Catatan DHIPA GALUH PURBA
TEMA poligami tentu bukan hal baru
yang diangkat ke layar lebar. Sebelumnya, ada beberapa film bertema poligami
yang digarap secara apik dan menarik, semisal film besutan sutradara Nia Dinata
berjudul ”Berbagi Suami” (2006) atau
film karya sutradara Hanung Brahmantyo ”Ayat-ayat
Cinta” (2008). Pada tahun ini, dalam
suasana Idul Fitri 1436 H, hadir lagi sebuah film bertema poligami berjudul ”Surga Yang Tak Dirindukan”.
Diangkat dari sebuah novel karya Asma Nadia, ”Surga Yang Tak Dirindukan” dibintangi
oleh Fedi Nuril, yang sebelumnya pernah memerankan tokoh yang kurang-lebih
hampir mirip dengan perannya dalam film ”Ayat-ayat Cinta”. Mirip maksudnya sama
menjadi tokoh lelaki yang berpoligami. Dan memang Fedi Nuril tampaknya masih
belum bisa membebaskan diri dari ”Ayat-ayat Cinta”, meski sudah berganti nama dari
Fahri bin Abdilla menjadi Prasetyo. Terlalu kuat pengkarakteran yang yang
dibangun sutradara Hanung terhadap aktor Fedi Nuril, sehingga sulit terlepas
saat memerankan tokoh lain. Terlebih lagi karakter tokohnya mirip.
Dari judulnya pun sudah tercium aroma penolakan
kaum hawa terhadap poligami. Ketika semua orang merindukan kehidupan di surga
atau minimal tidak berharap terjerumus ke neraka, judul ini sudah lebih awal
dengan tegas menolak masuk surga jika caranya harus dipoligami. Masih banyak
jalan menuju surga, selain harus dipoligami. Suatu keresahan kaum hawa yang
tetap aktual. Poligami diperbolehkan dalam ajaran Islam, tetapi dengan
syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi.
Dalam cerita ”Berbagi Suami”, kesimpulannya yang
saya baca, jelas sangat tegas 99% memvonis para lelaki yang berpoligami
hanyalah dilatarbelakangi oleh nafsu birahi. Sebab, alasan poligami untuk
menghindari perzinahan merupakan alasan lucu dan dipaksakan. Lucu, karena tidak
ada jaminan lelaki yang berpoligami tidak akan berzinah. Dan secara sadar atau
tidak sadar, alasan ”menghindari perzinahan”
tentu saja sedikit-banyaknya telah memojokkan kaum adam yang tidak berpoligami.
Berbeda dengan film ”Surga Yang Tak Dirindukan”. Alasan Pras berpoligami adalah demi
menyelamatkan nyawa seorang wanita cantik bernama Meirose, yang diperankan oleh
Raline Shah. Mei ditolong oleh Pras, ketika ia berusaha untuk bunuh diri dengan
sengaja membanting mobilnya hingga terperosok ke tebing.
Pras yang kebetulan melewati lokasi kejadian,
langsung menolongnya dan membawa ke rumah sakit. Mei ternyata sedang mengandung,
dan pada saat itu bayinya lahir di rumahsakit. Setelah ditolong, Mei tetap
berusaha bunuh diri dengan cara mau melompat dari lantai atas Rumah Sakit. Pada
momentum itulah, Pras berjanji akan menikahi Mei, asalkan Mei tidak melanjutkan
niatnya untuk bunuh diri. Perlu digaris bawahi, bahwa Pras berjanji mau menikahi
Mei adalah semata-mata untuk menyelamatkan nyawa Mei dan tidak mau anaknya Mei
kehilangan ibunya.
Itulah awal konflik dalam cerita ”Surga Yang Tak Dirindukan”. Jelas saja,
Arini, istri Pras yang telah dikaruniai seorang anak dari hasil pernikahannya,
sangat murka ketika mengetahui suaminya telah menduakan cintanya. Berbeda
dengan Mei, yang sudah mengetahui Pras sudah beristri. Mei memilih bersenandung
”jadikan aku yang kedua”. Mei resmi
menjadi istri Pras. Anaknya Mei, diberi nama ”Akbar” oleh Pras.
Kuntz Agus, sutradara ”Surga Yang Tak Dirindukan”
piawai dalam mengolah struktur dramatik, sehingga film ”Surga Yang Tak
Dirindukan” menjadi tontonan yang memikat untuk disimak. Cara pengambilan gambar,
pencahayaan, dan tata musiknya menyatu dalam sebuah karya film yang sangat
layak untuk diapresiasi.
Wajar jika film ini memiliki daya tarik luar biasa
untuk mempengaruhi emosi penonton. Saya menonton film ini di tengah isak tangis
kaum akhwat yang nampaknya sesekali tak tertahan. Ketika pertunjukan selesai,
banyak terlontar pujian untuk film ini
dari wajah-wajah penonton yang menunjukkan ekspresi kepuasan. Film ini
mengulang kesuksesan ”Ayat-ayat Cinta” yang laris manis. Sebab, saya sendiri,
beberapa kali harus bolak-balik ke bioskop untuk bisa menonton film ini, karena
kursi sudah penuh atau tinggal tersisa satu kursi di jajaran depan.
Kebetulan vs Usaha Gigih
Manusia
Cerita yang disuguhkan memang banyak mengandung hal-hal yang kebetulan. Dimulai
dari pertemuan Pras dengan Arini. Kebetulan ada seorang anak yang jatuh dari
sepeda, lalu ditolong oleh Pras, untuk kemudian diantarkan ke masjid. Di sana
Arini sedang mengajar mengaji. Selanjutnya pasti sudah diduga, dari pertemuan
itulah bermula terbangunnya cinta kasih antara Pras dan Arini, yang dilanjut ke
jenjang pernikahan. Kemudian, Mei secara kebetulan mencoba melakukan bunuh diri di tempat yang
akan dilewati Pras. Lalu masuklah ke masalah permasalahan poligami.
Di tengah kekalutan Pras menghadapi Arini dan Mei,
kebetulan pada suatu malam Pras melihat seorang wanita yang akan diperkosa.
Pras turun, dan menolong wanita tersebut. Namun naas bagi Pras, karena disana
banyak preman. Pras babak-belur dihajar preman dan perutnya ditusuk senjata tajam.
Lalu, Pras dirawat di rumah sakit. Di sanalah, pada saat Pras dirawat, menjadi
momentum yang bisa menyatukan Mei dan Arini untuk ikhlas menerima poligami.
Maksud saya menggunakan kata kebetulan, karena
usaha manusianya kurang terasa. Tentu usaha manusia yang dimaksud adalah
perjuangan yang dilakukan Pras untuk mencari solusi dalam menyelesaikan konflik
akibat poligami. Pras kurang gigih dalam mengupayakannya. Hanya ada satu adegan
yang cukup mengesankan, yaitu ketika Pras mau menyaksikan pertunjukan Nadia,
anaknya, tiba-tiba ditelepon oleh Mei yang mengabarkan Akbar sakit. Dari
peristiwa itulah, benih-benih keikhlasan Arini mulai terasa. Terutama terlihat
ketika Arini memandu cara perawatan Akbar melalui telepon seluler.
Adegan-adegan lain sudah
tidak begitu asing, meskipun tetap menarik dikarenakan struktur dramatiknya
yang terpola dengan baik. Misalnya, ketika ibu Pras berlari dari lorong gang
menuju ke jalan raya, dan langsung tertabrak mobil. Itu merupakan adegan yang
sering disaksikan dalam film-film sebelumnya. Atau juga adegan Mei yang
melompat dari atap gedung, kemudian tangannya dipegang Pras.
Acting Fedi Nuril itu sudah tidak perlu diragukan. Namun dalam pengkarakterannya yang terasa
agak dipaksakan. Pras terlalu dipaksakan menjadi sosok setengah malaikat, yang
setiap kali menemukan peristiwa berbahaya, Pras harus tampil sebagai penolong.
Bahkan hampir tidak memiliki rasa takut sedikit pun. Misalnya, ketika menolong
anak kecil yang jatuh dari sepeda, ia mengajaknya naik mobil. Di zaman
sekarang, apa yang dilakukan Pras justru bisa mencelakakan dirinya, karena
jangan-jangan malah disangka tukang culik anak.
Ketika mobil Mei terperosok, Pras juga tidak punya
rasa takut sedikit pun untuk langsung berlari ke TKP. Secara logika, apa tidak
takut mobilnya meledak. Atau... apa tidak takut Pras justru tersangkut kasus,
dianggap orang yang menyebabkan terjadinya kecelakaan Mei. Masalahnya di TKP
tidak ada orang sama sekali.
Dan yang lebih berani, ketika Pras menolong
seorang wanita yang akan diperkosa, malam hari, di tengah guyuran hujan. Tanpa
merasa takut sedikit pun, Pras langsung turun daan mencoba menolong.
Pras ditampilkan sebagai tokoh yang sangat
pemberani. Tampaknya tidak pernah merasa takut. Namun, ketika berhadapan dengan
klien yang mempermasalahkan keterlambatan proyeknya, Pras tidak seberani
menghadapi preman. Bahkan ia hampir melontarkan jawaban yang tidak gentleman,
jika saja tidak disambar oleh dialog sahabatnya.
Sementara untuk pengkarakteran Arini dan Mei, sepertinya sudah sangat
memuaskan. Mei, karakter yang harus
dimainkan Raline Shah sangat berat. Dari seorang wanita liar harus berubah
menjadi rapuh, dan kemudian berubah lagi jadi sosok akhwat solehah. Maksud
wanita liar adalah dengan kemunculan pertamanya sebagai sosok seorang wanita
yang hamil di luar pernikahan. Anggaplah wanita liar, karena dia hamil bukan
karena diperkosa. Lalu, Mei menjadi rapuh dan hampir runtuh. Memang sosok
Raline terlalu kuat untuk rapuh, tetapi ia telah berjuang untuk menampilkan
akting yang wajar sebagai seorang mantan wanita liar.
Jika kemudian Arini ikhlas dipoligami, perubahan
karakternya tidak terlalu jauh, karena sejak awal Arini sudah menjadi sosok
muslimah solehah. Berbeda dengan Mei, dari wanita liar menjadi muslimah solehah
yang ikhlas. Bahkan pada akhirnya, proporsi keikhlasan Mei ada satu tingkat
diatas Arini. Film yang begitu mengesankan.”Surga Yang Tak Dirindukan” adalah
salahsatu karya sineas Indonesia yang sangat layak untuk disimak.***
Komentar