Film Anak Negeri Bercitarasa Ibu Pertiwi


Oleh SUDAMA DIPA

SEBAGIAN masyarakat, atau bisa jadi kebanyakan masyarakat, biasanya akan merasa penasaran terhadap hal-hal yang tidak diperbolehkan. Termasuk masalah film. Film yang tidak disensor, jauh lebih menggoda dibanding film yang telah melewati proses penyensoran. Ditambah lagi untuk menyaksikan film yang tidak disensor, jauh lebih murah, bahkan sangat murah dan mudah mendapatkannya, dibanding film yang telah disensor. Semua pasti bisa menduga, pilihan mana yang lebih banyak dilirik.

Tengoklah Pasar Glodok Jakarta atau Pasar Kota Kembang Bandung, misalnya. Setiap hari para peminat DVD bajakan senantiasa berbondong-bondong memburu film pilihan. Benar-benar tsunami film. Bahkan film-film yang tidak melewati proses sensor pun mendominasi. Sebut saja istilahnya film liar. Padahal pemerintah telah menetapkan peraturan bahwa setiap film dan iklan film yang akan diedarkan/ dipertunjukkan kepada khalayak umum wajib disensor terlebih dahulu oleh LSF (Lembaga Sensor Film). Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 24, ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18, Tahun 2014, tentang Lembaga Sensor Film, yang merupakan implementasi terutama Pasal 57 Ayat 1, UU Republik Indonesia Nomor 33, Tahun 2009, tentang Perfilman.

Pada tahun 1980-an, sepertinya tidak banyak yang membayangkan bahwa hari ini ”tiket” menonton film sebanding dengan sebutir permen, atau bahkan lebih murah dari jajanan anak-anak. Dalam satu keping DVD bajakan seharga Rp 5 Ribu, bisa memuat 10 judul film. Artinya ”tiket” menonton film hanya Rp 500,-. Plus lebih ”asyik” karena banyak film lokal dan impor yang liar. Sementara itu, untuk menyaksikan film yang memiliki legalitas, harus ke bioskop dengan harga tiket yang jauh lebih mahal.

Bukan saja pelaku usaha perfilman yang dirugikan. Justru ada kerugian yang lebih besar lagi. Yakni, masa depan bangsa Indonesia. Sekilas pun kita bisa memprediksi, bagaimana dampak dari peredaran film-film yang melenceng dari azas dan tujuan perfilman Indonesia. Terbinanya akhlak mulia dan membangun kecerdasan bangsa, sangat memerlukan filter terhadap pengaruh negatif, seperti dari tontonan film. Sementara film-film ilegal yang mengandung konten eksploitasi yang melanggar kesusilaan atau kekerasan yang tanpa batas, bisa-bisanya beredar bebas, murah, dan mudah didapatkan.

Untuk menghadapi persoalan tersebut, mustahil kalau hanya mengandalkan aparat pemerintahan saja. Sangat diperlukan sinergitas dan partisipasi seluruh unsur masyarakat, untuk membangun kesadaran akan pentingnya menata masa depan bangsa. Harus diakui bahwa dengan dukungan kemajuan Teknologi Informasi dan Komuniksi (TIK), cukup sulit memfilter penyebaran film-film liar. Kendati demikian, bukan hal yang tepat jika menyalahkan kemajuan TIK yang begitu pesat. Solusinya bukan membendung kemajuan TIK, melainkan menyelaraskan dengan cara yang bijak.

Karakter pada era media sosial seperti sekarang, sanggup menggerakan manusia untuk saling berbagi. Informasi, lagu, film, dan lain-lain. Maka dari itu, sebuah karya sinematografi bukan saja bisa dibajak untuk kemudian dijual dengan harga murah, melainkan bisa dengan gratis. Dalam situs berbagi video semisal youtube, banyak film-film dan video klip yang bisa diunduh dengan gratis. Memang memerlukan pulsa untuk bisa mendownloadnya. Namun koneksi internet gratis tersedia di berbagai area.

Tampak ada ”hubungan romantis” yang terjalin antara yang mengupload dan mendownload. Ini sulit diredam, tetapi harus dicari solusinya. Tentu bukan dengan memblokir situs tersebut, tetapi salahsatunya kembali pada pendidikan terhadap anak-anak bangsa. Membagi-bagikan file film atau video klip karya orang lain tanpa seizinnya, tidak sama dengan Robin Hood atau Ki Lapidin yang merampok dari orang jahat untuk kemudian dibagikan kepada orang miskin. Bahkan yang bisa mengunduh file film ilegal itu rata-rata orang mampu. Sungguh memilukan jika orang mampu malah menempatkan diri menjadi orang miskin, dan melupakan penghargaan kepada orang-orang kreatif yang setiap saat memikirkan karya yang bermakna untuk bangsa. Lebih mengkhawatirkan ketika UU Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak diindahkan lagi.

Peran keluarga dan lembaga pendidikan masih tetap menjadi pertahanan utama dalam membangun mentalitas bangsa. Tumbuh suburnya penyebaran film yang tidak singgah di LSF, tidak lepas dari dukungan para peminatnya yang tentu tidak sedikit. Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, tampaknya sudah saatnya membangunkan kesadaran dalam diri manusia Indonesia, dimulai sejak dini, diawali dari keluarga.

Menghargai karya cipta orang lain merupakan perbuatan mulia. Sedangkan untuk bisa dihargai oleh orang lain itu, kita perlu memulai menghargai orang lain. Penyebaran film yang membypas LSF dan Hak Cipta, tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Anak-anak Indonesia perlu mendapat pembelajaran tentang dampak buruk dari kebebasan yang kebablablasan. Anak-anak Indonesia perlu belajar bijak dalam menghargai karya orang lain.

Para insan perfilman telah bersusah payah melahirkan karya, rasanya kurang adil jika hanya dihargai sebutir permen. Proses membuat film itu, tentu saja tidak senikmat menonton film. Masyarakat perlu diketuk hatinya untuk tidak membeli produk bajakan. Lebih parah lagi jika film bajakan tersebut, tidak pernah singgah di LSF. Sekarang mungkin tidak akan terasa. Tapi jika keadaan ini terus dibiarkan, dampak negatifnya akan dituai beberapa tahun yang akan datang.

Memang kita tidak tahu, apakah film yang dibajak tersebut sudah ”direstui” pemilik hak ciptanya atau belum. Sebab, untuk mempidanakan kasus pelanggaran hak cipta, harus ada pengaduan dari pemilik hak cipta. Sementara itu, dalam prosesnya melewati mediasi antara penggugat dan tergugat. Jika selesai pada saat mediasi, maka kasus pun bisa ditutup. Jadi, bisa saja ada diantaranya yang ”direstui” pemilik hak cipta. Jadi, perlu ada pengaduan dari pemilik hak cipta. Sementara, jika kita menyaksikan proses sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), betapa menakutkannya jika seseorang mengadu. Jangan-jangan malah pengadu yang dijerat pidana.

Mengenai film liar yang beredar di tengah masyarakat, tentu saja bukan hanya terpaku pada performance artis di film tersebut. Bukan hanya karena ada adegan telanjang, sebuah film tidak diizinkan tayang. Tanpa ada adegan telanjang pun, sebuah film bisa tidak lulus sensor apabila ceritanya membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Sebab sihir dari cerita film itu luar biasa dahsyatnya.


Salahsatu adegan Zainudin dan Hayati dalam film Tenggelamnya Kapal Vanderwijk


Penonton bisa tertawa saat nonton Comic 8 atau Bajaj Bajuri The Movie.  Sebaliknya hampir seisi bioskop terisak saat menyaksikan film Tenggelamnya Kapal Vanderwijk (diangkat dari roman karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias HAMKA) atau Surga Yang Tak Dirindukan (diangkat dari novel karya Asma Nadia), misalnya. Padahal semua orang juga tahu, di hadapannya hanyalah layar. Tapi adegan-adegan di layar, dialog, musik, artistik, dan lain sebaginya, sanggup menggiring imajinasi para penonton.

Suatu tayangan tentunya menyuguhkan cerita. Baik dalam video klip, iklan, apalagi film, semuanya tidak akan pernah lepas dari cerita. Seperti halnya manusia yang sejak mulai belajar berkata-kata diawali dengan suguhan berbagai cerita melalui kata-kata dan gerakan tubuh. Selanjutnya  anak kecil bisa meniru, yang tentunya merupakan hasil mendengar dan melihat.

Kebutuhan akan cerita tidak akan pernah surut. Baik disadari atau tidak, semua manusia selalu menginginkan cerita. Maka larangan ”jangan suka menceritakan kejelekan orang” pun perlu diluruskan. Guru sejarah menceritakan keganasan penjajah. Guru ngaji menceritakan Abu Jahal. Juru dongeng mengungkap kelicikan Dewi Pangrenyep yang menukar bayi Dewi Naganingrum dengan seekor hewan. Dalang wayang menceritakan para Kurawa yang senantiasa mengobarkan permusuhan kepada Pandawa. Dan tentu saja dalam sebuah film selalu menyuguhkan cerita yang bisa mempengaruhi para penontonnya sekecil apapun

. Sementara untuk menceritakan tingkah laku  yang mengandung kebajikan, harus dikemas pula adegan cerita yang dimaksud dengan ketidakbajikan. Yang pasti, LSF akan senantiasa berpedoman pada azas, tujuan, dan fungsi perfilman. Film yang baik itu bukan sekedar seru dan membikin penasaran, tetapi adakah dalam film itu terkandung pesan kemanusiaan, menggugah kesadaran untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Sebab, selain berfungsi sebagai hiburan dan bisnis, film pun memiliki fungsi pendidikan, budaya, informasi, dan pendorong karya kreatif.



Berwajah Indonesia, Bercitarasa Bhineka Tunggal Ika
Beruntung Indonesia memiliki para sineas muda perfilman yang memiliki kepedulian terhadap keberlangsungan budaya bangsa.  Garin Nugroho, Mira Lesmana, Riri Reza, Hanung Brahmantyo, Rizal Mantovani, Sunil Soraya, dan beberapa sutradara lainnya telah banyak mengharumkan bangsa Indonesia melalui karya-karya filmnya.

Bali lebih terkenal dari Indonesia bukan karena perkembangan sains dan teknologinya, melainkan alam dan kebudayaannya. Sementara itu,  kebudayaan Indonesia merupakan puncak-puncaknya kebudayaan daerah. Dari sanalah Indonesia sangat berpotensi untuk dikenal di dunia atas ragam  budayanya yang kaya raya. Nilai-nilai budaya  dan kearifan lokal inilah yang sebenarnya harus digali untuk diperkenalkan kepada anak bangsa dan seluruh dunia.

Film-film nasional diharapkan bisa membangkitkan kecintaan rakyat Indonesia terhadap alam dan kebudayaanya. Film Indonesia idealnya tidak kebarat-baratan, meski bukan berarti budaya barat tidak baik. Masalahnya tidak terletak pada baik atau tidak baik, karena setiap kebudayaan manapun memiliki nilai-nilai tersendiri, termasuk kebudayaan barat. Masalahnya adalah dengan cara mencintai alam dan kebudayaan milik sendiri, merupakan tanda syukur kepada Yang Maha Pencipta atas terciptanya alam yang begitu indah, dan menghargai para pendahulu yang telah mewariskan alam Indonesia. Mereka merawatnya dengan penuh kecintaan, melalui nilai-nilai yang terkandung dalam keluhuran budaya bangsa. Kearifan lokal yang perlu dijaga, tanpa harus menutup diri dari pergaulan internasional.

Terbukti dengan munculnya film semisal  Laskar Pelangi, yang terbilang monumental, tentunya bisa membuka mata hati kita bahwa film berwajah Indonesia tidak kalah menarik dengan film luar negeri jika mau berpijak pada khitahnya, yakni alam dan kebudayaannya. Anak-anak  bisa menikmati film yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata ini, dan juga sedikit banyaknya dapat mengambil pesan-pesan moral dibalik cerita tersebut. Itulah wajah Indonesia, bercitarasa Indonesia, yang berhasil membumi.

 Ada banyak film yang diangkat dari  novel populer, yang kemudian disambut antusias oleh masyarakat penonton. Selain Laskar Pelangi, ada banyak film lainnya. Misalnya  film Ayat-ayat Cinta (diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy), Refrain (diangkat dari novel karya Wina Efendi), Moga Bunda Disayang Allah (diangkat dari novel karya Tere Liye), Manusia Setengah Salmon (diangkat dari novel karya Raditia Dika), 5 CM (diangkat dari novel karya Donny Dhirgantoro), Habibie Ainun (diangkat dari novel karya Ifan Adriansyah Ismail dan Ginatri S. Noer), 99 Cahaya di Langit Erova (diangkat dari novel karya Hanum Salsabiela Rais), dan lain sebagainya. Dalam ajang Bali Internasional Film Festival 2015, film Filosofi Kopi yang diangkat dari cerpen karya Dewi ’Dee’ Lestari, terpilih menjadi film terbaik.

Tertutup sudah jalan pintas nan instan dalam memproduksi sebuah film. Bisa selesai, iya. Tetapi jika hasilnya tidak dilirik masyarakat penonton, tentu sangat mengecewakan. Seiring dengan era keterbukaan informasi yang melanda dunia, masyarakat penikmat film semakin leluasa menentukan pilihan.

Sekali lagi, film mancanegara beredar bebas di nusantara, dan sangat mudah serta relatif murah untuk didapatkan, baik yang melewati penyensoran maupun yang liar. Kini apresiasi masyarakat terhadap film semakin meningkat. Ketika sebuah televisi memutar tayangan sinetron yang menjiplak film luar negeri, serentak surat pembaca di media massa bertebaran menghujat. Di jejaring sosial dan blog dunia maya, niscaya akan menjadi perbincangan hangat. Cibiran dan cemoohan masyarakat akan menimpa para sineas film yang mengambil jalan curang seperti itu.

Begitu juga film-film yang hanya mengeksploitasi kemolekan tubuh, misalnya, akan terlewatkan begitu saja tanpa meninggalkan makna apa-apa. Dengan maraknya televisi swasta yang berlomba menyuguhkan tontonan menarik, telah mengakibatkan persaingan yang begitu ketat untuk memikat mata penonton.

Dengan begitu, tidak mungkin para sineas perfilman bisa sembarang melahirkan karya yang asal-jadi. Masyarakat semakin selektif dalam memilih materi tontonan yang layak. Terlebih televisi umumnya yang menjadi sarana hiburan keluarga, ditonton bersama sanak keluarga, yang memerlukan kesepakatan secara langsung atau tidak langsung untuk menentukan pilihan tayangan. Dalam situasi seperti itu, tentu saja orangtua akan berinisiatif untuk memilih tayangan yang selain menghibur, juga memiliki unsur pendidikan yang akan bermanfaat bagi anggota keluarganya. Dalam hal ini, keluarga harus juga membangun sensor mandiri, untuk menentukan materi tontotan.

Selaras dengan UU Perfilman, keutuhan sebuah film diharapkan  mengandung nilai yang bisa menumbuhkan  kepercayaan diri dan rasa cinta terhadap budaya bangsa. Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, memiliki alam nan indah, dan berkarakter mandiri. Maka menggali dan mengemas cerita bercita rasa ibu pertiwi semoga tidak akan pernah terhenti***

Sudama Dipawikarta, Anggota Lembaga Sensor Film RI

Dimuat di Majalah Sensor Edisi V, 2015

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post