Cerpen DHIPA GALUH PURBA
MALAM takbir di Ibu Kota . Gema puja-puji atas
keagungan Yang Mahakuasa, berkumandang dari setiap menara masjid. Diiringi oleh
bunyi beduk bertalu-talu sampai memenuhi jalan raya. Hiruk-pikuk, lalu-lalang,
dan berbagai kesibukan lainnya memenuhi hampir di setiap sudut dan pelosok Ibu
Kota. Arus mudik para perantau membuat suasana menjadi ingar-bingar. Senyum
bahagia, senyum kecut, senyum kepedihan, dan berbagai senyum lainnya mewarnai
wajah-wajah penghuni Ibu Kota. Hampir semua orang pun tahu bahwa akan segera
tiba hari kemenangan besar bagi umat Islam.
"Entah
hari kemenangan atau hari kekalahan. Yang pasti pada malam ini aku tak bisa
mudik ke kampung halaman," Rangga bergumam. Matanya seakan tiada henti
untuk mengiringi setiap bus kota
yang melintas di jalan raya. Penumpang yang berjejal dan berdesakan, ciri khas
yang selalui mewarnai pada setiap malam takbir. Suasana yang mengandung sebuah
kenikmatan tersendiri bagi sebagian manusia. Suatu kenikmatan yang betapa
dirindukan pula oleh seorang Rangga. Sejak dirinya menginjakkan kaki di Ibu
Kota sepuluh tahun yang lalu. Baru pada tahun inilah dia tidak merasakan angin
sejuk kampung halaman. Baru pada malam takbir tahun ini pula, dia tidak ikut
melaksanakan takbiran di masjid kampungnya.
Musibah.
Sebut saja begitu. Sebab kejadian yang menimpanya sore kemarin, membuat dirinya
terpaksa tidak bisa mudik ke kampung halaman. Betapa tidak? Gaji mingguan yang
baru saja diterimanya, telah lenyap dalam waktu sekejap. Gaji seorang karyawan
pabrik. Gaji seorang bapak rumah tangga. Gaji yang bisa menghidupi seorang
istri dan seorang anak. Gaji itu hilang. Lenyap dalam waktu sekejap. Entah ada
yang mencopet pulang kerja, atau mungkin juga terjatuh dari saku celananya.
Yang pasti, hilangnya uang yang masih dibungkus amplop itu, baru diketahuinya
setelah berada di rumah kontrakan. Rangga pun merasa bingung jika harus
menyusurinya kembali. Setelah pulang kerja itu, dia naik angkot. Kemudian turun
di perempatan jalan. Dilanjutkan lagi dengan naik becak. Turun di depan gang
yang menuju rumah kontrakannya. Makan nasi goreng dulu sebentar. Beli rokok ke
kios. Setelah itu, barulah pulang.
Malam
kemarin, Rangga menyaksikan keterkejutan Erik. Bahkan tak usah diragukan lagi,
bila Erik turut berduka cita. Sayang sekali, Erik yang menjadi kawan satu
kontrakannya itu, tak bisa menolong Rangga. Walau hanya sekadar memberi
pinjaman uang buat ongkos mudik. Masalahnya, Erik baru saja
menghambur-hamburkan uang gajiannya untuk membeli pakaian di supermarket. Erik
pun mengatakan, bahwa dirinya hanya memiliki sisa uang yang jumlahnya hanya
cukup untuk ongkos mudik. Tak lebih dari itu. Wajar sekali sebab memang Erik
selalu begitu. Tiap gajian, pasti uangnya hanya sekadar singgah di dompet saja.
Mungkin disebabkan Erik tidak memiliki beban tanggungan apa-apa di kampungnya.
Walaupun Erik pulang kampung tanpa membawa apa-apa, tak ada yang akan
memarahinya. Dia anak bungsu dari keluarga yang cukup berada. Istri tidak
punya. Anak apa lagi. Meskipun tak ada yang tahu secara pasti, mengapa sampai
saat ini Erik masih memilih untuk menjadi bujangan. Padahal usianya sudah
mencapai dua puluh delapan tahun. Kalau dikatakan tidak laku, rasanya kurang
masuk akal. Pacarnya juga hampir setiap bulan berganti-ganti terus.
"Kalau
saja aku tahu sejak tadi bubaran kerja. Pasti aku tidak akan pergi ke
supermarket dulu." Begitulah yang dikatakan Erik dengan raut wajah penuh
penyesalan. Walau baru satu bulan tinggal dalam satu kontrakan, mereka memang
sudah saling pengertian. Namun, walau bagaimanapun juga, Rangga tak mungkin
menyalahkan Erik. Justru Rangga lebih menyalahkan dirinya sendiri. Tentu saja.
Sebab dirinya kurang berhati-hati dalam menjaga uang. Padahal sebelumnya juga,
Rangga pernah mengalami kejadian yang serupa. Hanya, musibahnya kali ini terasa
lebih menyakitkan.
"Tidak
apa-apa, Rik. Aku hanya mau eu, minta tolong sama kamu," kata
Rangga dengan nada yang ragu-ragu.
"Kalau
aku bisa, pasti akan kubantu," jawab Erik penuh keyakinan, sambil menunggu
perkataan Rangga selanjutnya.
"Kamu
akan pulang ke Ciamis, kan ?"
"Iya
benar. Ke mana lagi, kalau bukan ke kampung halamanku," jawabnya dengan
pasti.
"Enggak.
Takutnya kamu akan Lebaran dulu di kampung halaman cewek," Rangga
masih bisa menyempatkan diri untuk bergurau.
"Ah, cewek
mana," Erik pun tertawa terbahak-bahak.
"Kalau
memang mau pulang ke Ciamis, maukah kamu mampir dulu ke Tasik."
"Maksudmu?"
"Aku mau
nitip surat
buat istriku."
"Oh,
tentu saja aku mau. Kebetulan di Tasikmalaya pun, aku punya banyak saudara.
Jadi kalau kehabisan ongkos, aku bisa minta sama Bibi atau Uwak."
"Baguslah
kalau begitu. Alamat rumahku sudah ditulis pada amplop ini. Tidak akan terlalu
sulit, kok. Tinggal berhenti saja di Indihiyang. Lalu kamu naik angkot
05 dan turun di Panyingkiran. Tanyakan saja nama Ibu Neneng Rostika,"
Rangga menyerahkan sepucuk surat
yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
"Istrimu
terkenal, ya?" Erik nyelutuk sambil menerima amplop surat dari tangan Rangga.
"Tidak
juga, sih. Hanya memang sebelum menikah, istriku pernah menjadi anggota
sebuah grup kesenian tradisi yang cukup ternama. Istriku menjadi seorang
ronggeng yang banyak diidolakan oleh para penonton. Bahkan, istriku pernah
menyandang julukan 'Si Leunyay'," ucap Rangga dengan penuh
kebanggaan.
"Hebat!
Tapi kenapa baru kamu ceritakan sekarang?"
"Buat
apa? Lagian istriku sudah berhenti. Sejak menikah denganku dua tahun yang lalu,
dia langsung menghentikan kegiatannya,"
"Oh ya,
kalau tidak salah, kamu pernah menceritakan tentang anakmu." Erik
bertanya, seperti yang merasa penasaran.
"Ya,
Lina. Dia anakku satu-satunya. Sekarang sudah kelas dua SMU."
"Nah
itulah yang bikin aku penasaran. Masa iya baru dua tahun menikah," Erik
mengerutkan keningnya.
"Emangnya
tidak boleh? Istriku sudah menjadi janda pada saat menikah denganku. Usianya
pun, satu tahun lebih tua dariku. Waktu itu, usia Lina sudah lima belas tahun," jawab Rangga sambil
tersenyum.
"Oh,"
hanya itulah ucapan yang keluar dari bibir Erik. Selanjutnya Erik pun
membereskan pakaiannya untuk persiapan mudik, sedangkan Rangga masuk ke dalam
kamar tidurnya. Rangga terlelap dalam mimpinya yang tiada indah. Bahkan saking
nyenyaknya, Rangga pun tak mengetahui keberangkatan Erik pada waktu imsak.
Padahal, biasanya Rangga suka bangun untuk melaksanakan sahur sehingga Rangga
melewatkan sahur yang terakhirnya di bulan suci tahun ini.
**
"MUNGKIN
suratku sudah sampai ke tangan istriku," lagi-lagi Rangga bergumam sendiri
sambil mengalihkan pandangannya ke arah atas. Malam sudah larut. Langit kelam.
Tak ada rembulan atau taburan bintang yang biasanya menghiasi bumi. Bahkan,
udara terasa semakin panas. Keadaan begitu gerahnya. Dapat dipastikan kalau tak
lama lagi Ibu Kota akan segera diguyur hujan. Buktinya, kilat pun telah
memotret tubuh Rangga yang masih berdiri di gardu kecil ujung gang. Suara petir
bergemuruh, beradu dengan pekikan takbir yang semakin menggema. Rangga bergegas
menuju rumah kontrakannya. Untung saja tak terlalu jauh dari tempat itu. Kalau
tidak, hujan telah mulai turun dengan derasnya.
Baru saja
Rangga mengempaskan tubuhnya ke atas kasur busa. Tiba-tiba ada yang mengucapkan
salam di balik pintu. Suara seorang perempuan yang sudah tidak asing lagi di
telinganya. Membuat Rangga bergegas bangun dan segera berlari menuju ke arah
pintu.
"Lina?!" Ranga terbelalak menyaksikan anaknya
yang sudah berdiri di depan pintu. Tubuhnya menggigil dengan pakaian yang basah
kuyup.
"Ayah," hanya itulah yang terlontar dari bibir
Lina. Tangannya memeluk tubuh Rangga sambil menangis tersedu-sedu.
"Lina, masuklah dulu," kata Rangga sambil
memapah anaknya untuk masuk ke dalam rumah. Pintu pun ditutup dengan rapat dan tak
lupa dikunci kembali.
"Sama siapa, kamu datang ke sini? Apa surat dari ayah sudah
sampai?," Tanpa sadar, Rangga pun langsung memberikan bertubi-tubi
pertanyaan kepada Lina, sedangkan Lina hanya mengangguk sambil menyeka air
matanya.
"Ina kedinginan, Yah," begitu kata Lina. Tentu
saja Rangga sangat terkejut. Rupanya baru sadar dengan keadaan anaknya. Membuat
Rangga langsung membuka sebuah lemari pakaian yang tak jauh dari tempatnya
berdiri.
"Gantilah pakaianmu di kamar mandi," kata
Rangga seraya memberikan sebuah handuk dan sepasang pakaian.
Tanpa harus disuruh untuk kedua kalinya, Lina pun masuk
ke dalam kamar mandi. Tak lama kemudian telah keluar lagi dengan mengenakan
pakaian ayahnya. Meskipun mengenakan pakaian laki-laki, tapi tak mengurangi
pancaran kecantikan raut wajahnya. Semenjak Lina menginjak remaja, memang
wajahnya makin mirip dengan ibunya. Cantik, manis, dan menarik. Untung saja
Rangga bukan tipe laki-laki yang berperangai buruk. Walaupun Lina hanya seorang
anak tiri, tapi Lina sudah dianggap anak kandungnya sendiri. Kasih sayangnya
untuk Lina sangat tulus. Sebagaimana kasih sayang seorang bapak terhadap
anaknya. Betapa tidak? Lina belum pernah melihat wajah ayah kandungnya. Setelah
lima belas
tahun merindukan kehadiran seorang ayah, baru dua tahun yang lalu kerinduan
Lina terpenuhi. Sejak Rangga hadir untuk mempersunting ibunya. Adapun tentang
ayah kandung Lina, tak seorang pun yang mengetahui keberadaannya. Tujuh belas
tahun lalu, ayah kandungnya meninggalkan Neneng Rostika yang tengah hamil tiga
bulan. Entah ke mana dan entah apa yang menyebabkan kepergiannya. Mungkin saja
hanya Neneng Rostika sendiri yang tahu tentang itu.
"Lina, ayah kan
sudah bilang dalam surat .
Ayah baru akan pulang pada minggu depan. Ngapain kamu sampai nyusul-nyusul
kemari? Bukan tidak boleh, sih. Tapi ayah sangat khawatir. Kamu kan seorang
perempuan. Bagaimana kalau terjadi apa-apa di jalan? Hayoh? Pasti ayah
yang akan disalahkan sama ibumu," ucap Rangga sambil memberikan segelas
air putih yang masih hangat.
"Ayah, apa ayah tidak akan marah sama ibu?,"
Lina malah balik bertanya, sebelum meneguk air minum yang sudah dalam
genggamannya.
"Lina, apa yang terjadi?" tiba-tiba wajah
Rangga menegang.
"Ayah, tadi sore ada teman ayah yang datang ke rumah
dan...." Lina tercenung beberapa saat. Ingatannya menerawang kembali pada
kejadian yang telah disaksikannya. Tak mungkin lupa sebab kejadian itulah yang
mengantarkan dirinya untuk menemui Rangga. Kejadian yang begitu dibencinya.
Kejadian ketika tadi sore, seorang laki-laki yang mengaku bernama Erik
bertandang ke rumahnya.
Dari awalnya pun, memang Lina sudah tidak menyukai
kedatangannya. Selain sikapnya yang kurang sopan, ditambah lagi dengan
penampilannya yang kurang baik sehingga Lina merasa curiga. Dia mengintipnya
dari celah bilik kamarnya. Dia pun memperhatikan dan mendengarkan dengan jelas,
setiap perkataan dan gerak-gerik Erik ketika berbincang-bincang bersama ibunya.
"Suamimu menitipkan surat ini," kata Erik sambil menyerahkan
sebuah amplop kepada Neneng.
"Terima kasih. Tapi mohon maaf, saya tidak bisa
menjamu bapak. Kecuali kalau bapak mau berbuka puasa di sini," kata Neneng
dengan sikapnya yang ramah.
"Tentu saja. Tapi yang lebih penting, Aku harus
menunggu jawaban ibu saat ini juga," jawab Erik dengan pandangan mata yang
aneh.
"Maksud Bapak?" Neneng tertegun.
"Ibu harus membaca dulu isi surat itu. Barulah ibu akan mengerti,"
lagi-lagi Erik berkata sambil menatap tajam wajah Neneng.
Walaupun agak ragu, akhirnya Neneng perlahan-lahan
membuka amplop surat
tersebut. Lalu membuka lipatan kertasnya. Dibacanya dalam hati dengan perasaan
yang berdebar-debar. Tak lama kemudian, dari pelupuk matanya ada air mata yang
menetes, membasahi kedua pipinya. Pandangan matanya menatap ke arah yang jauh.
Seakan ingin menerobos pintu rumahnya dan menuju ke temat di mana suaminya
berada. Wajah yang memerah, pertanda sebuah amarah. Mata yang sayu, pertanda
kesedihan yang tiada tara .
"Tenanglah," ucap Erik sambil memegang jemari
tangan Neneng. Lalu meremasnya dengan penuh perasaan. Membuat Neneng segera
bangkit dari tempat duduknya. Tangan Erik ditepiskannya. Neneng bergegas masuk
ke dalam kamar. Pintunya dibanting dengan sangat keras.
Neneng tak keluar lagi dari dalam kamar. Erik tampak
tersenyum dengan penuh kepuasan. Dari balik sakunya, Erik mengeluarkan
sebungkus rokok dan korek api. Diambilnya satu batang, lalu dinyalakan. Tak
lama kemudian ruangan tamu pun dipenuhi oleh asap rokok yang keluar dari
sela-sela bibir Erik. Tapi pada hisapan yang ketiga, rokok itu dimatikan kembali.
Beberapa saat lamanya, Erik seperti yang sedang mengamati keadaan di
sekitarnya. Lalu berdiri. Berjalan mengendap-endap, mendekati pintu kamar
Neneng. Perlahan-lahan, tangannya mendorong pintu kamar dengan sangat
hati-hati. Semua kejadian itu dapat disaksikan oleh Lina. Tanpa ada satu adegan
pun yang terlewatkan.
**
"LALU
apa yang terjadi selanjutnya?" suara Rangga seperti yang berubah. Wajahnya
pun tampak berang. Cerita anaknya yang begitu lugu, polos, dan jujur, amarahnya
menyala-nyala.
"Ayah, jangan marahi ibu, yah. Ina tak tahu apa lagi
yang terjadi. Sebab, Ina tak tahan dengan semua itu. Ina pergi menuju terminal
bus, dan Ina pun nekat menyusul ayah kemari."
"Ayah, jangan marah sama ibu, yah," Lina
memeluk Rangga kembali, sambil menangis terisak-isak. Bahkan tangisnya semakin
menjadi-jadi, tatkala tubuh Rangga bergetar dengan hebatnya.
Terdengar ketukan pintu dengan agak lemah. Rangga dan
Lina terkejut. Setengah berlari, Rangga pun segera membuka kunci pintu. Ketika
pintu terbuka, wajah Rangga mendadak berubah lagi dengan kecutnya. Seperti yang
memendam sebuah amarah dan kebencian. Tak usah terlalu heran sebab yang sedang
berdiri di hadapannya itu, tak lain adalah istrinya sendiri. Neneng Rostika.
Dia menatap Rangga dengan tajam. Raut wajahnya tak kalah kecut dengan Rangga.
Bahkan, Neneng seperti yang begitu membenci suaminya.
"Aku tak mau melihatmu lagi," Rangga berkata
dengan geramnya.
"Seharusnya, akulah yang berkata seperti itu!,"
jawab Neneng.
"Kau adalah wanita yang tidak tahu malu!"
"Kaulah yang tak tahu artinya balas budi!"
"Diaaaaam!" Rangga berteriak sambil menghantam
sebuah gelas yang tersimpan di atas meja. Gelas pun pecah dan belingnya
berserakan di atas lantai. Disusul oleh teriakan Lina dengan wajah ketakutan.
"Aku hanya mau menjemput anakku!" Neneng
berkata dengan ketusnya.
"Bawalah sekarang juga! Enyah dari hadapanku! Dan
ingat, jangan sekali-kali lagi memperlihatkan muka sialmu itu!" amarah
Rangga semakin memuncak.
"Ayah," Lina menjerit lagi sambil memegang
tangan Rangga. Tapi pegangan itu diempaskannya. Membuat tangisan Lina semakin
keras.
"Lina, ayo kita pulang, nak," Neneng memeluk
tubuh Lina dengan penuh kasih sayang. Keduanya bergegas meninggalkan Rangga
yang sedang dilanda angkara.
Istri dan anaknya telah pergi. Tinggallah Rangga yang
masih berdiri dengan tatapan yang kosong. Tubuhnya bergetar memendam amarah
yang mungkin suatu saat bisa meledak. Sampai pada akhirnya mata Rangga tertuju
pada sebuah gulungan kertas yang tergolek di lantai. Gulungan kertas yang
terjatuh dari genggaman tangan Neneng. Dipungutnya gulungan kertas itu, lalu
dibukanya.
Tiba-tiba mata Rangga terbelalak. Deretan tulisan
tersebut adalah sebuah surat
yang ditujukan untuk istrinya. Surat
yang dipenuhi oleh kata-kata yang sama sekali tidak pantas dituliskan oleh
seorang suami. Membuat Rangga tertegun beberapa saat lamanya. Walaupun deretan
kata-kata itu tak pernah dituliskannya, tetapi jenis tulisannya sangat mirip
dengan tulisan tangannya. Tanda tangannya pun sangat mirip dengan tanda
tangannya sendiri. Dan namanya tidak mirip lagi. Dengan sangat jelas, di bawah
tanda tangan itu tertulis nama Rangga Gumilang.
"Rostika!" Tanpa sadar, Rangga berteriak
memanggil nama istrinya. Bagaikan panah yang terlepas dari busurnya, Rangga
berlari dengan begitu cepat. Meninggalkan rumah kontrakan yang pintunya masih
terbuka. Menerobos deraian air hujan yang semakin deras mengguyur bumi. Bumi
yang seperti meringis. Sang waktu bak memilu. Mungkin juga Ibu Kota merasa iba. Desiran
angin yang malas menghias, menghantarkan sejuta kasih yang masih suci. Sebuah
cinta yang sejati.
"Rostika," Rangga kembali berteriak.
"Allahu Akbar...Allahu Akbar... Allahu
Akbar...," gema takbir tetap berkumandang dengan penuh khidmat. Bunyi
beduk bertalu-talu sampai memenuhi jalan raya. Hampir semua orang pun tahu,
akan segera tiba hari kemenangan besar bagi umat Islam.***
Ranggon Panyileukan, 2000
Komentar