Oleh DHIPA GALUH PURBA
(Kompas Jabar, 9 September 2006)
SANGAT tepat jawabannya adalah hawu, jika ada turucing
(teka-teki ala orang Sunda): “Naon ari gajah depa beureum hatena?”. Tapi
kalau untuk menjawab persoalan dihapuskannya produksi minyak tanah, hawu
(tungku) bukanlah jawaban yang tepat. Paling tidak, bukan solusi yang bisa diandalkan.
Masyarakat Jatiwangi kemungkinan menjadi warga yang
paling terbina dan paling erat persaudaraannya, jika hawu diasumsikan sebagai sarana
untuk mempererat ikatan batin. Sebab, banyak warga mempunyai rutinitas pekerjaan
yang berhubungan dengan hawu, terutama para pembuat genting. Mereka mengolah genting
di atas hawu berukuran besar (perigi), serta menggunakan kayu sebagai
bahan bakarnya. Tentu saja tidak akan cukup kalau hanya mengandalkan ranting
atau dahan di kebun. Untuk menyuplai kebutuhan bahan bakar di Jatiwangi, diperlukan
kayu bakar dalam jumlah yang tidak sedikit.
Di pedesaan, memang benar masih banyak masyarakat yang
menggunakan hawu untuk memasak. Tapi tidak sedikit pula yang sudah beralih ke
kompor minyak tanah atau bahkan kompor gas elpiji. Sebagai contoh kecil, saya
masih ingat ketika tahun 1980-an, saat
saya masih duduk di bangku SD (Sekolah dasar) di kampung Simpar, Desa Panjalu,
Kabupaten Ciamis. Hampir semua anak-anak seusia saya memiliki kegiatan rutin ngala
suluh (mencari kayu bakar) ke hutan. Biasanya berangkat dan pulangnya tetap
bersama-sama. Tapi sekarang kegiatan seperti itu hampir tidak ada, karena pengguna
hawu sudah berkurang.
Selain hawu kurang praktis, tidak semua masyarakat
memiliki kebun. Dan terhitung jarang warga yang sengaja memelihara pohon
albasia atau pohon jeungjing di pekarangan rumah. Jadi, benar bahwa masyarakat pedesaan
jarang menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan hawu di rumah, karena para
penggunanya pun tidak terlalu banyak. Paling tidak, masyarakat pengguna hawu
tidak akan ngala suluh ke kampung tetangga, kalau sekedar mencari kayu
bakar untuk memasak di rumah.
Namun, jika semua masyarakat pedesaan dan
perkotaan harus kembali pada tradisi hawu, tentu ceritanya akan berubah.
Permintaan kayu bakar bakal naik secara drastis. Dengan begitu, sangat mustahil
jika masyarakat hanya memotong ranting atau dahan di kebun. Apalagi jika lembaran
uang sudah berkibar-kibar, penebangan pohon pasti akan marak. Prinsip menanam
sebelum menebang, tidak sesederhana yang bisa dibayangkan. Bagaimanapun, menanam
sebuah pohon albasiah memerlukan waktu bertahun-tahun. Sedangkan satu pohon albasiah,
kemungkinan hanya cukup satu atau dua bulan untuk memenuhi kebutuhan bahan
bakar hawu di satu rumah. Menanam jauh lebih lama dari pada menggunakan.
Benar bahwa tradisi siduru (berdiang) pagi
hari merupakan salah satu gambaran
eratnya tali persaudaran. Itupun kalau siduru bersama. Namun, ada pula yang beranggapan siduru merupakan suatu
pangedulan (bermalas-malasan). Sebab, pagi hari bukan waktunya siduru,
tetapi untuk bersiap-siap bekerja atau mencari ilmu dengan penuh semangat. Bagaimana
jadinya dengan masyarakat perkotaan yang sejak pagi buta sudah berpacu dalam
kesibukannya masing-masing. Tanpa dengan siduru, masyarakat pedesaan
atau perkotaan punya banyak cara untuk mempererat tali silaturahmi atau membina
kebersamaan.
Berdasar pertimbangan tersebut, kembali kepada tradisi
hawu tidak mungkin menjadi solusi, terlebih bagi masyarakat perkotaan. Jika
semua orang menggunakan kayu bakar, belum tentu tradisi hawu yang
berkembang. Jangan-jangan malah meniru atau mengembangkan tungku yang sering
kita lihat di film-film negeri salju. Kalau begitu jadinya, bukan pemeliharaan
tradisi hawu yang terjadi, melainkan pemusnahan tradisi hawu. Secara
pribadi, saya menginginkan agar hawu lebih panjang umur. Biarlah hawu
hidup secara alami.
Produksi minyak tanah dihentikan, karena persediaan
minyak tanah semakin menipis. Lalu diganti dengan gas elpiji. Lambat laun,
persediaan gas elpiji pun pasti akan menipis. Jika kayu bakar menjadi andalan, lama-kelamaan
banyak hutan yang menjadi gundul. Maka dari itu, ada baiknya jika pusat perhatian
pemerintah bukan pada materinya, melainkan pada sikap atau mental masyarakatnya.
Bahan bakar apapun pasti akan boros, jika watak penggunanya sudah pemborosan.
Berbagai musibah yang melanda negeri Indonesia,
cukup untuk dimaknai sebagai isyarat bahwa alam telah rusak oleh tangan-tangan
serakah. Alam mulai protes, karena terlalu dieksploitasi. Banjir, longsor, atau
kekeringan adalah contoh bencana alam yang disebabkan gundulnya hutan. Lalu, bagaimana
jadinya jika kayu bakar malah diandalkan menjadi bahan bakar? Bukankah hal itu justru
akan merusak alam? Padahal, alam pun punya hak untuk hidup dengan tentram sebagaimana
halnya warga negara. Marilah kita bersahabat dengan alam.
Menyoal bahan bakar, pemerintah juga sebaiknya
mempertimbangkan lagi penghentian produksi minyak tanah. Biarlah ada masyarakat
yang menggunakan minyak tanah, ada yang memakai gas elpiji, ada yang menggunakan
batu bara, ada yang tetap bertahan dengan tradisi hawu, dan sebagainya. Yang
terpenting, bukanlah apa yang digunakan, tetapi bagaimana cara kita menggunakannya.
Mari kita intropeksi diri, siapa sebenarnya raksasa tukang menghambur-hamburkan
bahan bakar?
Tukang tambal ban, entah kebetulan atau memang
sudah bisa memprediksi persedian minyak tanah. Yang pasti, jauh hari sebelum ada
pengumuman akan dihentikannya produksi minyak tanah, banyak tukang tambal ban meninggalkan
minyak tanah. Untuk memanaskan tambalan ban supaya merekat, mereka tidak lagi
menggunakan bahan bakar minyak tanah, melainkan spirtus.
Minuman keras beralkohol tinggi pun bisa digunakan
sebagai bahan bakar. Oleh karena itu, daripada diminum untuk tujuan
mabuk-mabukan, mendingan dibikin bahan bakar saja.
Semoga hawu panjang umur dan bahagia.***
Komentar