Oleh DHIPA GALUH
PURBA
Pada tahun
1980-an, di daerah Ciamis masih terdengar suara kentrong tilu (kentongan dipukul tiga kali berturut-turut sebanyak
tiga kali). Masyarakat langsung
mengerti bahwa itu adalah berita kematian. Serentak keluar rumah dan mencari
informasi lanjutan. Atau suara kentongan yang dipukul berulang-ulang sekitar 30
detik, sebagai undangan untuk bermusyawarah. Atau juga suara kentongan yang
dipukul berulang-ulang dengan durasi lebih lama, biasanya merupakan berita
bahaya, seperti terjadi kebakaran. Terlebih informasi jadwal ibadah umat
muslim, kentongan dan bedug menjadi media informasi terpercaya. Maka pada saat
itu, masjid tidak hanya menjadi tempat ritual peribadatan, melainkan sebagai
pusat informasi.
Lalu masuk pada era toa yang dipasang di masjid
dan balai desa. Akurasi informasi meningkat, bisa dikatakan hampir memenuhi
rumus sebuah berita yang mengandung 5W meski 1H (how) masih cenderung menjadi 1O (opinion). Jadi, 5 W+1O. Misalnya: ”Telah meninggal dunia, Bapa Ude bin Adu, pada hari Senin,
22 Maret 1981, jam 15.30 WIB di Rumah
Sakit Sehat, karena sakit jantung. Jenazah akan dimakamkan pada hari ini juga,
di makam umum desa kita, pada pukul sekian. Almarhum orang yang sangat baik dan
banyak amalnya. Semoga amal ibadah almarhum diterima Tuhan, dan mendapatkan tempat
mulia disisi-Nya”.
What : Peristiwa meninggal
dunia.
Who : Bapa Ude bin Adu
When : Senin, 22 Maret 1981
Where : Di Rumah Sakit Sehat
Why : Sakit jantung
Opinion :
almarhum orang baik yang banyak amal ibadahnya.
Itu untuk informasi lokal dari berbagai peristiwa keseharian.
Untuk mengetahui informasi yang terjadi di ibukota, harus sabar menanti acara
berita di layar kaca atau menanti terbit surat kabar esok hari. Berita yang ditulis dibawah bayang-bayang
ancaman bredel dari pemerintah. Apalagi siaran berita di televisi yang senantiasa menjadi corong pemerintah
pada masa itu. Kegiatan
jurnalistik pada saat itu benar-benar dikontrol oleh pemerintah. Sedikit saja
menyinggung pemimpin negeri atau koleganya, maka pembredelanlah jawabannya.
Gelombang revolusi
jurnalistik di Indonesia diawali dengan berubahnya kebijakan politik. Jatuhnya
pemerintahan orde baru menjadi titik awal kebebasan pers, yang kemudian
diperkuat dengan diberlakukannya UU Pers No. 40, Tahun 1999, mengganti UU No.
21 Tahun 1982 yang memang sudah sangat tidak relevan. Perubahan kebijakan
politik di Indonesia seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi
dunia. Maka, bisa dikatakan pemicu revolusi jurnalistik adalah kebijakan
politik dan kemajuan teknologi informasi.
Di dalam ketentuan umum
pasal 1 ayat 1 UU Pers tahun 1999, dikatakan bahwa: Pers adalah lembaga sosial
dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik,
bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala
jenis saluran yang tersedia.
Sedangkan di zaman sekarang, semua orang sudah
bisa melakukan hal tersebut dengan sangat mudahnya: mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi (menyebarkan
informasi). Muncullah citizen journalism
yang kemudian direspon cepat oleh media cetak dan elektronik.
Kemudian masyarakat dunia memanfaatkan internet
untuk mengelola jurnalistik online
atau juga dikenal dengan istilah cyber
journalism, termasuk di ikut-ikutan go
blog. Pengelola blog bisa
dikategorikan citizen journalism.
Namun pada kenyataannya tingkat akurasi dan kecepatannya bisa melampaui lembaga
pers. Terlebih lagi ketika musim jejaring sosial melanda, semakin banyak
masyarakat yang menjadi seorang jurnalis. Tanpa berpikir honorarium, banyak
orang yang sangat bersemangat untuk menuliskan laporan pandangan mata plus
opini pada berbagai peristiwa sehari-hari. Lebih menarik lagi ketika tulisannya
langsung dikomentari, dilengkapi, atau bahkan dibumbui. Update status sudah
menjadi kebutuhan sehari-hari.
Hari ini, jika pulang
kampung, tak pernah terdengar lagi suara
kentrong tilu atau ragam bunyi kentongan. Sebab, untuk informasi kematian, kelahiran,
kesedihan, kemarahan, kekecewaan, kebahagiaan, sangat mudah didapatkan. Dari
BBM Broadcast yang mengalir tiada henti, beraneka macam informasi bagaikan
luapan air bah yang tak tertahan. Orang yang tinggal di pelosok pun bisa dengan
cepat mengetahui kejadian kecelakaan lalu-lintas yang terjadi di Jalan Soekarno
Hatta Bandung. Melalui status BBM atau facebooknya, kita bisa tahu jika hari
ini istri seorang Kiai sedang galau, dilengkapi dengan potret wajahnya yang
bermuram durja, misalnya. Lembaga Pers dikepung oleh citizen joernalism yang
begitu hebat. Perang
informasi semakin meruncing, baik di dunia maya maupun di daratan.
Semua itu didasari oleh
rasa kepedulian. Mana mungkin mau menuliskan informasi atau beropini berkenaan
dengan sesuatu yang terjadi di sekitarnya jika tidak didasari oleh rasa peduli.
Dorongan untuk berbagi pun tentu didasari oleh kepedulian. Namun dari sinilah
biang yang menimbulkan masalah peduli yang kurang terkendali. Peduli terhadap
lingkungan sekitar tentunya perbuatan positif. Tetapi jika kepeduliannya tidak
terkendali, tentu tidak baik. Bagaimana jadinya jika terlalu peduli dengan
urusan orang lain, sehingga ingin mengorek urusan yang sangat tidak etis untuk diketahui
publik. Dan yang lebih parah lagi ketika justru terlalu peduli terhadap dirinya
sendiri, sehingga dia sendiri yang mengorek aibnya sendiri untuk dipublish di
media sosial. Itulah aibtografi.
Jika ditelaah lebih
mendalam, sebenarnya informasi yang didapatkan pada saat ini memang sangat
mudah. Namun akurasi dan validitasnya yang meragukan. Dari status seorang
teman, kita bisa langsung mengetahui sebuah peristiwa yang terjadi. Namun kita memerlukan
waktu lebih lama untuk mendalaminya, karena harus membaca dulu seluruh komentar
dari teman-temannya. Hanya penggalan-penggalan informasi yang terkadang
dibumbui, sehingga sebenarnya kita tidak tahu banyak tentang peristiwa
tersebut. Seperti yang pernah dikatakan Hawe Setiawan dalam sebuah diskusi, bahwa
pada zaman ini banyak orang yang terlihat
banyak mengetahui berbagai hal, tetapi sebenarnya mereka tidak tahu
apa-apa.
Banyak diantara masyarakat
yang tergoda untuk membaca berita singkat semisal dari status media sosial.
Tentu, ingin lebih cepat. Tapi tanpa disadari, pada kenyataannya justru
menghabiskan waktu yang lama, dengan membaca komentar-komentarnya yang
terkadang tidak terlalu efektip.
Banyak diantara masyarakat
yang terperdaya oleh berita hoax yang
disebar dalam SMS masal atau BBM Broadcast. Sehingga lama-lama banyak pula
diantaranya yang merasa jenuh dengan tsunami informasi.
Awalnya sempat berpikir bahwa kehidupan media
cetak akan segera berakhir. Atau mungkin saja pikiran itu terpengaruh oleh prediksi para pengamat ataupun pakar
komunikasi akan kiamatnya media cetak. Beberapa media cetak memang telah
gulung-tikar lebih awal. Namun tidak bagi media yang mampu membaca keadaan.
Bahkan ada diantara media cetak yang semakin kokoh di tengah palagan informasi
yang tengah berkecamuk.
Kelemahan-kelemahan lain sumber informasi dari
media sosial atau blog, diantaranya terletak pada masalah keberimbangan berita
yang kurang terjaga, pendapat yang kadang memperkosa fakta, terkadang melupakan
etika dan nilai-nilai budaya, dan kurang kontrol terhadap kaidah penulisan.
Semakin lama, masyarakat kian menyadari berbagai kelemahan tersebut. Apalagi
bagi yang sudah menyadari bahwa tsunami informasi bisa mempengaruhi kondisi psikologis.
Maka lembaga pers yang cerdas akan segera
mengambil posisi yang tepat. Sebab, inilah saatnya lembaga pers memiliki
kesempatan untuk memfilter, menganalisa, memilah informasi mana yang tepat
untuk disajikan kepada masyarakat. Media Pers yang cerdas akan semakin
mengokohkan kredibilitasnya, dengan lebih selektif memilih dan memilah berita,
dengan tetap membuka lebar untuk saluran citizen journalism. Terlebih bagi
media cetak, tentunya harus memiliki nilai lebih dalam memperlakukan informasi.
Majalah Medcom SMA BPI 1 Bandung |
Media cetak yang beredar di kalangan tertentu,
seperti MedKom BPI, perlu bekerja lebih keras dalam menyajikan informasi,
sehingga MedKom tetap perlu untuk dibaca dikarenakan informasinya lebih
bernilai dan bisa dipertanggungjawabkan dari informasi yang beredar di dunia
maya. Kunci katanya adalah
selektif dan tajam dalam menganalisa. Bagaimanapun juga, sampai hari ini, saya
lebih bangga mengumumkan tulisan saya di Tribun
Jabar, Pikiran Rakyat atau di Medcom BPI
dibanding memuatnya di Harian Facebook
atau di blog saya. Sebab, semua orang
bisa dengan mudahnya membuat blog dan menampilkan tulisan di blog sendiri. Namun tidak semua orang bisa
dengan mudah menampilkan tulisannya di Tribun
Jabar atau Pikiran Rakyat. Jadi, mau tidak mau, yang disajikan dalam MedKom pun adalah benar-benar merupakan tulisan terpilih, laporan
jurnalistik terseleksi, dan informasi yang memiliki jatidiri. Setelah dimuat di koran atau majalah, tak masalah juga diumumkan di sosmed atau blog. Dan itulah yang menjadi pembeda dibanding postingan-postingan langsung di sosmed, meski tentu saja ada pula diantaranya postingan sosmed yang berkualitas yang ditulis langsung.
Selamat milad
untuk Medcom BPI.***
Makalah dalam diskusi media di SMA BPI 1 Bandung, 1 Maret 2014
Komentar