watch?v=5P1wyKMP46w |
Setiap hari, ada ratusan tayangan yang harus
disensor oleh LSF, meliputi tayangan untuk berbagai stasiun televisi, bioskop,
dan palwa (penjualan dan penyewaan dalam bentuk cakram DVD). Dari semua itu,
sangat minim tayangan yang cocok untuk dikatagorikan sebagai tontonan SU, atau
dalam kata lain layak untuk disaksikan oleh anak-anak yang berusia dibawah 13
tahun. Sebut saja hiburan yang mendidik untuk anak-anak. Selain Laptop Si Unyil, Si Bolang, dan beberapa judul film kartun, begitu sulit mendapatkan
tontonan hiburan yang layak untuk anak-anak. Bahkan beberapa judul film kartun terpaksa
dikatagorikan 13 tahun keatas, karena kontennya banyak mengandung kekerasan, yang
dikhawatirkan akan ditiru oleh anak-anak.
Serial sinetron didominasi oleh tayangan untuk 13
tahun keatas dan 17 tahun keatas. Apalagi klip lagu anak, sangat jarang
ditemukan lagi. Wajar jika dalam kompetisi menyanyi, anak-anak melantunkan lagu
bertema remaja bahkan dewasa. Termasuk film untuk bioskop, film anak-anak
hampir tidak nampak atau setidaknya terbilang jarang.
Minimnya produksi film anak dari para sineas
Indonesia, sangat menguntungkan produsen film impor. Salahsatu indikasinya bisa
terlihat jelas di tengah-tengah masyarakat. Anak-anak tergila-gila pada
pernak-pernik yang bergambar Minion atau tokoh dalam film Frozen, misalnya. Padahal, pada tahun 1980-an, tokoh Si Unyil
benar-benar menjadi tuan rumah di negeri sendiri, ketika anak-anak sangat
bangga mengenakan kaos bergambar Si Unyil. Bandingkan sekali lagi dengan
sekarang, ketika anak-anak begitu berbunga-bunga mengenakan baju, tas, sepatu,
bahkan mukena yang bergambar Elsa dan Anna dalam tokoh film yang diproduksi Walt
Disney Animation Studios.
Keluarga yang baik sangat membutuhkan tontonan
yang baik. Sementara tradisi nonton bersama-sama dengan anggota keluarga sudah
langka, apalagi nonton bareng tetangga. Sebab, pesawat televisi semakin mudah
didapati. Di satu rumah bisa
saja dilengkapi lebih dari satu pesawat televisi. Anak-anak menonton
sendiri, orangtua asyik sendiri. Padahal anak-anak masih perlu mendapat
bimbingan dalam menentukan mata acara yang akan disaksikan. Jika ada anak-anak
yang menonton tayangan televisi diatas jam 23, maka peran orangtua di tengah keluarga
perlu dimainkan. Sebab, sudah tertera dalam aturannya, bahwa tayangan untuk 21
tahun, diperbolehkan diputar di televisi dengan syarat harus diatas pukul 23.00
WIB.
Keluarga yang baik sangat membutuhkan tontonan
yang baik. Terutama tontonan yang baik untuk disaksikan oleh anak-anak. Semoga
para sineas film Indonesia tetap peduli untuk melahirkan karya untuk anak-anak.
Majulah film Indonesia! Bangga Film Indonesia!***
Sudama Dipawikarta, Anggota Lembaga Sensor Film RI
Dimuat di Majalah Sensor Film, Edisi V, 2015
Komentar