Oleh
M SUDAMA DIPAWIKARTA
RAMI Malek, pemeran tokoh
Freddie Mercury dalam film Bohemian Rhapsody (2018) berhasil
meraih penghargaan untuk kategori Best Actor di Piala Oscar 2019. Rami dapat mengalahkan
para nomine Best Actor lainnya, yaitu Christian Bale dalam film Vice, Bradley Cooper dalam film A Star is Born, Willem Dafoe dalam At Eternity's Gate, dan Viggo Mortensen
dalam Green Book. Meskipun filmnya
tidak terpilih sebagai film terbaik, namun film biopic Bohemian Rhapsody merupakan film yang paling banyak meraih nominasi
berbagai penghargaan, diantaranya Editing Film Terbaik, Film Terbaik, Editing
Suara Terbaik, dan Mixing Suara Terbaik.
Hal itu membuktikan bahwa Bohemian Rhapsody mendapatkan apresiasi yang begitu tinggi. Menilai
film Bohemian Rhapsody harus dilihat secara utuh. Sebab, jika hanya
dilihat secara parsial dikhawtirkan film ini akan dianggap sebagai film LGBT.
Benar bahwa Freddie memiliki kelainan orientasi seks, tetapi film ini bukanlah
merupakan kampanye LGBT. Justru semua penggemarnya pasti menyayangkan sisi
gelap Freddie, sehingga pada puncak kariernya, di usia yang masih terbilang
muda, langkah Freddie harus terhenti akibat mengindap pemyakit AIDS.
Demontrasi penolakan film
Dilan 1991 yang digelar oleh sebagian
kalangan di Makasar, Sulawesi Selatan, merupakan salahsatu permasalahan terait
dengan kontekstual suatu film. Hal itu dapat dicermati ketika LSF menghadiri
dialog langsung dengan sebagian mahasiswa yang mempermasalhkan film Dilan 1991.
Acara yang berlangsung di
Gedung Bioskop CGV, Daya Green Squere, Makasar (26/2/19) dihadiri juga oleh
pihak kepolisian, perwakilan Dinas Pariwisata, dan kalangan masyarakat pecinta
film. Hal yang ditanyakan oleh para mahasiwa itu diantaranya: kenapa berpacaran
mengenalan seragam sekolah? Kenapa berkelahi mengenakan seragam sekolah? Kenapa
Gubernur Jawa Barat ikut main film?
Pada hari Kamis, 28
Februari 2019, Harian Tribun Timur Makasar pada hal. 6, memuat sebuah
berita yang berjudul “Dinas Pendidikan
Dukung Protes Film Dilan 1991”. Judul berita tersebut cukup mengejutkan.
Bagaimana mungkin instansi pemerintah mendukung protes terhadap film yang sudah
diloloskan lembaga negara? Namun, setelah mencermati rekaman videonya, ternyata
Kepala Dinas Pendidikan Makasar pun mengakui bahwa ia belum menonton filmnya.
Selain itu, dari seluruh pernyataan
Kadisdik dalam rekaman video tersebut, tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa
Dinas Pendidikan mendukung protes film Dilan
1991.
Berkenaan dengan pejabat
publik yang ambil bagian dalam pemeran film, sampai hari ini memang tidak ada
aturan yang melarangnya, kecuali jika menjadi bintang iklan untuk produksi
obat-obatan.
Pada masa pemerintahan daerah Jabar sebelumnya, Deddy Mizwar, Wakil
Gubernur Jawa Barat, sering bermain dalam garapan film. Para pejabat publik
lainnya, semisal Kapolri Jendral Tito Karnavian, main juga dalam film 22 Menit.
Tokoh-tokoh publik lain di
luar pemerintahan, ada juga yang bermain film. Dengan tampilnya tokoh-tokoh
publik muncul dalam film, dapat menjadi salahsatu cara untuk lebih
menyemarakkan perfilman nasional. Namun hal itu dikembalikan lagi kepada para
pemegang kewenangan dalam membuat peraturan perundangan. Jika ada peraturan
yang melarang pejabat publik main film,
maka tentu saja LSF tidak akan meloloskan film bersangkutan.
Adapun yang berkaitan
dengan konten, LSF mendapat amanat untuk senantiasa memperhatikan sifat
kontekstual film dalam melakukan penyensoran. Sebagai contoh, kawin lari dalam
kultur masyarakat Bugis merupakan perbuatan yang sangat mencederai harga diri
keluarga.
Namun keputusan kawin lari yang dilakukan oleh Yusuf dan Zulikha
dalam film Silariang: Cinta Yang (Tak) Direstui
memiliki latarbelakang cerita yang kuat berkaitan dengan perjuangan cinta
kasih. Tentu film ini bukan mengajarkan remaja untuk melakukan silariang.
Film tersebut bercerita
tentang kebijakan orangtua dalam menghadapi permasalahan yang berkenaan dengan
ketulusan cinta sang anak dan perjuangan sepasangan kekasih yang ingin
mendapatkan keadilan atas cinta mereka.
Film yang disutradarai Wisnu Adi tersebut
bisa dibilang sangat menyentuh dan memiliki pesan moral yang kuat, sehingga
Lembaga Sensor Film RI bukan saja meloloskan filmnya, tetapi sekaligus memberikan
penghargaan tahunan “Anugerah LSF 2017” untuk film Silariang: Cinta Yang (Tak) Direstui yang disensorkan tahun 2017.
Film-film berlatar
Sulawesi Selatan lainnya yang sudah memiliki surat tanda lulus sensor dari LSF, diantaranya Bombe (2014), Uang Panai (2017), Maipa Deapati dan Datu Museng (2017), Cinta di Bira (2016), Athirah (2016), dan lain sebagainya
(Keterangan tahun menunjukkan waktu film tersebut disensorkan). Film Athirah terpilih menjadi film terbaik
dalam ajang Festival Film Indonesia 2016. Prestasi yang diraih film-film
berlatar budaya Bugis merupakan bentuk apresiasi dari masyarakat penonton film
tanah air. Sekaligus menjadi bukti bahwa Makasar menjadi salahsatu penggerak
dalam memajukan perfilman nasional.
Film cerita merupakan
karya seni yang di dalamnya mengandung rangkaian kisah yang menjadi kesatuan
dari tema cerita yang disuguhkan. Maka berbagai adegan, dialog, atau monolog
tidak akan bijak jika hanya dilihat secara parsial.
Menilai film harus secara
utuh dicermati dari awal sampai akhir hingga dapat membuat suatu kesimpulan
dari jalannya cerita. Tidak mungkin hanya mengcapture adegan kawin lari, tanpa
mempertimbangkan latarbelakang adegan tersebut dan penyelesaiannya.
Sekali lagi, film tidak
dapat dilihat secara parsial. Masalah di dalamnya mengandung adegan negatif dan
positif, dapat dipahami dalam sebuah cerita. Protagonis dan antagonis dalam
cerita menjadi salahsatu yang dapat mewarnai keunikan atau dayatarik kemasan suatu
cerita.
Begitulah rumus cerita, yang biasanya menyuguhkan konflik pertentangan
nilai dengan prinsip suspense, surprise,
atau curiosity. Adegan seorang anak
yang sangat kurangajar terhadap orangtuanya dapat diloloskan oleh LSF jika
konteks ceritanya adalah Malin Kundang, misalnya. Bagaimana mungkin Malin
Kundang tiba-tiba mendapat azab, tanpa ada penggambaran adegan kedurhakaan
kepada orangtuanya.
Demikian halnya dengan
film Dilan 1991 yang telah diloloskan
LSF untuk kategori usia penonton 13 tahun keatas. Film yang diekranisasi dari
novel karya Pidi Baiq ini merupakan film drama romantis remaja tahun 1990-an.
Dilan digambarkan sebagai tokoh remaja yang pada umumnya memiliki rasa cinta
asmara terhadap lawan jenis, yang dalam cerita ini adalah Milea. Mereka
berpacaran. Tidak ada adegan terlarang dalam penggambaran cerita berpacaran
antara Dilan dan Milea dalam Dilan 1991.
Apakah film Dilan 1991 ini hanya melulu menceritakan
kisah berpacaran Dilan dan Milea? Itulah pentingnya melihat film secara utuh,
sehingga dapat memaknai pesan positif dari film. Di sana ada tokoh orangtua
yang cukup dominan mendukung jalannya cerita.
Bagaimana kebijakan orangtua
dalam menyikapi jiwa remaja anak-anaknya yang sedang dilanda asmara, dapat pula
menjadi semacam pagar dalam menjaga hubungan anak-anaknya agar tidak menjadi liar.
Film ini tidak dikategorikan sebagai film pendidikan, melainkan hanya sebagai
film hiburan. Meski demikian, sekecil apapun tersirat pesan positif jika
memandangnya secara utuh.
Tokoh Dilan digambarkan
sebagai seorang remaja yang bandel, tergabung dalam geng motor dan sering
terlibat dalam perkelahian. Meski demikian, dalam Dilan 1991 tidak ada satu adegan perkelahian atau tawuran yang
digambarkan.
Cerita tentang tawuran hanya ada dalam dialog, yang selanjutnya ada
semacam “klarifikasi adegan” sebagai hukuman atas kesalahannya, yaitu diusir
dari rumahnya. Namun hukuman yang paling berat bagi Dilan adalah ditinggalkan
oleh Milea.
Jelas dalam beberapa dialog dikatakan bahwa Milea tidak menyukai Dilan
yang tergabung dalam geng motor, dan memilih putus jika Dilan tidak keluar dari
geng motor. Kematian salahsatu anggota geng motor cukup jelas merupakan pesan
positif, bahwa dunia gank motor itu sangat berbahaya dan taruhannya adalah
nyawa. Para penonton di Indonesia sudah sangat cerdas membaca pesan tersirat
dari rangkaian adegan tersebut.
Baik Film Dilan 1990 maupun Dilan 1991 bisa disimpulkan bahwa perilaku kenakalan Dilan adalah
salah. Apa yang telah dilakukannya, setimpal dengan hukumannya. Misalnya dalam Dilan 1990, Dilan berkelahi dengan guru,
hukumannya langsung skors. Kemudian, Dilan berkelahi dengan Anhar di sekolah,
hukumannya adalah pemecatan. Belum lagi hukuman diusir dari rumah dan
diputuskan Milea, pada Dilan 1991. Jadi,
bolehkah berkelahi dengan guru atau teman sekolah? Film ini menjawab tegas:
tidak boleh! Bagaimana kalau ikut geng motor? Film ini pun menjawab: ikut saja kalau
siap mempertaruhkan nyawa!
Cuplikan atau sepenggal
potongan adegan negatif dalam sebuah film, tidak dapat menjadi suatu vonis
bahwa film tersebut mengajarkan hal negatif, sebelum jalan ceritanya dilihat
secara utuh. Film Bombe yang
menampilkan anak-anak berseragam SD berkelahi, bukan bertujuan mengajarkan
anak-anak SD tawuran.
Demikian pula adegan mengkonsumsi narkoba dalam film 3 Pilihan Hidup yang diproduksi BNN,
tentu saja bukan untuk mengajarkan penonton menjadi pecandu narkoba, melainkan
penyampaian dampak buruk dari narkoba. Masalah ada adegan mengkonsumsi narkoba,
namanya juga film cerita. Selama adegannya tidak berlebihan, film tersebut
dapat diloloskan dengan klasifikasi usia tertentu.
Sesuai dengan amanat UU
No. 33 Tahun 2009, ada enam poin konten film yang dilarang atau dengan kata
lain tidak dapat diloloskan. Yaitu, jika suatu film disimpulkan dapat mendorong khalayak umum melakukan
kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya; menonjolkan pornografi; memprovokasi terjadinya pertentangan
antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/ atau antar golongan; menistakan,
melecehkan, dan/ atau menodai nilai-nilai agama; mendorong khalayak umum
melakukan tindakan melawan hukum; dan/ atau merendahkan harkat dan martabat
manusia.
Film Dilan 1991 telah melewati proses penelitian dan penilaian LSF, yang
keputusannya lolos sensor dengan klasifikasi 13 tahun keatas, sehingga dapat
diputar di bioskop seluruh tanah air. ***
dhipa@galuh-purba.com
Dimuat di Majalah Sensor
Film, Edisi 1, Tahun 2019
Komentar