BAB I
PENDAHULUAN
- Agama Buddha
Lahirnya agama Buddha merupakan
protes terhadap sistem kasta yang diterapkan dalam Hindu dan juga dalam cara
pelepasan dari samsara. Menurut Soekmono (2009:17). Pada mulanya Buddha bukan agama, dalam arti adanya Tuhan
atau Dewa yang dipuja, melainkan suatu ajaran yang bertujuan membebaskan
manusia dari lingkaran samsāra
(moksa). Buddha tidak bedanya dengan
ajaran-ajaran lainnya yang sudah dikenal, seperti Wedānta dan Yoga. Memang agama Buddha berpangkal kepada
kupasan-kupasan Upanisad pula, hanyalah jalan yang ditempuh olehnya sebagai
hasil pencariannya berlawanan degnan jalan Wedānanta
dan lebih dekat kepada Sāmkhya dan
Yoga.
Dalam usaha mendapatkan jalan
menuju moksa, ada dua aliran yang sangat berbeda. Aliran pertama ialah yang
berpendirian bahwa dasar untuk menempuh jalan moksa itu adalah ajaran-ajaran
yang terdapat dalam kitab-kitab Weda. Alian kedua sebaliknya tidak mengakui
sama sekali kitab-kitab weda itu.
Agama Buddha masuk dalam
aliran kedua. Agama ini yang telah menempuh jalan sendiri, dan nantinya bahkan
dapat mengembangkan sayapnya jauh melampaui batas-batas agama-agama lainnya
yang seasal. Kitab sucinya tersendiri pula, dan bahasanya yang dipakai bukanlah
bahasa Sansekerta melainkan baahasa Pāli, yang mula-mula adalah bahasa rakyat
daerah Magadha, tetapi kemudian menjadi bahasa suci agama Buddha. Kitab itu disebut Tripittaka yang sebenarnya
berarti “Tiga Keranjang”. Dinamakan demikian karena terdiri atas tiga himpunan,
yang masing-masing berisi pokok ajaran agama Buddha itu.
Ketiga pittaka itu ialah:
- Winayapittaka,
berisi segala macam peraturan dan hukum dalam menentukan cara hidup para
pemeluknya;
- Sûtrānapittaka,
berisi wejangan-wejangan Sang Buddha;
- Abhidarmapittaka,
berisi penjelasan-penjelasan dan kupasan mengenai soal-soal keagamaan.
Tujuan dari agama buddha
adalah membebaskan manusia dari samsara atau kesengsaraan. Dan kemudian ajaran
tersebut diyakini sebagai agama buddha oleh para pemeluknya. Agama buddha yang
lahir di India, pertama kali diajarkan oleh seorang pangeran yang bernama
Sidharta Gautama.
Dia merupakan putra dari Raja
Sudhodana yang berasal dari kerajaan Kosala di Kapilawastu. Pangeran Sidharta
tidak suka dengan kemewahan, lalu kemudian dia meninggalkan istana dan kemudian
dia pergi ke hutan di Bodh Gaya untuk melakukan tapa.
Dia melakukan tapanya dibawah
pohon dan akhirnya mendapatkan Bohdi atau Penerangan yang sempurna. Dan
kemudian pohon tersebut dikenal dengan nama pohon bodhi. Peristiwa tersebut
terjadi pada tahun 531 SM disaat usia dari pangeran Sidharta Gautama 35 tahun.
Setelah memperoleh bodhi pangeran Sidharta Gautama dikenal sebagai Sang Buddha
atau yang bersinar.
Dari saat itulah sang buddha
mulai mengajarkan agamanya untuk melepaskan diri dari samsara atau
kesengsaraan. Hal tersebut merupakan bentuk dari kasih sayang Sang Buddha pada
masyarakat dan juga umat manusia. Manusia dilarang untuk hidup yang
bermewah-mewahan karena bisa menjadi bagian dari sebuah nafsu.
- Doktrin Agama Buddha
Para pemeluk agama Buddha
mempunyai ikrar, yang disebut Triçarana (tiga tempat berlindung) dan berbunyi:
- Saya
berlindung kepada Buddha,
- Saya
berlindung kepada Dharma,
- Saya
berlindung kepada Sanggha
Berkenaan dengan Triçarana,
Soekmono (2009: 22-23) menjelaskan Buddha sebenarnya bukan nama orang, melainkan
sebutan untuk menamakan orang yang telah mencapai “Bodhi”, yaitu orang yang
telah mendapatkan wahyu dan karena itu sadar akan makna hidupnya dan terbukti
nyata jalannya utnuk melepaskan diri dari kekangan karma. Adapun Buddha yang
kita kenal dari sejarah sebagai orang yang mendirikan agama Buddha mula-mula ia
adalah seorang anak raja, bernama Sidhartaha.
Perkataan dharma sudah
terdapat dan memegang peranan penting dalam jaman Brahmana. Arti sebenarnya
adalah apa yang menjadi dukungan atau beban manusia sebagai anggota masyarakat,
anggota isi alam. Maka dari itu dipakai dalam arti hukum, peraturan,
ketertiban, jumlah kewajiban, yang mengikat manusia, baik lahir maupun batin.
Dalam agama Buddha, dharma
dipakai dalam arti ajaran-ajaran Buddha, bahkan agama Buddha itulah yang
disebut Dharma. Adapun ajaran-ajaran itu berpokok kepada Aryasatyani dan
Patityasamatpada, dua hal yang diperoleh Buddha waktu mendapat bodhi dan yang
menjadi keyakinan sebagai pembuka jalan ke Nirwana.
Aryasatyani artinya
kebenaran-kebenaran utama yang berjumlah empat, yaitu:
Hidup adalah menderita; Menderita disebabkan
karena trsna atau haus, yaitu haus
(hasrat) akan hidup; Penderitaan dapat dihentikan, yaitu dengan menindas trsna; Trsna dapat ditindas dengan
melalui jalan delapan:
- Pemandangan
(ajaran) yang benar
- Niat
atau sikap yang benar
- Perkataan
yang benar
- Tingkah
laku yang benar
- Penghidupan
(mata pencaharian) yang benar
- Usaha
yang benar
- Perhatian
yang benar
- Samadi
yang benar
Patityasamatpada
adalah rantai sebab akibat, yang terdiri atas 12 hal yang berangkai, merupakan
sebab dari hal yang berikutnya, atau menjadi akibat dari hal yang terdahulu.
Pemeluk agama Buddha ada dua
macam, yaitu mereka yang terus meninggalkan masyarakat ramai dan hidup dalam
biara dan mereka yang tetap tinggal sebagai anggota masyatakat biasa. Mereka
dari golongan pertama disebut bhiksu
untuk laki-laki, dan bhiksuni untuk perempuan.
Mereka yang tetap dalam masyarakat disebut upasaka
(laki-laki) dan upasika (perempuan). Adapun
yang disebut sanggha adalah
masyarakat para bhiksu dan bhiksuni.
Mereka meninggalkan segala keduniawian, dan harus hidup dalam wihara dengan mengindahkan
dacacila, yang terdiri atas:
- Tidak
boleh menyakiti/mengganggu sesama makhluk (ahimsa),
- Tidak
boleh mengambil apa yang tidak telah diberikan,
- Tidak
boleh berzina,
- Tidak
boleh berkata tidak benar,
- Tidak
boleh minum apa yang memabukkan,
- Tidak
boleh makan tidak pada waktunya,
- Tidak
boleh menghadiri (menonton) kesenangan duniawi,
- Tidak
boleh bersolek,
- Tidak
boleh tidur di tempar yang enak,
- Tidak
boleh menerima hadiah uang.
Aturan No 1 – 5 berlaku pula
untuk upasaka/ upasika. Mengenai no
3, yaitu tidak boleh berzina, bagi para bhiksu/
bhiksuni berarti kewajiban wadat. Di dalam menjalankan dharma, para pemeluk agama Buddha memuja-muja sang Buddha. Tidak
hanya Buddha Gautama yang dipuja-puja, tetapi semua Buddha yang telah ada dan
yang akan datang. Termasuk semua apa yang berasal dari Buddha Gautama atau
benda miliknya, seperti: potongan kukunya, potongan rambutnya, bekas giginya, bekas
bakaiannya, bekas mangkoknya untuk meminta-minta, dan sebagainya. Lebih-lebih
dipuja lagi adalah bekas tulang-tulangnya serta abunya setelah jenazah Buddha
itu dibakar. Benda-benda yang dipuja itu disimpan dalam stupa.
Salah satu pilar ajaran Buddha
yang mendasari cara berpikir Buddha adalah seperti yang tersirat di dalam Empat
Kebenaran Mulia (cattari ariya sacca).
Di berbagai bagian Sutta Pitaka[1]
dapat ditemukan cara berpikir analisis seperti yang terdapat pada konsep Empat
Kebenaran Mulia. Cara berpikir tersebut adalah:
- Memahami
Suatu Masalah dan menganalisa masalah tersebut
- Menyadari
dan menemukan ada penyebab masalah tersebut
- Mengetahui
bahwa masalah dapat teratasi dan mencari cara penyelesaiannya
- Menemukan
cara mengatasi masalah tersebut dan Menjalankan caranya
Empat Kebenaran Mulia disadari oleh Buddha
Gautama ketika beliau mencapai pencerahan:
“Ketika
pikiranku yang terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak ternoda,
bebas dari ketidaksempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap dan mencapai keadaan
tak terganggu, aku mengarahkannya pada pengetahuan tentang hancurnya noda-noda[2]. Secara langsung aku
mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah penderitaan’, ‘Inilah asal mula penderitaan’,
‘Inilah berhentinya penderitaan’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya
penderitaan’; Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya ‘Inilah
noda-noda’, ‘Inilah asal mula noda-noda’, ‘Inilah berhentinya noda-noda’,
‘Inilah jalan menuju berhentinya noda-noda’”[3]
Empat Kebenaran Mulia adalah
ajaran yang pertama kali diperkenalkan oleh Sang Buddha dalam khotbah
pertamanya di Benares[4].
Selain itu Empat Kebenaran Mulia juga adalah ajaran khusus para Buddha[5],
yang berarti setiap Buddha selalu mengajarkan 4 Kebenaran Mulia ini walaupun
dengan bahasa yang berbeda atau sistematisasi pembagian ajaran yang berbeda.
Empat Kebenaran Mulia tersebut adalah sebagai berikut:
- Kebenaran
Mulia tentang adanya ‘penderitaan’ (dukkha)
- Kebenaran
Mulia tentang penyebab penderitaan
- Kebenaran
Mulia tentang lenyapnya penderitaan
- Kebenaran
Mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan
BAB II
DELAPAN JALAN KEBENARAN AGAMA BUDDHA
- Kebenaran Mulia
Dalam ajaran Buddha dikenal
adanya Kebenaran Mulia tentang Adanya ‘Penderitaan’ (dukkha). Kata penderitaan sini mewakili kata dukkha, walaupun tidak sepenuhnya dapat mewakili makna kata dukkha. Adapun definisi dukkha yang ada di dalam Kitab Suci
Tripitaka.
“Kelahiran
adalah penderitaan; menjadi tua adalah penderitaan; penyakit adalah
penderitaan; kematian adalah penderitaan; kesedihan, ratap tangis, rasa sakit,
kesengsaraan (ketidaksenangan) dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak
memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan Dengan kata lain Lima
kelompok kehidupan (Pancakhandha) yang dipengaruhi kemelekatan adalah
penderitaan (dukkha).”[6]
Definisi dukkha (penderitaan) di dalam Kitab Tripitaka terdapat di dalam
beberapa sutta[7]. Pengulangan yang
berkali-kali menunjukkan betapa pentingnya pemahaman terhadap Empat Kebenaran
Mulia, salah satunya memahami bahwa hidup itu diliputi dukkha (penderitaan).
Jika diterjemahkan sebagai
penderitaan, kata dukkha akan membuat seolah-olah bahwa agama Buddha memandang
hidup adalah pesimis. Namun, dukkha
bukan hanya berarti penderitaan dalam artian biasa. Penderitaan disini yang
dimaksud adalah penderitaan dari ketidakpuasan seseorang terhadap suatu hal, yang
padahal apapun pasti berubah. Dukkha
bisa diartikan sebagai penderitaan karena tidak bisa menerima perubahan.
Ciri semua hal yang ada di
dunia ini bersifat ‘selalu berubah’. Perubahan selalu terjadi, entah disadari
atau tidak, diakui atau tidak. Perubahan itu kemudian lebih lanjut dijabarkan
dalam kerangka buddhisme sebagai tilakkhana (tiga corak umum). Tiga corak umum
mempunyai arti bahwa tiga hal tersebut pasti dan selalu berlaku, yakni
ketidakkekalan (anicca), penderitaan
atau ketidakpuasan (dukkha), dan
tidak ada diri/sesuatu yang tetap (anatta).
Ketiganya tak lain mewakili realitas dunia yang selalu berubah.
Maka dukkha sebenarnya adalah cara pandang manusia terhadap perubahan
itu. Dukkha adalah penderitaan atau ketidakpuasan karena manusia tidak bisa
hidup kekal (anicca). Konsep
perubahan diwujudkan dari 3 sisi pandang yaitu:
- Bagi
alam atau benda mati dikatakan sebagai anicca (tidak kekal)
- Bagi
cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri dikatakan sebagai dukkha
(menderita karenamerasakan perubahan)
- Bagi
manusia atau mahkluk hidup dikatakan sebagai anatta (tidak ada diri yang
tetap abadi tanpa perubahan atau roh/jiwa yang kekal tanpa perubahan)
Di dalam sammaditthi sutta[8]
dikatakan berhentinya penderitaan adalah pemudaran dan penghentian tanpa sisa,
penyerahan, pelepasan, membiarkan pergi, dan penolakan nafsu keinginan. Jadi
Sang Buddha mengajarkan bahwa keinginan berlebihan yang melekat dapat
dihilangkan dari pikiran kita. Ketika keinginan manusia menjadi wajar, tidak
melekat, tidak serakah maka kebahagiaan sejati (nibbana) telah ia alami.
Sang Buddha mengatakan bahwa
beliau hanyalah seorang penunjuk jalan menuju kebahagiaan sejati (nibbana). Beliau mengajarkan bagaimana
melatih diri untuk mengendalikan sifat-sifat negatif. Buddha tidak bisa membawa
sesorang ke Nibbana karena nibbana
hanyalah sebuah kondisi batin (pikiran, perasaan) yang berbeda pada setiap
orang. Adapun yang dapat membuat diri kita mengalami nibbana (kebahagiaan sejati) adalah diri sendiri dengan melatih
seperti yang diajarkan beliau yakni Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jadi
berhentinya penderitaan (dukkha) sama
artinya dengan tercapainya nibbana.
Sang Buddha memberikan
gambaran akan realitas kehidupan, yakni ketidakpuasan atau penderitaan,
penyebabnya dan setiap orang dapat mencapai kebahagiaan sejati (nibbana) saat ini juga dengan
melenyapkan penderitaan (dukkha).
Untuk dapat mencapai kebahagiaan sejati, Buddha mengajarkan suatu cara yang
dapat dilakukan setiap orang. Cara tersebut dinamakan Jalan Mulia Berunsur
Delapan.
Jalan Mulia Berunsur Delapan yang
akan membawa siapapun kepada kebahagiaan sejati jika telah sempurna
dilaksanakan dan telah menjadi bagian dari setiap tindakan yang dilakukan
seseorang baik dari agama, ras, suku apa pun juga. Jadi ketika cara pandang
seseorang serta tindakannya sesuai dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan—baik ia
seorang beragama atau tidak—pasti kebahagiaan sejati akan dialaminya.
Dalam Dhammacakkappavattana Sutta; Samyutta
Nikaya 56.11 {S 5.420}, Guru Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Ariya
(Cattari Ariya Saccani) kepada Lima Bhikkhu Pertama (Panca Vaggiya Bhikkhu), yang di dalamnya terdapat Jalan menuju terhentinya
Dukkha. Jalan itu disebut dengan
Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga).
Di dalam Jalan ini mengandung
unsur sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan).
Berikut pengelompokan unsur yang terkandung di dalamnya:
1. Pengertian Benar (sammâ-ditthi)
2. Pikiran Benar (sammâ-sankappa)
3. Ucapan Benar (sammâ-väcä)
4. Perbuatan Benar (sammâ-kammanta)
5. Pencaharian Benar (sammâ-ajiva) Samâdhi
6. Daya-upaya Benar (sammâ-vâyama)
7. Perhatian Benar (sammâ-sati)
8. Konsentrasi Benar (sammâ-samâdhi)
- Unsur-unsur Delapan Kebenaran
Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko
Magga) dipaparkan sebagai berikut:
- Pengertian
Benar (Sammã Ditthi)
Pemahaman Benar adalah
pengetahuan yang disertai dengan penembusan terhadap:
a. Empat Kesunyataan Mulia
b. Hukum Tilakkhana (Tiga
Corak Umum)
c. Hukum Paticca-Samuppäda
d. Hukum Kamma
- Pikiran
Benar (Sammã Sankappa)
Pikiran Benar adalah pikiran
yang bebas dari:
a. Pikiran yang bebas dari
nafsu-nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa).
b. Pikiran yang bebas dari
kebencian (avyäpäda-sankappa)
c. Pikiran yang bebas dari
kekejaman (avihimsä-sankappa)
- Ucapan
Benar (Sammã Vãca)
Ucapan Benar adalah berusaha
menahan diri dari berbohong (musãvãdã), memfitnah (pisunãvãcã), berucap
kasar/caci maki (pharusavãcã), dan percakapan-percakapan yang tidak
bermanfaat/pergunjingan (samphappalãpã). Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika
dapat memenuhi empat syarat di bawah ini :
a. Ucapan itu benar
b. Ucapan itu beralasan
c. Ucapan itu berfaedah
d. Ucapan itu tepat pada
waktunya
- Perbuatan
Benar (Sammã Kammantã)
Perbuatan Benar adalah
berusaha menahan diri dari pembunuhan, pencurian, perbuatan melakukan perbuatan
seksualitas yang tidak dibenarkan (asusila), perkataan tidak benar, dan
penggunaan cairan atau obat-obatan yang menimbulkan ketagihan dan melemahkan
kesadaran.
- Penghidupan
Benar (Sammã Ãjiva)
Penghidupan Benar berarti
menghindarkan diri dari bermata pencaharian yang menyebabkan kerugian atau
penderitaan makhluk lain. "Terdapat lima objek perdagangan yang seharusnya
dihindari (Anguttara Nikaya, III, 153), yaitu:
a. makhluk hidup
b. senjata
c. daging atau segala sesuatu
yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup
d. minum-minuman yang
memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan,
e. racun
Terdapat pula lima pencaharian
salah yang harus dihindari (Majjima Nikaya. 117), yaitu:
a. Penipuan
b. Ketidak-setiaan
c. Penujuman
d. Kecurangan
e. Memungut bunga yang tinggi
(praktek lintah darat)
- Usaha
Benar (Sammã Vãyama)
Usaha Benar dapat diwujudkan
dalam empat bentuk tindakan, yaitu: berusaha mencegah munculnya kejahatan baru,
berusaha menghancurkan kejahatan yang sudah ada, berusaha mengembangkan
kebaikan yang belum muncul, berusaha memajukan kebaikan yang telah ada.
- Perhatian
Benar (Sammã Sati)
Perhatian Benar dapat
diwujudkan dalam empat bentuk tindakan, yaitu:
- perhatian penuh terhadap
badan jasmani (kãyãnupassanã)
- perhatian penuh terhadap
perasaan (vedanãnupassanã)
- perhatian penuh terhadap
pikiran (cittanupassanã)
- perhatian penuh terhadap
mental/batin (dhammanupassanã)
Keempat bentuk tindakan
tersebut bisa disebut sebagai Vipassanã
Bhãvanã.
- Konsentrasi
Benar (Sammã Samãdhi)
Konsentrasi Benar berarti
pemusatan pikiran pada obyek yang tepat sehingga batin mencapai suatu keadaan
yang lebih tinggi dan lebih dalam. Cara ini disebut dengan Samatha Bhãvanã.
Tingkatan-tingkatan konsentrasi dalam pemusatan pemikiran tersebut dapat
digambarkan dalam empat proses pencapaian Jhana, yaitu:
-
Bebas
dari nafsu-nafsu indria dan pikiran jahat, ia memasuki dan berdiam dalam Jhãna
pertama, di mana vitakka (penempatan pikiran pada objek) dan vicãra (mempertahankan pikiran pada
objek) masih ada, yang disertai dengan kegiuran dan kesenagan (piti dan sukha).
-
Dengan
menghilangkan vitakka dan vicara, ia memasuki dan berdiam dalam Jhãna kedua,
yang merupakan ketenangan batin, bebas dari vitakka dan vicãra, memiliki kegiuran (piti) dan kesenangan (sukha) yang timbul
dari konsentrasi.
-
Dengan
meninggalkan kegiuran, ia berdiam dalam ketenangan, penuh perhatian dan sadar,
dan merasakan tubuhnya dalam keadaan senang. Dia masuk dan berdiam dalam Jhãna ketiga.
-
Dengan
meninggalkan kesenangan dan kesedihan, dia memasuki dan berdiam dalam Jhãna
keempat, keadaan yang benar-benar tenang dan penuh kesadaran di mana kesenangan
dan kesedihan tidak dapat muncul dalam dirinya.
Orang yang
telah berhasil melaksanakan Delapan Jalan Utama akan memperoleh :
- Sila-visuddhi
- Kesucian Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis habisnya
Kilesa (Kekotoran batin).
- Citta-visuddhi
- Kesucian Bathin sebagai hasil dari pelaksanaan Samadhi dan terkikis
habisnya Nivarana (Rintangan batin).
- Ditthi-visuddhi
- Kesucian Pandangan sebagai hasil dari pelaksanaan Pañña dan terkikis
habisnya Anusaya (Kecenderungan berprasangka).
BAB III
SAMSARA
Umat
Buddha tidak percaya bahwa kematian adalah akhir kehidupan. Ketika seseorang
meninggal, kesadaran seseorang pergi dan memasuki salah satu dari enam jalan
kelahiran kembali. Samsara atau sangsara
dalam agama budha adalah sebuah keadaan tumumbal lahir (kelahiran kembali) yang
berulang-ulang tanpa henti.
Dalam agama Buddha dipercayai
adanya suatu proses kelahiran kembali (Punabbahava).
Semua makhluk hidup yang ada di dalam semesta ini akan terus menerus mengalami
tumimbal lahir selama mkhluk tersebut belum mencapai tingkat kesucian Arahat.
Alam kelahiran ditentukan oleh karma makhluk tersebut. Bila ia baik akan
melahirkan dia alam bahagia, bila ia jahat ia akan terlahir di alam yang
menderita. Kelahiran kembali juga dipengaruhi oleh Garuka Kamma yang artinya
karma pada detik kematiannya. Bila pada saat ia meninggal dia berpikirran baik
maka ia akan lahir di alam yang berbahagia, dan jika sebaliknya akan terlahir
di alam yang menderitakan.
Ketika seseorang meninggal,
kesadaran seseorang pergi dan memasuki salah satu dari enam jalan kelahiran
kembali, yaitu:
- Deva-Gati dalam bahasa Sanskerta, yaitu makhluk
surgawi yang penuh dengan kesenangan
- Makhluk
di Neraka. Naraka-Gati dalam
bahasa Sansekerta, yang merupakan dunia terendah dan terburuk, penuh
dengan penyiksaan.
- Hantu
Lapar. Preta-Gati dalam bahasa
Sansekerta, yaitu alam roh lapar, ditandai dengan keinginan besar dan
kelaparan abadi;
- Hewan. Tiryagyoni-Gati dalam bahasa
Sansekerta, yaitu dunia hewan dan ternak, yang ditandai dengan kebodohan
dan perbudakan.
- Asura
Asura-Gati dalam bahasa Sanskerta, yaitu alam marah, cemburu, dan perang
konstan. Asura (Asyura) adalah dewa, semi-makhluk kuat yang diberkati, sengit dan suka bertengkar seperti halnya
manusia, mereka sebagian baik dan sebagian jahat. Mereka memiliki banyak
hal yang baik dalam kehidupan. Muncul di langit atau di bumi sebagai orang
atau hewan.
- Manusia.
Manusya-Gati dalam bahasa
Sansekerta, yaitu alam manusia, makhluk yang baik dan yang jahat. Pencerahan
adalah dalam genggaman mereka, namun kebanyakan dibutakan dan dikonsumsi
oleh keinginan mereka.
Di bagian atas adalah surga,
di mana semua orang hidup dengan kesenangan. Di bawah adalah neraka, di mana
penderitaan bertubi-tubi. Makhluk-makhluk dapat naik atau turun dari satu
tingkatan ke tingkatan yang lain. Jika seseorang melakukan perbuatan baik, dia
akan lahir kembali di jalan para dewa, manusia, atau asura. Jika seseorang
melakukan perbuatan-perbuatan jahat, dia akan lahir kembali di jalan binatang,
hantu kelaparan, atau makhluk neraka. Dari satu kehidupan ke kehidupan yang
berikutnya seseorang dapat tiba-tiba berubah dari seorang manusia ke hewan atau
dari hantu ke makhluk neraka, sesuai hal-hal yang telah dilakukannya.
Roda kehidupan dan kematian
tetap berputar akibat tiga racun dari Ketamakan, Kebencian, dan Kebodohan.
Dengan memotong tiga racun ini, dapat melepaskan diri dari roda kehidupan dan
menjadi tercerahkan.
Ada 4 tingkatan Pencerahan :
- Para
Buddha – sempurna dalam pencerahan
- Para
Bodhisattva – mencerahkan diri sendiri maupun orang lain
- Para
Pratyekabuddha – para petapa yang mengasingkan diri dan mencapai
pencerahan atas usaha sendiri
- Para
Arahat – mencerahkan diri sendiri
BAB IV
KARMA
Dalam agama Buddha dikenal dengan istilah Karma, yang merupakan penentu
kehidupan setelah kematian seseorang. Jika ia banyak memupuk karma baik maka ia
akan memetik hasilnya pada kehidupan berikutnya. Sebaliknya, jika ia sering
berbuat karma buruk maka ia akan terlahir di alam sengsara. Kelahiran kembali ini
sering disebut dengan istilah reinkarnasi. Namun dalam agama Buddha, hal yang
menentukan kelahiran kembali ini adalah hukum karma yang diperbuat dalam
kehidupan masa lalunya.
Kata
“kamma“ dalam bahasa Pali, dan kata “karma“ dalam bahasa Sansekerta, memiliki
arti yang sama, secara harfiah berarti “aksi“ atau “perbuatan“. Akan tetapi,
tidak semua aksi dianggap sebagai karma. Pertumbuhan rambut dan kuku serta
pencernaan makanan, merupakan contoh dari aksi yang demikian, bukan merupakan
karma. Aksi refleks juga bukan termasuk karma, tetapi merupakan kegiatan tanpa
makna moral. Karma adalah suatu hukum alam yang bekerja secara ketat sesuai
dengan tindakatan kita[9].
Secara umum, karma berarti
perbuatan. Umat Buddha memandang hukum karma sebagai hukum kosmis tentang sebab
dan akibat yang juga merupakan hukum moral (Kitab Hukum Karma) yang impersonal.
Menurut hukum ini sesuatu (yang hidup maupun yang tidak hidup) yang muncul
pasti ada sebabnya. Tidak ada sesuatu yang muncul dari ketidakadaan.
Tidak ada sesuatu atau makhluk
yang muncul tanpa ada sebab lebih dahulu. Rumusan agama Buddha tentang sebab
akibat (Paticcasamuppada) adalah :
Dengan
adanya ini, terjadilah itu. Dengan timbulnya ini, timbulah itu. Dengan tidak
adanya ini, maka tidak ada itu. Dengan lenyapnya ini, maka lenyaplah itu.
(Khuddhaka Nikaya, Udana 40)
Menurut agama Buddha, semua
fenomena di alam-semesta ini bekerja menurut salah satu dasar lima hukum alam (niyama), yaitu:
- Hukum-hukum
fisika (utu niyama) mengatur keberaturan fisik anorganik, mengatur
temperatur didih air, kecepatan cahaya, siklus musim, dan sebagainya.
- Hukum-hukum
biologis (bija niyama) mengatur pertumbuhan, reproduksi, hukum
genetika/penurunan sifat dan semua aspek makhluk hidup.
- Hukum-hukum
psikologik (citta niyama) mengatur fungsi-fungsi kesadaran serta fenomena
ekstrasensorik seperti telepati, kewaskitaan (Inggeris: clairvoyance) dan
sebagainya.
- Dibawah
hukum-hukum semesta (dhamma niyama) bekerja hukum gaya-berat, termodinamik
dan segala fenomena semacamnya diseluruh alam-semesta ini.
- Hukum Karma (kamma niyama).
Hukum karma dapat di lihat
dari dua aspek, yaitu aspek kosmis dan aspek moral. Hukum karma dalam aspek
kosmis meliputi alam fisik dan psikis. Dipandang dari sisi kosmis, makhluk-makhluk
hidup seperti manusia dan binatang adalah fenomena materi. Keberadaan manusia
dan binatang adalah fenomena relatif karena mereka ada disebabkan adanya hal-hal
lain seperti adanya makanan, minuman, matahari, dunia dan sebagainya. Mereka
mengalami perubahan, muncul dan lenyap, seperti semua hal di dunia. Dunia pun
akan mengalami proses perubahan, muncul dan lenyap. Demikian pula dengan alam
semesta yang berisi banyak galaksi serta tata surya yang tidak terhitung
banyaknya selalu berproses, muncul dan lenyap.
Ajaran karma Buddhis sebagai
hukum moral menitik beratkan pada perbuatan-perbuatan manusia yang dilakukan
melalui perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran. Perbuatan perbuatan itu
diklasifikasikan sebagai karma bila suatu perbuatan dilakukan karena adanya
niat atau kehendak (Cetana). Suatu
perbuatan tanpa niat atau kehendak tidak dapat disebut karma karena perbuatan
itu tidak akan menghasilkan akibat moral bagi pembuatnya. Niat atau kehendak
yang dimaksudkan dengan karma, seperti yang dikatakan Sang Buddha dalam
Angutara Nikaya III :
“O
para bhikkhu, kehendak yang saya maksudkan dengan karma. Seseorang karena
memiliki kehendak dalam pikirannya maka ia melakukan perbuatan dengan jasmani,
ucapan dan pikiran.”
Perbuatan yang tidak
mengandung unsur kehendak dengan sendirinya adalah:
-
Perbuatan
yang netral murni. Misalnya duduk, berdiri, berjalan, tidur, melihat dan
lain-lain menurut keadaan yang wajar.
-
Perbuatan-perbuatan
yang kelihatan baik atau jahat, namun tidak disertai kehendak. Misalnya ketika berjalan,
ada semut yang terinjak sampai mati. Atau contoh lain, ketika sedang berjalan
tanpa disadari uangnya jatuh dan dipungut oleh seorang cacat yang amat
memerlukan uang.
Suatu perbuatan (karma) yang dilakukan oleh seseorang
karena adanya sebab yang mempengaruhinya. Karma bukan hanya sebagai sebab untuk
menimbulkan akibat (vipāka), tetapi
juga sebagai akibat dari suatu hal. Karma yang dilakukan seseorang diakibatkan
oleh beberapa sebab yang mempengaruhi. Menurut Kalupahana , tingkah laku atau
perbuatan (karma) seseorang ditentukan atau disebabkan oleh tiga faktor, yaitu
rangsangan luar, motif yang disadari, dan motif yang tidak disadari. [10]
Perbuatan (karma) yang dilakukan seseorang didasari
oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut. Perbuatan (karma) yang disebabkan oleh rangsangan luar dipengaruhi oleh kontak
(phassa). Kontak yang dimaksud adalah
enam landasan indera yaitu mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran
mengalami kontak dengan objek. Indera mata (cakkhu)
kontak dengan objek bentuk (rupa), telinga (sota)
kontak dengan objek suara (sadda),
hidung (ghana) kontak dengan objek
bau (gandha), lidah (jivha) kontak dengan objek rasa (rasa), tubuh atau badan jasmani (kaya)
kontak dengan objek sentuhan (phoṭṭabba),
dan pikiran (mano) kontak dengan
objek kesan-kesan batin (dhamma).
Perbuatan yang dipengaruhi oleh rangsangan dari luar seperti gerak refleks.
Contohnya seorang bayi yang menyentuh api dengan tangan maka dengan cepat akan menarik
tangannya dari api tersebut.
Semua perbuatan akan
menimbulkan akibat dan semua akibat akan menimblkan hasil perbuatan. Akibat
perbuatan disebut kamma-vipaka, dan
hasil perbuatan disebut kamma-phala. Dari
segi perbuatan atau salurannya, kamma dibedakan atas:
-
Mano-kamma = perbuatan pikiran
-
Vaci-kamma = perbuatan kata-kata
-
Kaya-kamma = perbuatan badan jasmani
Sedangkan menurut sifatnya,
kamma dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kusala-kamma = perbuatan baik dan
Akusala-kamma = perbuatan jahat
Kusala-kamma berakar dari
kusala-mula, tiga akar kebaikan:
-
Alobha : tidak tamak
-
Adosa : tidak membenci
-
Amoha : tidak bodoh
Akusala-kamma berasal dari akusala-mula, tiga akar kejahatan:
-
Lobha
: ketamakan
-
Dosa
: kebencian
-
Moha
: kebodohan
Hukum Karma adalah hukum
perbuatan yang akan menimbulkan akibat dan hasil perbuatan (kamma-vipaka dan kamma-phala). Hukum kamma bersifat mengikuti setiap kamma, mutlak-pasti
dan harmonis-adil.
Pembagian kamma menurut
fungsinya:
- Janaka-kamma: Kamma yang berfungsi menyebabkan timbulnya
suatu syarat untuk kelahiran makhluk-makhluk. Tugas dari Janaka-kamma
adalah melahirkan Nama-Rupa. Janaka-kamma melaksanakan Punarbahava, yaitu
kelahiran kembali dari makhluk-makhluk di 31 alam kehidupan (lapisan
kesadaran) sebelum mereka mencapai pembebasan Arahat.
- Upatthambaka-kamma: Kamma yang mendorong
terpeliharannya suatu akibat dari suatu sebab yang telah timbul. Mendorong
kusala atau akusala-kamma yang telah terjadi agar tetap berlaku.
- Upapilaka-kamma: Kamma yang menekan kamma yang
berlawanan agar mencapai kesetimbangan dan tidak membuahkan hasil. Kamma
ini menyelaraskan hubungan antara kusala-kamma dengan akusala-kamma.
- Upaghataka-kamma: Kamma yang meniadakan atau
menghancurkan suatu akibat yang telah timbul, dan menyuburkan kamma yang
baru. Maksudnya kamma yang baru itu adalah garuka-kamma, sehingga
akibatnya mengatasi semua kamma yang lain.
Menurut kekuatannya, Kamma
dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
- Garuka Kamma
Garuka Kamma adalah
kamma yang berat dan bermutu. Akibat dari kamma ini dapat timbul dalam atau
kehidupan, maupun kehidupan berikutnya. Garuka kamma terdiri dari Akusala-garuka-kamma dan Kusala-garuka-kamma.
Pancanantariya-kamma adalah
lima perbuatan durhaka, diantaranya membunuh ayah, membunuh ibu, membunuh
seorang Arahat, melukai seorang Buddha, memecah belah Sangha. Mereka yang
melakukan salah satu dari lima perbuatan
durhaka di atas, setelah meninggal akan lahir di alam Apaya (duka/rendah),
yaitu alam neraka, binatang, setan dan raksasa.
Kusala-garuka-kamma adalah
perbuatan “bermutu”, yaitu dengan bermeditasi, hingga mencapai tingkat
kesadaran jhana. Ia akan dilahirkan
di alam sorga atau lapisan kesadaran yang tinggi, yang berbentuk atau tanpa
bentuk (16 rupa-bhumi dan 4 arupa-bhumi)
Kamma yang berat adalah Niyatamicchaditthi.
Yaitu pandangan yang salah. Maksudnya memandang yang salah adalah benar dan
yang benar diartikan salah. Terdapat 10 pandangan hidup yang salah,
diantaranya:
- Tidak
murah hati. Tidak pemaaf atau tidak suka menolong kesukaran orang/makhluk
lain.
- Tidak
mengerti faedah berdana. Mengangap bahwa berdana adalah suatu kebodohan
yagn tidak ada hasilnya.
- Tidak
memberikan hadiah pada tamu. Tamu adalah seorang atau sekelompok orang
yang kedatangannya membahagiakan kita atau yang kedatangannya kita
harapkan. Memberikan hadiah pada tamu yang dewasa ini di kota terutama
berarti memberikan minuman.
- Perbuatan
baik atau perbuatan jahat dianggap tidak ada hasil atau akibatnya. Seorang
yang yakin perbuatan baik akan membawa hasil tentu berusaha menambah
kebaikan pada setiap kesempatan di manapun ia berada, dan sebaliknya
berusaha menghndari perbuatan yang salah setiap kali akan dilakukan.
- Tidak
percaya pada dunia ini, tidak percaya akan kebenaran Dhamma, hukum-hukum
kesunyataan; yaitu kelompok manusia yang penuih dengan kekecewaan,
kebencian, ketamakan, dan kebodohan.
- Tidak
percaya pada dunia yang akan datang; tidak percaya akan tumimbal lahir,
kehidupan yang akan datang.
- Tidak
mengerti fungsi seorang ibu, dan
- Tidak
mengerti fungsi ayah, menganggap tidak membawa akibat apapun yang
dilakukan pada mereka.
- Tidak
mempercayai adanya makhluk yang mati atau yang dilahirkan kembali.
- Tidak
melakukan disiplin menyendiri (khusus untuk para Buddha/Arahat)
- Asanna-kamma
Kamma yang dilakukan sebelum
saat mati seseorang, baik lahir maupun batin, terutama dengan pikiran. Misalnya
memikirkan perbuatan baik atau jahat yang telah dilakukan di masa lalu. Jadi
mempunyai pikiran yang baik di kala akan meninggal adalah merupakan hal yang
penting, yang akan menentukan bentuk kehidupan berikutnya menjadi lebh baik.
Asanna-kamma berlaku apabila tidak melakukan garuka-kamma.
- Acinna-kamma
atau Bahula-kamma
Apabila seorang dalam hidupnya
tidak melakukan garuka-kamma dan di saat akan meninggal tidak pula melakukan
Asanna-kamma, maka yang menentukan corak kelahiran berikutnya adalah
acinna-kamma. Acinna-kamma atau Bahula-kamma adalah kamma kebiasaan, baik
dengan kata-kata, perbuatan maupun pikiran. Walaupun seorang hanya sekali
berbuat baik, namun karena selalu diingat, menimbulkan kebahagiaan hingga
menjelang kematiannya, hal ini akan menyebabkan kelahiran berikutnya mnjadi
baik. Demikian juga seorang yang hanya seklain bernuat jahat, karena selalu
diingat menimbulkan kegelisahan hingga akhir hidupnya, sehingga akan lahir di
alam yang tidak baik. Oleh karena itu apabila kita pernah berbuat jahat, maka
perbuatan jahat itu harus dilupakan; demikian pula sebaliknya kalau kita pernah
berbuat baik, perbuatan itu perlu selalu diingat.
- Katatta-kamma
Bila seorang tidak berbuat
Garuka-kamma, Asanna-kamma atau Acinna-kamma, maka yang menentukan bentuk
kehidupan berikutnya adalah katatta-kamma, yaitu kamma yang ringan-ringan, yang
pernah diperbuat dalam hidupnya.
Karma atau perbuatan dalam
aspek moral mencakup nilai-nilai etika tentang baik dan buruk. Hal ini
merupakan konsep yang lebih luas daripada persoalan tentang benar dan salah
bila dilihat dari sisi pandangan sehari hari tentang makna dari kata itu. Apa
yang dianggap benar menurut pandangan umum Mungkin tidak baik dalam pengertian
moral, demikian pula dengan kata buruk. Prinsip
dasar dari hukum karma adalah barang siapa yang menanam maka dia yang akan
memetik hasilnya apakah hasil itu baik atau buruk.
BAB V
Punabhava
Punabhava
adalah istilah yang dikenal dalam agama Buddha sehubungan dengan kelahiran
kembali suatu mahluk hidup dalam alam kehidupan yang sama atau berbeda serta
tidak membawa kesadaran akan kehidupan dari alam sebelumnya. Punarbhava adalah
kelahiran kembali atau tumimbal lahir. Dalam agama Buddha dikenal juga dengan
penerusan dari nama (patisandhi vinnana).
Ketika seseorang akan meninggal dunia, kesadaran ajal (cuti citta) mendekati
kepadaman dan didorong oleh kekuatan-kekuatan kamma. Kemudian kesadaran ajal
padam dan langsung menimbulkan kesadaran penerusan (patisandhi vinnana ) untuk timbul pada salah satu dari tiga alam
kehidupan sesuai dengan karmanya.
Keinginan tak terpuaskan akan
keberadaan dan kenikmatan inderawi adalah sebab tumimbal lahir. Dengan
memadamkan nafsu keinginan maka kita dapat menghentikan tumimbal lahir. Nafsu
keinginan ini merupakan salah satu sebab yang menimbulkan karma dan menimbulkan
proses kelahiran kembali[11].
Dengan adanya proses menjadi
maka terjadilah kelahiran, dengan adanya kelahiran maka terjadilah kelapukan
dan kematian. Kelapukan dan kematian menyebabkan kelahiran. Itu adalah mata
rantai yang tidak dapat terputus, kelahiran terjadi setelah ada kematian dan
kematian terjadi karena ada kelahiran. Makhluk hidup setelah mati akan langsung
terlahir kembali (patisandhi) tanpa menunggu
jeda.
Semua makhluk hidup yang ada
di dalam semesta ini akan terus menerus mengalami punarbhava selama makhluk
tersebut belum mencapai tingkat kesucian Arahat. Alam kelahiran ditentukan oleh
karma makhluk tersebut. Bila ia baik maka dia akan terlahir di alam bahagia,
bila ia jahat ia akan terlahir di alam yang menderitakan. Kelahiran kembali
juga dipengaruhi oleh Garuka Kamma yang artinya karma pada detik kematiannya,
bila pada saat ia meninggal dia berpikirran baik maka ia akan lahir di alam
yang berbahagia, namun sebaliknya akan terlahir di alam yang menderitakan,
sehingga segala sesuatu tergantung dari karma masing-masing.
Kaharuddin menjelaskan dua macam
bhava, yaitu kammabhava (proses karma, yaitu bentuk-bentuk karma yang dapat
menyebabkan kelahiran kembali) dan uppatibhava (proses kelahiran kembali akibat
dari bentuk bentuk karma yang dilakukan). Dalam hal ini, keinginan dan
kemelekatan akan menimbulkan kammabhava, yaitu proses karma (bentuk-bentuk
karma).
Sebagai contoh, seseorang yang
memiliki keinginan (taṇha), yaitu
keinginan
untuk memiliki perhiasan yang mewah, jika hal
tersebut terus-menerus dilakukan maka akan menimbulkan kemelekatan (upadana). Keinginan dan kemelekatan
terhadap perhiasan mewah membuat seseorang melakukan berbagai bentuk perbuatan.
Perbuatan yang menimbulkan perwujudan (bhava) atau lebih tepatnya kammabhava
dalam paṭiccasamuppada disebut sebagai perbuatan sekarang.[12]
Ada empat cara kelahiran, yaitu:[13]
-
Jajabuja-Yoni : Makhluk yang lahir dari kandungan, seperti
manusia, kuda, kerbau dan lain-lain.
-
Andaja-Yoni: Makhluk yang lahir dari telur, seperti Burung,
ayam, bebek, dan lain-lain.
-
Sansedaja-Yoni : Makhluk yang lahir dari kelembaban, seperti
nyamuk, ikan dan lain-lain.
-
Opapatika-Yoni: Makhluk yang lahir secara spontan, langsung
membesar, seperti para dewa, brahma, makhluk neraka, setan dan lain-lain.
Bagi mereka yang diambang
kematian, karma yang akan menentukan kelahiran kembali terwujudkan dalam salah
satu dari empat cara sebagai berikut:[14]
-
Suatu
karma yang akan menghasilkan kelahiran kembali di keberadaan kehidupan
berikutnya.
-
Suatu
pertanda karma, yaitu suatu objek yang berhubungan dengan perbuatan baik
ataupun buruk yang akan menentukan kelahiran kembali atau alat yang digunakan
untuk melakukan perbuatan tersebut. Contohnya: seseorang yang taat mungkin
melihat gambaran seorang bhikkhu.
-
Suatu
pertanda tujuan, yaitu suatu lambang alam tempat akan terlahirnya orang yang
akan mati. Contohnya: seseorang yang akan terlahir di alam surga mungkin
mendengarkan musik surgawi, dan seseorang yang akan terlahir di alam neraka
mungkin merasakan panasnya api yang sangat mengerikan.
-
Karma
yang akan menghasilkan kelahiran kembali keberadaan berikutnya tidak tampil
sebagai gambaran ingatan tentang sesuatu yang telah dilakukan sebelumnya,
melainkan tampil pintu pikiran sehingga seakan akan perbuatan itu sedang
dilakukan pada saat sebelum kematian tersebut. Contohnya: orang yang akan mati
tersebut mungkin merasa seakan dia sedang melakukan perbuatan jahat, walaupun
perbuatan tersebut telah terjadi bertahun-tahun yang lalu.
Ada 31 Alam Kehidupan yang
merupakan tempat diam makhluk-makhluk. Sedangkan Nibbana (Nirvana) adalah di
luar dari 31 Alam Kehidupan itu. Nirwana sebagai kedamaian atau kebahagiaan
sejati adalah ketika penderitaan lenyap, ketika akar penderitaan yaitu
keserakahan (lobha), kebencian (dosa)
dan kebodohan batin (moha) telah lenyap. Itulah Nibbana, kebahagiaan sejati
yang saat ini dapat kita alami karena sifat keserakahan, kebencian dan
kebodohan batin dapat kita hancurkan saat ini juga dengan ketidakserakahan atau
ketidakmelekatan (berdana), ketidakbencian atau cinta kasih dan welas asih,
serta dengan kebijaksanaan sejati.
Adapun makhluk-makhluk yang diam di 31 Alam
Kehidupan itu masih mengalami kelahiran dan kematian, masih mengalami derita.
31 Alam Kehidupan tidak kekal. Sebaliknya, Nibbana itu terbebas dari kelahiran
dan kematian, terbebas dari derita, tidak termusnah, ada dan tidak berubah,
kekal adanya.
Jika seseorang belum mencapai
kesucian tingkat arahat, setelah ia
meninggal dunia, ia akan dilahirkan kembali dalam salah satu alam dari 31 Alam
Kehidupan sesuai dengan karmanya.
Adapun
31 alam kehidupan tersebut terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
- Kama-Bhumi, berjumlah 11. Yakni 11 Alam Kehidupan yang
makhluk-makhluknya masih senang dengan napsu indera dan melekat pada
panca indera.
- Rupa-Bhumi, berjumlah 16. Yakni alam Kehidupan yang
makhluk-makhluknya mempunyai Rupa
Jhana (Jhana Bermateri,
hasil dari melaksanakan Samata Bhavana).
- Arupa-Bhumi berjumlah 4. Yakni alam kehidupan yang makhluk-makhluknya
mempunyai Arupa Jhana (Jhana Tanpa Bermateri, hasil dari
melaksanakan Samatha Bhavana)
Kama-Bhumi 11 terdiri dari: Apaya-Bhumi
4 atau empat alam kehidupan yang menyedihkan, yaitu Niraya-Bhumi (Alam Neraka), Tiracchana-Bhumi
(Alam Binatang), Peta-Bhumi (Alam
Setan), dan Asurakaya-Bhumi (Alam
Raksasa Asura).
Kamasugati-Bhumi 7 atau tujuh alam kehidupan napsu yang
menyenangkan, yaitu: Manussa-Bhumi (Alam
Manusia), Catummaharajika-Bhumi (Alam
Empat Dewa Raja), Tavatimsa-Bhumi (Alam
33 Dewa, yang di Sorga ini Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma kepada Ratu
Mahamaya/ Ibunda-Nya dan para dewa lainnya), Yama-Bhumi (Alam Dewa Yama), Tusita-Bhumi
(Alam Kenikmatan, sorga tempat Ratu Mahamaya dan Maitreya Bodhisattva tinggal),
Nimmanarati-Bhumi (Alam Dewa yang
menikmati ciptaannya), Paranimmita-vasavatti-Bhumi
(Alam Dewa yang membantu menyempumakan ciptaan dewa-dewa lainnya).
Apaya-Bhumi 4 adalah
suatu alam disebut Niraya-Bhumi (alam
neraka), tanpa kesenangan dan kabahagiaan. Niraya-Bhumi terbagi pula dalam beberapa
kelompok alam, diantaranya dikenal kelompok Maha-Naraka 8, yaitu: 1). Sanjiva-Naraka, tempat penyiksaan makhluk
yang diam di neraka; 2) Kalasutta-Naraka,
makhluk yang diam di Neraka ini tubuhnya dipotong-potong sampai terpisah; 3) Sanghata-Naraka, Makhluk yang diam di
Neraka ini tubuhnya ditindih dengan berbagai macam alat berat; 4) Roruva-Naraka, Makhluk yang diam di
Neraka ini mengalami siksaan berat sehingga menjerit-jerit; 5) Maharoruva-Naraka, Makhluk yang diam di
Neraka ini mengalami siksaan lebih berat sehingga suara jerit dan tangisan
lebih keras; 6) Tapana-Naraka, Makhluk
yang diam di Neraka ini mengalami siksaan dengan api yang menyala di tubuhnya; 7)
Mahatapana-Naraka, Makhluk yang diam
di Neraka ini mengalami kepanasan sepanjang masa; 8) Avici-Naraka (Devadatta diam di alam Avici Naraka ini), Makhluk
yang diam di Neraka ini mengalami siksaan berat berulang-ulang dalam kelahiran
dan kematian di alam Neraka ini: Setelah mati hidup kembali dan disiksa
seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Kitab
Suci
Kitab Suci Agama Buddha.
2004. Majjhima Nikaya 1. Klaten:
Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab Suci Agama Buddha.
2005. Majjhima Nikaya 2. Klaten:
Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab Suci Agama Buddha.
2006. Majjhima Nikaya 3. Klaten:
Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab Suci Agama Buddha.
2002. Petikan Anguttara Nikaya 2.
Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan Dhammaguna
- Buku
Abu Su’ud. 2006. Asia Selatan.
Semarang : UNNES
Press.
Bhikkhu Aggacitta. 2008. Mati di
sini, Hidup di sana (Peranan Kamma dalam Kematian dan kelahiran Kembali).
Medan: Bodhi Buddhist Centre Indonesia.
David J Kalupahana. 1986. Filsafat Buddha (Sebuah Analisis Historis).
Jakarta: Erlangga
Mahathera Piyadassi. Spektrum Ajaran Buddha. Yayasan
Pendidikan Buddhis Tri Ratna.
Pandit J Kaharudin. 2004. Abhidhammatthasangaha. Jakarta: CV Nitra
Kencana Buana
Soekmono, R. 2009. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2.
Yogyakarta: Kanisius.
Sri Dhammananda. 2007. Keyakinan Umat Buddha. Kuala Lumpur:
Pustaka Karaniya
Willy Yandi Wijaya. 2008. Pandangan Benar. Yogyakarta: Insight
Vidyasena Production.
- Website
http://artikelbuddhist.com/2012/03/empat-kebenaran-mulia.html (Diakses pada 20 Desember 2016)
http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html (Diakses pada 20 Desember 2016)
http://buddhissmansa.blogspot.co.id/2011/01/punarbhava.html (Diakses pada 20 Desember 2016)
http://idsejarah.net/2016/03/proses-agama-hindu-dan-buddha.html (Diakses pada 20 Desember 2016)
https://id.wikipedia.org/wiki/Karma_dalam_agama_Buddha (Diakses pada 20 Desember 2016)
https://id.wikipedia.org/wiki/Samsara (Diakses pada 20 Desember 2016)
http://intisaribuddha.blogspot.co.id/2011/06/samsara.html (Diakses pada 20 Desember 2016)
http://kadeksismul.blogspot.co.id/2014/04/samsara-dalam-hindu-dan-budha.html
(Diakses pada 20 Desember
2016)
https://kaskus.co.id/thread/52f742f51acb17a63c8b47dc/8-jalan-kebenaran-8-sila-nya-agama-buddha-bagi-yang-mau-tau-aja
(Diakses pada 20 Desember
2016)
http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/doktrin-kelahiran-kembali
(Diakses pada 20 Desember
2016)
http://seputarpengetahuan.com/2016/08/sejarah-berkembangnya-agama-buddha-lengkap.html
(Diakses pada 20 Desember
2016)
http://studybuddhism.com/web/id/archives/sutra/level1_getting_started/general_introductory_material/endpoint_samsara_suffering_dharma_happiness.html (Diakses pada 20 Desember 2016)
[1] Sutta Pitaka adalah bagian dari Tripitaka
(Kitab Suci Agama Buddha)
[2] noda-noda=tiga akar kejahatan yaitu:
keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan ketidaktahuan atau kebodohan-batin
(moha)
[3] Dapat ditemukan di dalam Majjhima Nikaya
(MN) 4.31 atau MN 36.42
[4] MN 141.2
[5] MN 56.18
[6] Definisi ini dapat ditemukan di dalam
Anguttara Nikaya (AN) VI,63 atau MN 9.15 atau MN 28 atau MN 141.1 atau Samyutta
Nikaya (SN) 56.11 (semuanya sama persis)
[7] Sutta adalah ucapan Buddha Gotama yang
tertulis di dalam Kitab Suci Tripitaka
[8] MN 9.17
[9] Sri Dhammananda,Keyakinan Umat Buddha,
(Kuala Lumpur: Pustaka Karaniya, Cetakan ke5 agustus 2007), hlm. 125.
[10] Kalupahana, David J, Filsafat
Buddha (Sebuah Analisis Historis),(Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986),hlm. 46
[11] Sri Dhammananda,Keyakinan Umat Buddha,
(Kuala Lumpur: Pustaka Karaniya, Cetakan ke5 agustus 2007), hlm. 146.
[12] Kaharudin, Pandit J,
Abhidhammatthasangaha (Jilid I), (Jakarta: CV Nitra Kencana Buana. 2004),
hlm.296. 11Ibid.,hlm. 27-28.
[13] Ibid, hlm.126-127.
[14] Bhikkhu Aggacitta,Mati di sini,
Hidup di sana (Peranan Kamma dalam Kematian dan kelahiran Kembali), (Medan:
Bodhi Buddhist Centre Indonesia,2008), hlm. 33-34.
Komentar