Oleh DHIPA GALUH PURBA
Koruptor yang tertangkap basah ataupun kering langsung digiring
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ditangkap, diadili, dan dihukum. Tidak
peduli bupati atau mentri, KPK pantang berhenti, sehingga rakyat semakin
bersimpati. KPK telah menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik, bahkan
terlihat lebih berwibawa dibanding lembaga penegak hokum lainnya di Indonesia.
Namun, kenapa korupsi kian hari makin menjadi-jadi? Jika begini
jadinya, benarkah KPK ditakuti? Di titik inilah terdapat suatu persoalan besar
yang justru mendapat perhatian kecil, atau bahkan terlewatkan.
Dengan ditangkapnya para koruptor dari kelas teri hingga kelas
kakap, tentunya bertujuan pula untuk menciptakan efek jera. Tapi dengan semakin
maraknya kasus korupsi, efek jera itu malah menjadi semacam candu yang justru
mewabah di berbagai lini. Candu yang bisa menular dengan cepat, sehingga makin banyak
yang terjangkit.
Beberapa pengamat sudah sejak lama menyarankan agar para koruptor dibikin
malu. Misalnya dengan diharuskan mengenakan pakaian khusus koruptor, dirantai
kakinya, atau ditahan di area mall. Sayang sekali, pendapat itu langsung bisa
digugurkan dengan maraknya pemberitaan di media massa, baik cetak maupun
elektronik. Sebab, jika tujuannya untuk “ditonton” oleh khalayak ramai, maka
media massa telah menjawabnya. Dan ternyata, rasa malu dari para koruptor tidak
ada sama sekali.
Lebih memprihatinkan lagi ketika rasa malu berubah menjadi rasa
bangga. Mari kita perhatikan para koruptor yang tampil di layar kaca. Mereka
tetap sumringah, santai, dan bahkan ada diantaranya yang masih sempat
memaki-maki orang. Apalagi koruptor betina, tetap nampak modis, senyum
mengembang pada setiap mata kamera yang memandang. Kalau pun terkadang ada
tetesan airmata, hanya sesaat saja sebagai pelengkap peran.
Terang saja yang lainnya tergoda untuk korupsi. Sebab, semakin
banyak teman-teman koruptor yang ketahuan. Lagi pula, para koruptor yang
tertangkap pun “tidak diapa-apakan”. Kalau korupsi tertangkap, dianggap sebagai
musibah. Padahal, kalau membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi tahun
berapapun, ditangkap karena tersangkut
korupsi, tidak termasuk dalam kategori musibah.
Maka, untuk lebih memaksimalkan lagi KPK, perlu ada tambahan
kerja, selain menyelidiki, mengadili, dan menjebloskan ke dalam tahanan. Tidak
cukup sampai disana. KPK harus memantau kehidupan para koruptor setelah bebas
dari penjara. Memang, pada saat diadili, ada banyak harta para koruptor yang
disita. Tapi, saya tidak begitu yakin jika yang disita itu mencapai 10% dari
keseluruhan harta kekayaan hasil korupsi. Paling hanya beberapa persen saja
yang kebetulan ketahuan.
Kalau hitung-hitungan untung-rugi, misalnya korupsi Rp100 Milyar. Lalu
harta yang disita Rp10 Milyar dan ditahan paling lama 12 tahun kalau menurut
Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Anggap saja
bekerja 12 tahun dan penghasilannya adalah sisa korupsi yang tersembunyi rapi.
Bagi masyarakat menengah ke bawah, dalam kurun waktu satu tahun
itu belum tentu bisa menabung Rp50 juta. Jadi, kalau menyembunyikan hasil
korupsi bermilyar-milyar, sepertinya tidak akan rugi meskipun dipenjara 12
tahun. Selama ini, media pun jarang atau bahkan tidak pernah mempublikasikan
kehidupan para mantan narapida koruptor. Silahkan dicek, perekonomian mereka
pasti tetap terjaga. Maka dari itu, tidak ada yang perlu ditakutkan oleh
seorang koruptor.
Kalau rasa malu tidak lagi hinggap dalam jiwanya, maka ketakutan
para koruptor hanyalah diterpa kemiskinan. Jadi, bikinlah mereka menjadi miskin, dan tidak hanya
wacana belaka. Ide pemiskinan para koruptor bukanlah ide yang baru, tetapi
sampai saat ini belum pernah dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Para koruptor
tetap bisa hidup bergelimang harta selepas menjalani hukuman. Dan hal ini
hampir luput dari pengamatan KPK.
Jadi, kalau saya menjadi ketua KPK, akan dibentuk satu tim khusus
untuk memantau kehidupan mantan narapidana koruptor. Dengan begitu, harta hasil
korupsi yang tidak tersita, pasti akan ketahuan. Jera harus tetap jera, jangan
pernah berubah menjadi candu.
Foto: idntimes.com |
Komentar