Oleh Dhipa Galuh Purba
Orang Sunda menyebut atasan
dengan dunungan. Presiden adalah dunungan di lembaga eksekutif. Namun,
pada realitasnya saat ini, tampaknya presiden pun sekaligus menjadi dunungan
dari lembaga legislatif dan yudikatif. Sebab, Susilo Bambang Yudhoyono
merupakan dunungan dari ketua DPR di partainya. Wajar jika ketua DPR senantiasa
bersikap sumuhun dawuh pada setiap
kebijakan presiden.
Dunungan harus dikawulaan
oleh para kula. Dalam Kamus Basa Sunda karya RA Danadibrata, terdapat dua arti
kata kula. Pertama, menunjukkan orang
yang mudah diatur atau disuruh oleh sang dunungan.
Kedua, menjadi kata ganti orang pertama, sama halnya dengan kuring, aing, dan sebagainya. Ngawulaan atau mengabdi kepada dunungan
bukanlah hal negatif.
Akan tetapi, sikap selalu sumuhun dawuh jelas menunjukkan
kepribadian buruk dan sudah layak disebut tukang lélétak
(penjilat). Sebab, sikap sumuhun dawuh
sangat subyektif. Ia akan menuruti semua yang diinginkan dunungan sekalipun
dalam pandangannya dianggap keliru. ABC, asal bapak cuka.
Karuhun Sunda tidak bermental
ABC. Mari kita menengok masa keemasan kerajaan Sunda Galuh. Saat itu sang
papayung agung begitu pantang bersikap sumuhun
dawuh pada kerajaan lain, termasuk kerajaan sekuat Majapahit. Sunda Galuh cadu untuk takluk pada Majapahit. Itu
sebabnya, Gadjah Mada, panglima perang Majapahit, menghalalkan berbagai cara
untuk membuat Sunda Galuh bertekuk lutut.
Namun, dalam situasi terdesak di
Bubat pun Maharaja Linggabuana tetap pantang menghaturkan upeti kepada Hayam
Wuruk. Apalagi, upetinya adalah kembang keraton, Putri Citraresmi Dyah
Pitaloka. Kisah inilah yang sesungguhnya merupakan pesan bagi urang Sunda,
bahwa dalam kondisi apa pun, jati diri apalagi harga diri tidak bisa dibeli.
Maka, cukup mengherankan jika
selanjutnya urang Sunda justru sangat
doyan bahkan terkesan mengistimewakan dunungan.
Simak saja rumpaka lagu Sunda, terutama tembang Cianjuran, yang di antaranya
banyak menyelipkan kata dunungan. Misalnya, ka
saha abdi nya ngabdi, mun dunungan rék ninggalkeun dalam "Papatet" yang rumpaka-nya
ditulis Ibu Iloh Safe'i, atau pikasediheun
dunungan ku harianeun dalam "Ngabungbang"
yang ditulis Mang Engkos.
Bahkan dalam lagu "Es Lilin" pun masih terselip kata dunungan, seperti dalam bait Itu saha dunungan nu nungtun munding/digantelan
geuning ku saputangan/itu saha dunungan ku ginding teuing/sing horeng mah aduh
geuning jungjunan...
Dalam rumpaka tersebut biasanya dunungan
mendapatkan posisi yang sangat istimewa. Ada rumpaka yang sekadar berinteraksi dengan dunungan dan ada pula yang khusus dihaturkan untuk dunungan. Selain
itu, jejak penghormatan urang Sunda
kepada dunungan dapat disimak dalam sajak, cerpen, novel, dan drama Sunda.
Dalam novel pertama di Indonesia,
Baruang ka nu Ngarora karya DK
Ardiwinata (Bale Pustaka, 1914), misalnya, tampak begitu jelas sikap hormat dan
ketakutan masyarakat kepada Aom Usman yang anak bupati meski ia menjadi tokoh
antagonis penghancur rumah tangga Ujang Kusen dengan Nyi Rapiah. Bahkan
pengarangnya tidak berani memvonis Aom Usman. Yang akhirnya begitu menderita
justru Ujang Kusen, yang istrinya direbut Aom Usman.
Ketabuan untuk menentang dunungan
diperkuat oleh peribahasa yang berbunyi ngijing
sila bengkok sinembah yang berarti melawan dunungan dan dikategorikan
sebagai perbuatan tidak terpuji. Maka, profil para Presiden RI yang dipaparkan
Iip D Yahya dalam artikel "Urang Sunda Menjadi Presiden, Apa
Mungkin?" (Kompas Jawa Barat, 29/09), menunjukkan bahwa mereka sebenarnya
menganggap masyarakat Sunda memiliki loyalitas tinggi kepada dunungan.
Memberontak "dunungan"
Respons terhadap belenggu
dunungan dalam dunia sastra mulai muncul ketika sastrawan Godi Suwarna
menghadirkan cerpen-cerpen Sunda eksentrik. Dalam majalah Mangle nomor 677
tahun 1979, Godi menulis cerpen Uwak-awik.
Dalam cerpen tersebut Godi menceritakan pemberontakan wayang golek yang sudah
sekian lama diperbudak dalang, yang kemudian mengakibatkan peperangan antara
wayang dan dalang.
Adapun reformasi dalam rumpaka
lagu Sunda mulai terasa ketika muncul kawih kreasi anyar karya Mang Koko. Dalam
rumpaka kawih Mang Koko kata dunungan mulai ditinggalkan. Terlebih ketika Mang
Koko memusikalisasi sajak-sajak karya sastrawan Sunda, semisal Wahyu Wibisana,
RAF, Winarya Art, dan Dedy Windiagiri.
Hal itu lebih terasa ketika
muncul lagu-lagu pop Sunda karya Doel Sumbang. Tidak ada lagi ketakutan yang
berlebihan kepada dunungan. Dalam beberapa lagunya, Doel secara terang-terangan
"menggugat" dunungan yang dianggap tidak adil. Dalam lagunya, Doel
tanpa ragu memarahi dokter, polisi, dan wali kota yang tidak memerhatikan
rakyat kecil. Kalau perlu, memaki-maki dengan kata-kata bebel siah.
Pagelaran dalam acara Nyiar Lumar di Astanagede, Kawali, Ciamis, Jawa Barat |
Mengubah impian
Jika Asep Salahudin begitu
percaya akan kekuatan bahasa, sebagaimana dalam artikelnya yang berjudul
"Hasrat Utopia Presiden Sunda" (Kompas Jabar, 7/10), tentu Kang Asep
pun akan percaya pada kekuatan harapan dan cita-cita, atau sebut saja impian.
Mari kita simak cuplikan cerpen Sunda karya Dian Hendrayana yang berjudul
"Pucuk-pucuk Baluas"
(cerpen terpilih Mangle November 2004). "Emh, engkang. Sing lungsur-langsar neang milik di Jakarta. Dibabarikeun
neang rejeki nu halal. Dipiasih ku dunungan". Itulah impian urang
Sunda: dipikanyaah dunungan.
Impian tersebut menjadi salah
satu penyebab sulitnya urang Sunda menjadi presiden. Apalagi, kalau kita sepakat
kepada Eleanor D Roosevelt (1884-1962) yang mengatakan bahwa masa depan adalah
milik orang-orang yang memercayai keindahan mimpi mereka. Jika impiannya dipikanyaah dunungan, tentu saja akan
sulit menjadi dunungan. Sampai hari
ini masih banyak orang Sunda yang berharap agar anak, adik, atau suaminya dipikanyaah dunungan. Para peziarah di
makam keramat pun banyak yang curhat kepada kuncen bahwa ia ingin dipikanyaah dunungan. Jarang ada orang
Sunda yang mengungkapkan sing jadi
dunungan.
Jadi, percuma menambah uga
seperti yang disarankan Mang Jamal dalam tulisannya, "Urang Sunda Jadi
Presiden" (Kompas Jabar, 18/9), jika impiannya hanya sekadar dipikanyaah dunungan. Yang lebih penting
adalah mengubah harapan, dari sing
dipikanyaah ku dunungan menjadi sing
jadi dunungan. Lalu, meminjam kata-kata Mario Teguh, perhatikan apa yang
terjadi!
Komentar